Dalam beberapa hari terakhir masyarakat umum dikejutkan oleh isu ‘upeti’ pejabat daerah yang dipersembahkan oleh beberapa Bank Pembangunan Daerah (BPD) di daerah masing-masing. Isu ini pertama kali dimunculkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) pada sebuah diskusi yang bertemakan “Hentikan Pemberian Upeti untuk Kepala Daerah” pada tanggal 2 Februari 2010 yang lalu. Dari diskusi ini ICW membeberkan data penelitian keterlibatan beberapa BPD yang telah memberikan upeti kepada kepala daerah dengan label ‘halal’ dan legal. Mengutif media online inilah.com bahwa, seperti diungkapkan Peneliti Divisi Invesigasi ICW Tama S Langkun, ada enam BPD yang telah ‘bersedekah’ kepada kepala daerahnya yaitu Bank Sumut Rp 53,811 miliar, Bank Jabar Banten Rp 148,287 miliar, Bank Jateng Rp 51,064 miliar, Bank Jatim Rp 71,483 miliar, Bank Kaltim Rp 18,591 miliar, Bank DKI Rp 17,075 miliar.
Dari mana asal uang miliaran rupiah tersebut? Tentu bukan dari tabungan nenek moyang mereka malainkan uang rakyat yang ‘diakal-akalin’ sehingga diberi ‘label’ halal untuk dimasukkan ke dalam kantong mereka masing-masing. Uang tersebut merupakan bunga dari uang yang digelontorkan oleh pemerintah pusat untuk pembangunan daerah salah satunya dalam bentuk Dana alokasi umum dan Dana alokasi khusus. Tentu dana ini bukan dalam jumlah yang kecil melainkan dengan triliunan rupiah yang dijadikan ‘tambang’ untuk meraup bunga yang menggiurkan. Dengan sedikit ‘kedip’ mata dengan pihak bank, uang tersebut tidak perlu cepat-cepat digunakan oleh daerah dengan tujuan semakin lama uang tersebut ‘betelur’ di BPD, maka semakin besar keuntungan yang didapat. Atas dasar itu pulalah BPD merasa perlu memberi ucapan ’terima kasih’. Tidak tanggung-tanggung, ucapan terima kasih yang bernilai miliaran rupiah. Indonesia yang katanya negeri ramah dan berbudi luhur ’menjual’ terimakasih dengan nilai yang sangat mahal.
Lantas, apakah ini ’berita’ baru? Apakah hanya BPD saja yang memeberikan upeti seperti ini kepada kepala daerah (dan unsur Muspida lainnya)? Maka jawabannya ‘anak kecil juga tahu!’. Sebenarnya tidak ada yang baru dan sudah menjadi rahasia umum selama bertahun-tahun. Maka tidak salah kemudian jika Mendagri Gamawan Fauzi dalam menanggapi isu ini mengatakan “Gubernur sebelum saya juga melakukan hal yang sama. Dan tidak pernah dipermasalahkan. Dan itu berlaku di seluruh Indonesia“ (Metro TV, 5/2/10).
Jika demikian, ketika isu ini dibawa pada konteks lokal Jambi, tidak menutup kemungkinan hal serupa juga terjadi. Namun rasanya tidak baik jika kita hanya berburuk sangka. Maka sebaiknya pihak terkait, dengan muculnya isu ini, mulai ‘meropong’ kemungkinan-kemungkinan tersebut dengan kewenangan dan tugas yang diberikan.
Saya katakan kemungkinan itu ada karena saya memiliki pengalaman pribadi yang cukup membekas dalam ingatan menyangkut perkara ini. Pada tahun 2004 saya bekerja di sebuah perusahaan suwasta yang bergerak di bidang perkebunan sawit di salah satu Kabutapen dalam Provinsi Jambi. Diberi tugas sebagai humas di perusahaan tersebut, saya diberi kewenangan untuk berurusan dengan stakeholders dari tokoh masyarakat hingga pejabat pemerintah. Suatu ketika, Salah seorang pejabat daerah kabupaten menelfon perusahaan ‘memberi tahu’ bahwa dia dan keluarga akan berangkat ke Jakarta. Bagi perusahaan, ’pembertahuan’ semacam ini sudah dapat diterjamahkan menjadi ’proposal’ biaya perjalanan. Maka saat itu diterjamahkanlah menjadi sejumlah uang untuk membeli tiket pesawat pulang pergi Jambi – Jakarta pulang pergi.
