Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) adalah salah satu universitas di Malaysia yang menjadikan Melayu sebagai kebanggaan di atas segala kebanggaan. Menurut sejarah pun UKM didirikan bertujuan untuk menjaga kejayaan Bahasa Melayu. Dikatakan bahwa gagasan untuk menubuhkan sebuah universiti kebangsaan pertama kalinya dibangkitkan seawal tahun-tahun 1920-an. Gagasan awal ini dibuat oleh Abd. Kadir Adabi, yang mencadangkan penubuhan sebuah universiti yang dapat memenuhi keperluan pendidikan orang Melayu dan pembangunan Bahasa Melayu, kini bahasa Malaysia (baca: UKM).
Berangkat dari roh ini, kegiatan-kegiatan ’kemelayuan’ pun begitu banyak dilaksanakan. Pada dua hari ini (17-18 Desember 2008) sedang berlangsung seminar nasional yang bertajuk “Seminar Kebangsaan Kesusasteraan Melayu Tradisional: Kreativiti Minda Melayu”. Sungguh sebuah seminar yang memertabatkan Melayu khususnya bidang kesusastraan. Seminar seperti ini terkadang jarang sekali kita temui di tanah air bahkan bagi daerah-daerah yang kental dengan ke-melayu-annya seperti Jambi.
Beberapa penulis dan peneliti juga akademisi tanah melayu ini ambil bagian dalam seminar ini tidak hanya dari UKM tapi juga dari universitas lain seperti Universitas Putera Malaysia (UPM), Universitas Sains Malaysia (USM), dan lain-lain. Acara yang diselenggarakan oleh ATMA (Alam dan Tamadun Melayu) dibuka oleh Prof. Dr. Abdul Latif Hj. Samian, sebagai ketua jurusan ATMA. Sebagai pembicara dari UKM nampak hadir Prof. Madya Dr. Hanapi Dolah, Prof. Dr. Haron Daud, Prof. Dr. Ding Choo Ming dan lainnya. Sementara itu dari UPM salah satunya disampaikan oleh Dr. Arba’ie Sujud, dan dari USM di antaranya Prof. Madya Dr. Arnd Graf dan Prof. Mandya Abdul Rahman Hj. Ismail. Selain itu juga tampil sebagai pemekalah mahasiswa kandidat doctor UKM dari Indonesia yaitu Titi Farhanah dari UIN Jakarta. Kesemua pembicara ini tentu saja adalah para pemerhati dan peneliti segala yang berkaitan dengan roh-roh Melayu.
Pada seminar ini terungkap bahwa masyarakat Melayu memiliki kreativitas yang sangat luar biasa. Dan keagungan kreativitas orang-orang Melayu ini telah diakui oleh dunia dan tidak lagi bisa terbantahkan. Salah satu kreativiti bangsa Melayu yang luar biasa tersebut terlihat pada penulisan menuskrip (naskah kuno). Prof. Ding menunujukkan paling kurang ada 70 titik perkembangan melayu di nusantara dan kesemuanya menyimpan menuskrip yang memiliki nilai sastra yang tinggi dan agung. “Masyarakat Melayu itu sebenarnya sudah jauh lebih dahu canggih (dari pada Bangsa Barat)”, ungkap beliau.
Ada hal yang sedikit menyayat dada ketika menghadiri seminar ini. Ketika hampir semua berbicara Melayu dan peradaban-peradabannya, hampir tidak pernah menyebut Melayu Jambi. Yang muncul kemudian adalah Palembang, Padang, Riau, Aceh dan seterusnya. Lantas sebagai putera Jambi, orang yang lahir dan besar di Jambi, pertanyaan tak dapat dipungkiri, dimana nama sesungguhnya Jambi itu dalam kancah Melayu? Mana Melayu Jambi itu? Benarkah Jambi itu Melayu?.
Pertanyaan ini tentunya saya yakin adalah pertanyaan kita semua. Tanpa menapikan kerja keras para pemerhati Melayu Jambi seperti Fahruddin Saudagar, Drs.H. Junaidi T. Noor MM, dll ternyata Melayu Jambi masih tenggelam ditelah bumi. Ia tidak hidup diperkancahan Melayu. Paling tidak ini manejadi bahan renungan semua pihak bahwa Melayu Jambi belum terbilang. Semoga ini menjadi cemeti bagi setiap anak negeri Jambi. Terima Kasih.
Discussion about this post