Saat ini berbagai sumber pemberitaan dan diskusi sibuk menyoroti tren golput alias golongan putih yang semakin ‘menggila’. Terkini kita melihat kasus Pemilukada Gubernur Sumatera Utara (Sumut) yang mencengangkan karena Golput mencapi lebih dari 60 persen. Artinya masayarakat Sumut hanya 30an persen yang menggunakan hak suaranya. Hal ini sampai-sampai menyita perhatian menteri dalam negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi. Jika kita telusuri data-data Golput di setiap pemilu yang dilakukan di negeri ini trennya selalu meningkat dari waktu ke waktu, tentunya tidak terkecuali di Provinsi Jambi bil khusus Kota Jambi. Lantas bagaimana menyikapi hal ini?
Melalui tulisan ini saya ingin menyampaikan bahwa itu pertanda bagus. Pertanda bahwa proses pendewasaan demokrasi di negeri ini sedang berlangsung. Golput yang saya maksud di sini adalah seseorang yang dengan sadar menentukan pilihannya untuk tidak memberikan hak suaranyan dalam pemilihan umum. Dalam hal ini tidak termasuk yang golput karena kesalahan teknis seperti tidak terdaftar, salah coblos sehingga kertas suara rusak, dan lain-lain.
Ada banyak alasan seseorang menjadi golput. Biasanya alasan yang paling mendominasi adalah factor kekecewaan terhadap pemerintahan atau pemimpin negeri ini. Lebih khusus jika kita ambil contoh kasus di kota Jambi. Jamak kita mendengar para golongan putih ini berkata “ngapo jok nak milih, kito ni macam nilah. Abis milih dak jugo ada perubahan”. Alasan-alasan traumatic seperti ini sering menjadi alasan kuat seseorang memutuskan untuk menjadi golongan netral. Lebih-lebih di era keterbukaan saat ini dimana akses masyarakat terhadap tata kelola pemerintahan dan kepemimpinan para pejabat negeri ini sangat mudah ‘ditelanjangi’. Masyarakat dengan mudah melihat gombalan para politisi dan pejabat. Yang diucapkan tidak pernah sama dengan yang dilakukan. Janji politik menjadi komoditi, barang daganan murahan.
Jika demikian, sesungguhnya untuk mengurangi angka golput (jika harus) pada pemilihan wali kota Jambi mendatang bukan dengan berkampanye anti golput tatapi lebih kepada ‘pengobatan’ sakit hati masyarakat terhadap para pemimpin di negeri ini. Janji-janji politik yang terlalu berlebihan dan tidak pernah dibuktikan membuat masyarakat muak. Kita melihat faktanya sekarang, semua kandidat yang bertarung mengemukakan janji politik yang sangat muluk dan ‘melangit’. Mereka menciptakan slogan Kota Jambi dengan akronim-akronim cantik dan menarik. Akan tetapi sesungguhnya mrerka sedang berbohong dan membohongi diri sendiri.
Golput kemudian dijadikan alternatif pilihan politik. Ketika mereka melihat para kandidat yang bertarung penuh dengan kebohongan dan kemunafikan politik, ketika mereka tidak melihat figure yang benar-benar tulus untuk memimpin, ketika menemukan fakta-fakt pembangunan dinasti kerajaan di negeri Jambi ini, maka golput sebagai ‘pemuas’ politik mereka. Terkadang juga traumatis ini berlangsung sangat lama berdasarkan pengalaman pemilihan yang sebelumnya. Adalah hal yang menyakitkan ketika melihat pemimpin yang dulu mereka pilih kemudian mengingkari semua janji yang telah pernah diucapkan. Dagangan politik seperti pendidikan graris, brobat gratis, ekonomi maju, kesejahteraan dijamin, yang dijual saat kampanye dan dilupakan saat memimpin membuat masyarakat ‘balas dendam’ dengan memilih golput pada pemilu berikutnya. Singkatnya, mereka dengan sadar menjadi golput karena kecewa terhadap janji politik yang tidak pernah ditepati.
Menyikapi hal ini, penyelenggara pemilu Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak perlu risau. KPU cukup mengurusi teknis penyelenggaraan pemilu dengan baik. Tidak perlu kampanye anti golput secara berlebihan karena akan membuang-buang energy. Kekcewaan masyarakat seperti ini tidak akan terobati oleh sepanduk himbauan anti golput yang dipasang oleh KPU. Yakinlah, masyarakat Jambi sudah semakin cerdas untuk menentukan pilihan politik mereka. Menjadi golput dengan sadar dan memiliki alasan yang kuat juga bagian yang tidak terpisahkan dari proses demokrasi itu sendiri. Angka golput juga dapat dijadikan ‘hukuman’ bagi para politisi dan pemimpin negeri ini agar tidak abai terhadap janji-janji politik yang pernah terucap.
Yakinlah, jika para politisi dan pemimpin di negeri ini amanah dan mampu menjadi penganyom masyarakat, angka golput akan semakin sedikit. Dan sebaliknya, semakin masyarakat kecewa semakin tinggilah angka golput. Kita selalu berharap pada pemilihan wali kota Jambi mendatang, para kandidat yang bertarung tidak terlalu mengumbar janji muluk yang sesungguhnya sulit untuk dipenuhi. Masyarakat tidak lagi bodoh untuk dibodoh-bodohi dengan janji-janji politik yang kosong. Jangan lagi jadikan isu pendidikan gratis dan berobat gratis menjadi jualan politik yang gombal. Nyatanya hari ini masyarakat tetap kesulitan mendapatkan pendidikan yang layak dan pengobatan yang pantas. Biaya sekolah dan harga rumah sakit tetap mencekik rakyat.
Akhirnya, golput adalah pilihan politik. Tinggi rendahnya angka golput sangat tergantung pada para kandidat dan janji politik yang di sampaikan. Semakin banyak figure yang tidak memenuhi ekspektasi masyarakat dengan janji-janji politik yang ‘memuakkan’, maka semakin banyak yang memilih untuk menjadi golput. Maka jangan salahkan masyarakat yang golput tapi salahkan citra politisi, pemerintah dan pemimpin yang buruk!
Discussion about this post