Dalam konteks pemilihan pemimpin di berbagai level, ada pemahaman dan pola pikir yang perlu diluruskan. Ada sebagian orang yang membangun pola pikir bahwa pilihlah calon pemimpin yang kaya karena tidak mungkin korupsi. Pemimpin yang kaya sudah banyak harta jadi perlu lagi korupsi duit negara. Pola pikir semacam ini agaknya terlalu dangkal. Lihat saja orang-orang yang sekarang terjerat kasus korupsi baik yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri, Kejaksaan, dll. Apakah mereka kekurangan harta?
Tidak! Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang bergelimang harta kekayaan. Memiliki uang puluhan bahkan ratusan milyar hingga mencapai triliunan rupiah. Jika begitu, hipotesa yang kaya tidak korupsi sudah terbantahkan dengan sendirinya.
Apakah pemimpin yang miskin tidak korupsi? ‘Miskin’ dalam arti tidak memiliki harta kekayaan yang sampai ratusan milyar. Tidak juga bisa dikatakan begitu. Banyak juga kasus-kasus korupsi dilakukan oleh para pemimpin yang berada pada level bawah seperti kepala desa. Saya tidak mengatakan kades miskin, tapi saya yakin jarang ada kades yang memiliki harta triliunan rupiah. Faktanya, di tahun 2017, ‘Menurut Presiden Jokowi, dari sekitar 74.000 desa yang menerima Dana Desa, tahun ini ada kurang lebih 900 desa yang mempunyai masalah, kepala desanya ditangkap, karena menyelewengkan Dana Desa’ (https://arrahmahnews.com). Korupsi!
Dengan fakta-fakta ini, melalui artikel singkat ini pula, saya ingin mengajak kita semua meluruskan pola pikir yang saat ini agaknya sedang dibangun oleh segelintir orang bahwa memilih pemimpin itu harus dilihat dari harta kekayaannya. Menjadikan kekayaan sebagai tolak ukur dalam memilih pemimpin dan meyakini bahwa yang kaya tidak korupsi adalah sebuah cara pikir yang tidak tepat. Harus dicatat bahwa korupsi bukan persoalan kaya dan miskin. Pemimpin yang kaya tidak korupsi ada, yang miskin tidak korupsi juga ada. Dan yang kaya juga belum tentu dari hasil korupsi.
Jadi, yang harus diperhatikan bahwa terjadinya tindak pidana korupsi bukan hanya persoalan kekayaan. Ada begitu banyak faktor pendorong sehingga terjadinya extra ordinary crime ini. Dalam konteks pemimpin, paling tidak dapat dibagi menjadi dua bagian faktor besar yaitu faktor personal (diri) dan faktor eksternal (sistem).
Faktor personal datang dari dalam diri seseorang. Sifat buruk seperti tamak, rakus, hedonisme, dan sejenisnya merupakan sifat-sifat yang sering mendorong seseorang melakukan korupsi. Sifat tamak dan rakus akan membuat orang merasa tidak pernah cukup dengan harta yang dimiliki. Berapa banyakpun uang dan harta kekayaan yang dimiliki, selalu merasa kurang. Tidak pernah cukup. Sifat semacam ini sangat kuat mendorong sebagian besar koruptor yang saat ini berurusan dengan pihak penegak hukum.
Begitu pula dengan gaya hidup hedonisme. Saat ini hedonisme bukan lagi sebuah pandangan, melainkan gaya hidup konsumtif yang dipilih masyarakat. Gaya hidup yang menonjolkan kemewahan, kesenangan dan berfoya-foya serta menghamburkan uang (www.finansialku.com). Gaya hidup yang memerlukan biaya besar membuat orang lupa diri sehingga uang negara pun dirampok.
Faktor eksternal (sistem) juga menjadi faktor lain yang sering membuat orang berurusan dengan tindakan korupsi. Ada kondisi-kondisi tertentu yang membuat seseorang tidak dapat menghindar dari tindak pidana korupsi karena ada dorongan dari sistem yang terbangun. Tentu saja, sistem yang dimaksud adalah sistem yang keluar dari ketentuan dan aturan hukum yang berlaku. Biasanya korupsi semacam ini sering sekali dilakukan oleh pejabat tertentu dan secara berjemaah.
Terbaru, di Provinsi Jambi beberapa pejabat ditangkap tangan oleh KPK sedang melakukan tindak pida korupsi suap. Di duga adanya transaksi suap dari Pemerintah Provinsi Jambi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) agar ‘lancar’ dalam ketok palu pengesahan APBD 2018 yang diajukan. “Tidak tanggung-tanggung, total uang suap dari Pemerintah Provinsi Jambi kepada anggota DPRD senilai Rp 6 miliar” (www.tribunnews.com). Para pelaku pun saat ini sedang menjalani pemeriksaan oleh KPK. Beberapa sudah ditetapkan sebagai tersangka dan beberapa lainnya sedang menunggu keputusan.
Boleh jadi, korupsi semacam ini tidak datang dari keinginan pelaku secara personal. Mereka tidak menginginkannya tetapi karena mereka berada pada jabatan tersebut yang mengharuskan mereka melakukan itu sehingga kemudian menempatkan diri mereka sebagai koruptor. Sistem yang rusak (dan sengaja dirusak) seringkali ‘menjebak’ seseorang menjadi koruptor. Dan hal ini sangat jamak terjadi di negeri ini.
Akhirnya, intinya artikel ini ingin menepis pola pikir bahwa memilih pemimpin harus yang kaya karena tidak korupsi. Dalam konteks pemilihan pemimpin daerah, ini adalah pola pikir yang menyesatkan. Korupsi ternyata bukan persoalan kaya dan miskin. Saya hanya ingin menyampaikan ada begitu banyak indikator lain selain kekayaan yang dapat dijadikan pertimbangan dalam memilih pemimpin seperti track record (rekam jejak), prestasi, kedekatan dengan rakyat, moral, dan lain-lain. Ingat, pemilih cerdas, pemimpin berkualitas!
Discussion about this post