Oleh: Bahren Nurdin, MA
Bacalah artikel ini dengan hati nurani, sebagai manusia dan sebagai mahluk Tuhan. Tidak perlu didebat atau membenarkan diri. Toh, kapilah pasti berlalu!
Anda tahu UKT? Saya yakin sebagian besar masyarakat Indonesia pasti tahu UKT (Uang Kuliah Tunggal) kerena memang isu UKT sedang menjadi perbincangan hangat khususnya di kalangan mahasiswa baru dan orang tua. UKT adalah ‘hantu’ dan ‘penjajah’ baru yang mengusir orang-orang miskin dari kampus di tanah air ini. Janji negara yang menjamin setiap warganya mendapat pendidikan yang layak agaknya masih jauh panggang dari api.
Pendidikan di negeri ini masih berpihak pada sebagian orang yang memiliki uang dan kekuasaan. Sementara bagi kaum marjinal tetap saja terpinggirkan. Apa bedanya dengan zaman Mingke dan Nyai Onto Soroh seperti yang diceritakan Pramoedya Ananta Toer dalam ‘Anak Semua Bangsa’? Cuma beda warna kulit. Tetap saja, penjajah!
Slogan pendidikan untuk semua baru sekedar pemanis mulut yang sesungguhnya tidak manis!
Sekali lagi, tidak perlu berdebat. Jangan pula bicara teori dan undang-undang karena ia pasti berbanding terbalik dengan fakta yang dihadapi oleh masyarakat. Kumpulkanlah undang-undang, peraturan menteri, surat edaran, dan lain sebagainya, pastilah semua itu berbicara atas nama rakyat (kecil). Tapi realitas yang dihadapi oleh masyarakat tetap saja air mata anak negeri ini menetes mengimpikan bangku kuliah. Terlalu mahal!
Mari bicara rasa dari sisi kemanusiaan. Tutup kitab undang-undang yang ada di hadapan anda dan bukalah sedikit sukma wahai para penguasa. Dengarkan mereka berkata, “Pak, UKT-nya sudah ditetapkan segitu ya pak. Apa tidak bisa kurang? UKT saya mahal sekali, Pak. Rp. 3.316.000. Saya tidak sanggup jika semahal itu, Pak”. Sedih, iba dan menetes air mata saat menerima pesan-pesan seperti ini. Jeritan anak negeri. Kepada siapa mereka harus menjerit?
Apa perasaan anda ketika membaca pesan salah seorang anak petani yang sedang semangat-semangatnya untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi ini? Sebagian besar dari mereka akan berkata, “ya, mamang begitu. Pendidikan itu memang mahal, kok! Makanya usaha dong!” Atau, “Pendidikan berkualitas itu memang harus mahal. Bukan untuk orang miskin!”. Respon ini biasanya dilontarkan oleh orang-orang yang tidak pernah miskin, tidak pernah merasakan pahitnya berjuang menuntut ilmu tanpa biaya orang tua. Mereka yang dari kecil disuapin pembantu, diantar sopir, atau dininabobokin baby sitter.
Atau, orang miskin yang baru menjadi pejabat dan lupa diri. Lupa dirinya dari mana. Lupa tetesan keringat orang tuanya yang dulu susah payah membiayai sekolahnya. Lupa jika orang tuanya pernah hutang sana sini. Lupa Dengan jabatan yang dimiliki saat ini seolah-olah boleh menindas siapa saja. Dengan ringan ia berkata, “ini kebijakan kampus!”. Ya, kebijakan. Tidak ada yang salah dengan kebijakan. Namun, dimana kebijaksanaan?
Saya datang ke pelosok-pelosok desa memberi seminar motivasi pendidikan dan berkata kepada mereka, “mari kuliah. Mari berjuang. Hindari narkoba dengan menuntut ilmu”. Berbekal motivasi itu, mereka bersemangat untuk kuliah. Tapi sungguh saya menangis melihat kenyataan ketika mereka harus membayar biaya kuliah yang begitu besar. UKT kemudian memupuskan harapan mereka. “Saya gak jadi kuliah, Pak. Orang tua saya tidak sanggup bayar UKT”. Akhirnya mereka kembali pulang kampung. Pupus!
Akhirnya, wahai anak negeri, saya pun tidak punya banyak kata untuk diucapkan. Saya tidak punya kuasa atas apa pun. Hapuslah air mata kalian. Ketika kalian telah kehabisan tempat untuk mengadu, maka angkatlah tangan ke langit dan sampaikan kepada Tuhan kedzhaliman di muka bumi ini. Semoga Tuhan mendengarkan. Amin. #BNODOC22615082017
*Akademisi UIN STS dan Pengamat Sosial Jambi.
Discussion about this post