Oleh: Bahren Nurdin, MA
Ini yang kesekian kali saya mendampingi si kecil mengikuti lomba mewarnai. Menarik dan asyik sekali menyaksikan anak-anak menorehkan krayon di atas ‘kampas’ yang disediakan. Berbagai warna yang keluar dari imajinasi mereka terekspresikan. Terkadang keluar dari ‘pakem’ yang ditentukan walaupun terkadang panitia memiliki ‘pakem’ sendiri dalam melakukan penilaian.
Sebagian besar panitia masih terjebak oleh ‘ketentuan’ warna yang ada. Awan biru. Rambut hitam. Kulit abu-abu. matahari kuning dan seterusnya. Padahal tidak selalu demikian. Apakah rambut selalu hitam? Tidak. Lihat saja saat ini banyak warna warni rambut. Awan biru? Wah, Allah maha kaya dengan warna awan. Cobalah sering-sering melihat ke langit dalam berbagai keadaan, anda akan menemukan berbagai warna awan. Celakanya, karena dewan juri sudah dengan pakemnya sendiri, anak-anak yang ‘nyeleneh’ warnanya dipastikan tidak menang walaupun komposisi warna yang dibuatnya sangat apik.
Ini kasus umum yang saya perhatikan dalam setiap lomba mewarnai anak-anak Taman Kanak-Kanak (TK) / Radatul Athfal (RA). Anak dipaksa untuk mengikuti apa yang ‘umum’ dan apa yang ada di benak dewan juri. Anak-anak seakan tidak memiliki pilihan warna sendiri atas pilihannya sendiri. Tidak jarang anak-anak yang begitu serius mewarnai dan menemukan warnanya sendiri, kecewa karena tidak dianggap bagus oleh panitia. Panitia bilang, “mana ada rambut merah?”. Lah faktanya hari ini? Rambut warna warni kok?
Begitu juga dalam hal penunjukkan dewan juga. Sering terjadi, juri yang dipilih ‘asal comot’ saja. Bukan orang yang benar-benar professional yang memiliki ilmu pengetahuan tentang warna seperti pelukis, seni rupa dan lain-lain. Panita cukup berlindung pada klausul, “Keputusan Dewan Juri Tidak Bisa Diganggu Gugat!”. Anak bangsa inilah yang jadi korban.
Apa yang lebih memprihatinkan lagi adalah keterlibatan orang tua dan guru dalam setiap event lomba mewarnai. Berulang kali panitia berteriak melalui pengeras suara agar orang tua dan guru pendamping meninggalkan anak-anak mereka, namun tetap saja berada di sebelah anaknya. Minimal, memandu anaknya dari luar arena. Saya yakin, sebagian besar orang tua atau guru yang semacam ini tidak menyadari dampak negatif yang ditimbulkan dengan prilaku meraka.
Ketahuilah, memandu anak pada saat lomba mewarnai akan sangat berbahaya terhadap pembentukan dan perkembangan mental anak.
Pertama, mengajari anak melanggar aturan. Anak-anak tahu bahwa panitia sudah melarang orang tua atau guru untuk tidak berada di dekatnya, namun faktanya dia masih menemukan orang tua atau gurunya di sampingnya. Apa yang tercatat di alam bawah sadar anak? “Boleh kok melanggar. Gak papa. Walau panitia sudah teriak bagaimana pun, mama cuek aja. Mama pura-pura gak tau, tuh”. Suatu saat nanti hal yang sama pasti akan ia lakukan dalam kasus-kasus lain.
Ingatlah, apa yang tertanam sejak kecil, itulah nantinya yang akan mewarnai kehidupannya. Jika dari kecil anak sudah diajarkan curang, maka besar kelak juga akan melakukan kecurangan. Lebih-lebih, yang mengajarkan kecurangan itu adalah orang tua atau gurunya sendiri. Hati-hati!
Kedua, membuat anak tidak mandiri. Pada suatu kesempatan, saya menyaksikan seorang ibu yang begitu sibuk memandu anaknya dari luar arena. Entah sengaja atau tidak, anaknya berada di pinggir arena. Setiap anaknya akan mewarnai sesuatu pasti melihat ke ibunya. Ibunya akan teriak, “Bukan yang warna itu. Yang biru. Habis itu, yang kuning”. Saya betul-betul menyaksikan tidak ada sedikitpun warna yang ditorehkan sang anak yang merupakan hasil imajinasinya sendiri, tapi semua hasil karya ibunya.
Hal ini pun sangat berbahaya terhadap perkembangan mental anak, khususnya pembentukan independesi seorang anak. Dapat dipastikan, kelak ia tidak akan bisa mengambil keputusan, termasuk untuk hidupnya sendiri. Dia sangat tergantung dengan orang tua atau bahkan orang lain.
Anak semacam ini biasanya juga tidak memiliki daya imajinasi karena takut salah. Kebenaran yang ia miliki adalah jika sudah mendapat persetujuan dari orang tua atau orang lain. Berbahaya!
Maka dari itu, banyak yang mengira lomba mewarnai itu hanya sekedar berpacu menentukan warna terbaik dengan membawa tropi pulang. Salah! Lomba mewarnai itu ajang yang paling tepat untuk membentuk nilai-nilai terhadap anak seperti kejujuran, kebebasan, kreatifitas, dan lain-lain.
Janganlah, orang tua dan guru merusak mental anak hanya karena ingin membawa tropi sebagai pemenang.
Akhirnya, biarkan anak bebas menentukan warnanya. Katakanlah kepada anak, “Nak, saatnya kau bubungkan imajinasimu dengan krayon yang ada di tanganmu. Warnai hidupmu dengan nilai-nilai, Nak. Jadilah pemenang sejati walau tanpa tropi!”. #BNODOC22413082017
*Akademisi UIN STS dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post