Undang-undang No. 8 Tahun 2012 yang dipertegas di dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No. 7 Tahun 2013 tentang Pencalonan Anggota Legislatif mengamanatkan 30% keterwakilan perempuan. Ini artinya ada kehendak Negara untuk meningkatkan partisipasi politik kaum hawa dengan menambah keberadaannya (political presence) sehingga diharapkan dapat ikut serta memberikan sumbangan ide (political ideas) dalam berbagai kebijakan. Isu keterwakilan perempuan di dalam dunia politik khususnya di dalam parlemen memang merupakan warna tersendiri dalam dunia politik tanah air akhir-akhir ini. Ada kajian yang sangat serius untuk ‘memaksa’ kaum hawa bersama-sama kaum adam mengurusi urusan negeri ini, dan mengurusi dirinya sendiri juga keluarga..
Logika yang dibangun oleh Undang-Undang ini tentu sangat sederhana bahwa semakin banyak jumlah (30%) kehadiran prempuan dalam parlemen maka akan semakin banyak sumbangan ide yang diberikan dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat. Bahkan logika ini lebih disederhanakan lagi dengan cara ‘yang penting banyak dulu’. Lantas sebenarnya, labih jauh lagi kita harus berani mempertanyakan apa sebenarnya yang dibutuhkan Parlemen (DPR-RI dan DPRD Prov/Kab/Kota) terhadap keberadaan perempuan di dalamnya, kualitas atau hanya sekedar pemenuhan quota?
Pertanyaan ini sangat penting agar kita tidak terjebak nafsu penuhan quota 30% semata. Maksud saya, biar sedikit tapi berkualitas. Jadi yang sangat penting keberadaan perempuan dalam kancah pilitik itu bukan semata jumlahnya yang banyak tapi yang jauh lebih penting adalah kualitasnya. Para pahlawan yang merebut kebemerdekaan bangsa ini juga tidak memenuhi quota 30% para perempuan yang terlibat di dalamnya. Tapi satu dua perempuan yang muncul, namanya benar-benar memiliki kualitas. Sebut saja Raden Ajeng Kartini, Cut Nyak Dien, dll yang kiprah dan perjuangan mereka masih mampu mengispirasi kaum perempuan hari ini. Lantas bagaimana kiprah kaum perempuan yang selama ini sudah berada di dalam pusaran politik itu?
Munculnya nama-nama perempuan ‘bermasalah’ dan koruptor di parlemen dan dunia politik memunculkan stigma buruk terhadap keberadaan perempuan dalam berpolitik. Sebut saja nama Angelina Sondakh, Chairrun Nisa, Ratu Atut Khosiyah (Gubernur Banten), dan beberapa nama lainnya yang terjerat kasus hukum. Maka stigma buruk seperti ini harus mampu ‘dibayar’ oleh karya-karya dan prestasi para perempuan lainnya di dunia politik untuk menghapus anggapan bahwa perempuan di Parlemen tidak lebih ‘rakus’ dari kaum lelaki. Tentu masih banyak perempuan anggota Parlemen lainnya yang berprestasi dan berkarya; perlu kita berikan apresiasi.
Untuk menghadapi Pemilu Legislatif 2014 mendatang, fakta yang terjadi hari ini, karena yang dikejar pemenuhan quota 30% keterwakilan perempuan dalam pencalonan anggota legislatif baik pusat maupun daerah, partai politik cenderung tidak selektif dalam menempatkan perempuan-perempuan wakil mereka. Bahasa sederhananya, main ‘comot’ yang penting quota terpenuhi. Banyak Parpol yang mengobral kursi legeislatif mereka untuk kaum prempuan tanpa seleksi yang ketat. Cara berpikir seperti ini tentu sangat membahayakan bagi keberlangsungan politik negeri ini. Lebih dari itu, sebenarnya akan sangat berbahaya juga terhadap keberadaan perempuan itu sendiri dalam dunia politik mendatang.
Maksud saya, jika pada parhelatan pemilihan legislative tahun 2014 mendatang kaum perempuan yang dicalonkan tersebut berasal dari kader atau calon ‘asal comot’ oleh partai demi pemenuhan quota 30% maka tidak menuntup kemungkinan akan duduklah perempuan-perempuan yang tidak berkualitas di Parlemen. Ketika mereka duduk dan kemudian tidak mampu mempresentasikan diri mereka sebagai wakil rakyat yang baik dan semestinya, maka itu akan mengecewakan konstituen yang mereka wakili dan rakyat negeri ini pada umumnya. Akhirnya, suatu saat nanti akan terbentuk paradigma jelek terhadap kaum perempuan tersebut di dalam dunia politik. Maka dari itu, menurut saya pemenuhan quota (political presence) tidak berbanding lurus dengan sumbangan ide (political idea) yang diberikan. Bahasa lebih sederhananya, banyak jumlahnya belum tentu banyak manfaatnya. Tegasnya, lebih baik tidak perlu memaksakan pemenuhan quota 30% tetapi menempatkan perempuan-perempuan berkualitas di parlemen ketimbang banyak tapi ‘melempem’.
Hal ini tentunya dikembalikan kepada partai pengusung, dan hasilnya pun akan kembali kepada citra partai tersebut. Jika mereka mampu menempatkan perempuan-perempuan berkualitas nantinya di Parlemen maka nama partai dan kader tersebut juga akan dikenang baik oleh masyarakat, dan sebaliknya. Maka dari itu, sudah saatnya mempertegas peran partai dalam menyeleksi dan mendidik para perempuan kader mereka. Partai harus mampu memberikan peningkatan kualitas perempuan dengan memberikan pendidikan dan pengkaderan politik yang baik. Partai juga harus memiliki criteria dan persyaratan yang ketat dalam penjaringan calon-calon wakil rakyat perempuan mereka.
Namun demikian, peran pertai tidak jauh lebih penting dari peran masyarakat sendiri. Di tangan masyarakatlah nantinya penentuan calon-calon perempuan wakil rakyat tersebut. Masyarakatlah yang memilih mereka. Maka dari itu, masyarakat juga harus disadarkan bahwa pentingnya memilih anggota dewan yang berkualitas dalam banyak aspek seperti, aspek pengetahuan (intelligent quotient), aspek sosial (social quotient), dan aspek kesolehan (spiritual quotient). Masyarakat harus jeli memilih dan memilah mereka-mereka ini nantinya. Aspek-aspek ini harus menjadi pertimbangan utama dibantding pertimbangan-pertimbangan lain seperti kedekatan emosional dan kekerabatan. Kita memerlukan perempuan di parlemen tidak hanya jumlahnya tapi juga kualitasnya. Ketika perempuan berpolitik maka seyogyanya mampu menjadi inspirasi bangsa ini seperti yang diinginkan R.A Kartini. Bukankah kita tahu bahwa Nabi Muhammad menegaskan dalam haditsnya “Perempuan itu tiang negeri. Bila baik perempuannya, baiklah negeri itu. Manakala rusak perempuan, maka rusaklah negeri”.
NB: tulisan ini telah dimuat di Harian Jambi Ekspres tgl 30 Oktober 2013
Discussion about this post