Menolak lupa. Pemilu 2019 lalu telah terjadi ‘tragedi demokrasi’ yang telah menewaskan begitu banyak anak bangsa. Sebanyak 894 petugas meninggal dunia dan 5.175 lainnya mengalami sakit dan kelelahan. Itu terjadi sebelum kedatangan Covid 19.
Mau berapa banyak lagi? Pertanyaan ini menyambut keputusan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI, KPU RI, Bawaslu RI dan DKPP yang memutuskan Pilkada tetap dilaksanakan 9 Desember 2020 dan tahapan dimulai 15 Juni 2020. Pilkada di tengah wabah virus yang masih merajalela. Agaknya ini akan menjadi pilkada paling beresiko di sepanjang sejarah demokrasi bangsa ini.
Pilkada itu berat. Tahapan-tahapan yang dilakukan memerlukan energi besar yang menguras fisik dan psikologis banyak kalangan, dari petugas hingga masyarakat luas. Ditambah lagi, hampir semua tahapan memerlukan kontak langsung orang dengan orang yang notabenenya sangat bertentangan dengan protokol kesehatan penanggulangan penyebaran Covid 19.
Sekedar memberikan peringatan dini (early warning), salah-salah urus akan ada kuburan massal dampak Corona karena Pilkada. Jangan sampai!
Bukankah kita sepakat bahwa menyelamatkan nyawa lebih penting dari pilkada?
Tidak ada pilihan kecuali mempertegas aturan-aturan penyelenggaraan dengan menempatkan keselamatan sebagai prioritas utama. Semua pihak harus waspada jika tidak ingin bertaruh nyawa.
Himbauan belum cukup bagi masyarakat Indonesia yang sering abai dan kurang disiplin. Harus ada aturan hukum yang jelas dan tegas demi keselamatan bersama.
Bagi penyelenggara, dari KPU RI hingga petugas pemungutan suara harus memiliki disiplin tinggi dalam menjalankan protokol kesehatan. Tindakan tegas harus diambil jika ada yang abai. Misalnya, jika aturannya ‘wajib’ pakai masker, maka jika ada petugas yang tidak memakai, pecat!
Petugas harus memberi contoh kepada masyarakat. Kedisiplinan para petugas akan berdampak positif kepada masyarakat luas. Jika petugas abai, masyarakat juga akan lalai.
Begitu juga para kontestan alias cakada yang bertarung. Tentu Pilkada kali ini akan berbeda dengan yang sebelumnya. Harus ada kesadaran yang tinggi bahwa tidak bisa lagi terlalu leluasa melakukan kampanye atau sosialisasi. Harus berani membatasi diri.
Saatnya populeritas dan elektabilitas anda diuji dalam senyap. Ketika ruang gerak pertemuan dengan massa dibatasi, masih adakah yang mengenal anda? Masih adakah yang mau memilih anda? Yakinlah, jika selama ini anda ‘hadir’ di tengah masyarakat, pasti ada. Tapi jika selama ini ‘absen’, pasti anda dilupakan.
Jangan pula coba-coba membungkus politik uang (money politic) dengan isu Korona. Rasanya tidak perlu ada masker warna-warni partai bertulisan ‘pilih saya’. Jangan jadikan penderitaan rakyat sebagai komuditas (bahan dagangan) politik anda.
Masyarakat juga harus memiliki kesadaran politik yang baik. Jika kita menginginkan pemimpin yang berkualitas maka masyarakat harus cerdas. Hanya pemilih yang cerdaslah yang akan menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Kondisi kita saat ini memang dalam keadaan sulit. Kita butuh bantuan. Kita memerlukan uluran tangan. Tapi jangan pula kita gadaikan idealisme yang dimiliki. Tahan godaan!
Kita harus berjuang bersama. Disiplin dalam melaksanakan protokol kesehatan dan tolak segala bentuk kecurangan pemilu. Pemilih cerdas itu pasti anti politik uang (money politic) dalam bentuk apa pun. Hentikan penyebaran berita bohong (hoaks) dan propaganda media (terutama medsos). Saatnya menghindari isu SARA sebagai bahan pertikaian.
Tentu saja ada harapan besar pada penegak hukum seperti Bawaslu, POLRI dan Kejasaan (Gakkumdu). Penegakan hukum menjadi salah satu elemen penting tercapainya Pilkada yang berintegritas dan penyelamatan nyawa masyarakat di tengah pandemic ini. Kita ingin pemilu berjalan baik dengan aturan-aturan yang tegak dan masyarakat terjaga dari bencana.
Akhirnya, tanggal 9 Desember 2020 akan menjadi sejarah baru dalam perjalanan demokrasi bangsa kita. Pilkada di tengah wabah virus Korona. Pilkada yang akan bersabung nyawa jika kita tidak waspada. Maka dari itu, semua pihak, petugas, peserta, pihak keamanan dan masyarakat harus memiliki kesadaran yang tiggi untuk mematuhi protokol kesehatan jika kita tidak ingin menggali kuburan massal korban Pilkada!
*Ditulis oleh: Bahren Nurdin (Akademisi UIN STS Jambi dan Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan [PUSAKADEMIA].
Discussion about this post