Sebagai bawahan yang menggantungkan ’periuk nasi’ pada perusahaan tersebut tentu tugas untuk menyerahkan uang tersebut tidak bisa dielakkan. Dengan tanpa merasa bersalah saya menyerahkan uang tersebut sembari menyodorkan kwitansi tanda terima. Namun ternyata di luar dugaan saya, sang pejabat berdiri dengan muka merah marah berapi-api mengeluarkan sejumlah uang dari dalam tas dan membanting uang itu di hadapan saya. Dolar Amerika itu pun berhamburan di atas meja tersebut. Pejabat tersebut dengan garang menuding hidung saya ”kamu tahu berapa jumlah uang itu? Nilainya tidak kurang dari seratus juta rupiah dan tanpa kwitansi saya terima setiap bulan dari perusahaan X”. Saya hanya bisa mengurut dada sambil mengambil kembali uang yang sudah saya serahkan tersebut karena saya tidak akan meninggalkan uang itu tanpa tanda bukti walau pun akhirnya ’periuk nasi’ saya jadi taruhannya.
Dari kejadian ini, coba kita buat analisa sederhana dari kaca mata awam. Jika pejabat tersebut memperoleh ’upeti’ dari perusahaan X tersebut sejumlah uang sangat besar, seberapa yang diterima oleh pejawabat lain baik yang lebih tinggi mau pun yang lebih rendah. Analisa seperti ini bisa saja salah karena tidak dilengkapi dengan bukti. Dan yang namanya uang ’liar’ seperti ini memang tidak akan meninggalkan bukti sebagaimana halnya pengalaman saya di atas.
Apa efek dari pemberian ’upeti’ seperti ini? Ternyata, masih dari pengalaman tersebut, setiap kasus yang menyangkut dengan kepentingan perusahaan akan diselesaikan sesuai dengan keinginan perusahaan.
Contoh lain yang dapat kita lihat secara kasat mata di Kota Jambi yaitu adanya sebuah perusahaan travel yang menyediakan angkutan antar kota antar provinsi dan dalam provinsi memiliki ratusan armada menggunakan plat hitam alias mobil pribadi. Bukankah hal ini sudah jelas-jelas melanggar aturan dan perundang-undangan yang berlaku? Mengapa tidak ’ditertibkan’? Itulah kekuatan ’magic’ yang dimiliki upeti. Ia mampu merubah sesuatu yang salah menjadi benar, yang ilegal menjadi legal, yang haram menjadi halal. Dan masih banyak lagi contoh-contoh lain yang dapat kita temui di tengah masyarakat dalam berbagai bentuk dan ukuran.
Akhirnya, tulisan ini sedikit memberi gambaran bahwa ’upeti’ itu benar-benar ada dan nyata ditengah masyarakat kita yang sudah berlangsung sejak lama. Artinya, tidak perlu lagi para pejabat negara dan pejabat daerah berkelit dan mencari pembenaran, namun alangkah lebih bijak mencari langkah-langkah yang tepat untuk mengurangi, jika tidak mampu menghapuskannya. ’Upeti’ itu sendiri ternyata memiliki penjelmaan beraneka ragam dari yang paling fulgar berupa uang tunai sampai pada tiket pesawat, makan malam, hadiah perkawinan anak dan kerabat pejabat, pemberian faslitas, dan lain sebagainya. Intinya, upeti ini adalah korupsi yang berganti baju. Tanpa bermaksud menuding siapa pun, tulisan ini sedikit memberi gambaran upeti ala ’raja-raja’ di negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah ini. Semoga tidak melukai siapa pun.
Discussion about this post