“Kalau itu kita belum bisa jamin (IAIN jadi UIN 2016), ini bergantung kepada kesiapan IAIN sendiri, seberapa siap IAIN ini memenuhi persyaratan yang ditetapkan” H. Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama Republik Indonesia (Jambi Ekspres, 21 Agustus 2015). Statemen ini agaknya mengejutkan masyarakat Jambi khususnya civitas akademika IAIN STS Jambi. Mengejutkan karena statemen ini di luar harapan. Pernyataan ini juga berbanding terbalik dengan apa yang disampaikan oleh Bapak rektor IAIN STS Jambi, Dr. H. Hadri Hasan, MA yang ‘menggebu-gebu’ menyampaikan kesiapan institusi pendidikan tinggi Islam Jambi ini menjadi UIN. Namun, jika dicermati lebih teliti lagi, statemen Menteri Agama di atas sebenarnya tidak serta merta memupuskan semangat dan harapan. ‘Tidak jamin IAIN Jadi UIN 2016’ artinya bisa saja lebih cepat dari waktu itu, atau sebaliknya. Tinggal dari sudut pandang mana melihatnya.
Untuk mengobati rasa kecewa terhadap statemen Menteri Agama tersebut atau mungkin lebih tepatnya untuk meyakinkan masyarakat luas, dua hari kemudian (tanggal 22 Agustus 2015), melalu Jambi Ekspres pula rector IAIN mengeluarkan statemen ‘serangan balik’ “Selangkah Lagi IAIN Jadi UIN”. Dengan penuh percaya diri rektor memaparkan syarat-syarat yang telah dipenuhi oleh IAIN STS Jambi untuk menjadi UIN STS Jambi. Kesimpulannya, Rektor sudah sangat yakin semua persyaratan sudah terpenuhi dan diterima oleh Negara melalui kementerian Agama Republik Indonesia sesuai presentasi tim IAIN 22 Desember 2014 yang lalu. Yang tersisa selangkah tersebut agakanya adalah tanda tangan Surat Keputusan (SK) oleh Presiden Republik Indonesia.
Melalui tulisan ini, saya tidak ingin terjebak dalam sebuah ‘perseteruan’ atau ‘perang’ statemen antara Menteri Agama dan Rektor. Saya sangat yakin kedua pejabat Negara ini pasti memiliki niat yang baik untuk kebaikan. Pak menteri mengatakaan ‘tidak jamin’ memang tidak ada yang bisa menjamin segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, kecuali kehendak Allah. Pak rector dengan data yang ditampilkan bukan untuk menyerang Pak Menteri tapi memberi infomasi kepada masyarakat betapa sudah siapnya IAIN STS Jambi. Semua baik. Pertanyaan mendasarnya kemudian adalah betulkah secara realita IAIN Jambi sudah siap menjadi UIN?
Terlepas dari pesoalan administratif persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi untuk mencapai UIN tersebut, ada gawean besar yang harus dibenahi di dalam institusi ini yaitu pembenahan sumberdaya manusia. Ini tidak hanya persoalan seberapa banyak guru besar dan doktor yang dimiliki, tapi lebih pada pola pikir dan mindset. Agaknya titik inilah penekanan yang ingin disampaikan oleh Bapak Menteri Agam dengan bahasa “seberapa siap”.
Kalaulah apa yang disampaikan oleh pak rektor bahwa ‘selangkah’ lagi IAIN ini Jadi UIN itu akan terwujud, maka rasanya masih dibutuhkan beberapa langkah lagi untuk meng-UIN-kan orang-orang yang ada di IAIN ini. Jangan sampai, IAIN ini hanya ganti baju. Bajunya UIN tapi isinya tetap IAIN. Mari kita cermati dari sudut pandang sederhana yaitu orientasi akademis.
Mengapa Negara menetapkan persyaratan-persyaratan berupa syarat menimal jumlah guru besar, doktror, magister, agreditasi jurusan dan fakultas, jurnal dan lain sebagainya? Bahwa syarat-syarat ini sebenarnya menggiring pada orientasi akademis yang benar. Institut tentu tidak sama dengan Univeritas. Seharusnyalah, orientasi akademis sebuah universitas lebih besar dari sebuah institute. Pada kajian ini, apakah IAIN STS Jambi benar-benar sudah siap? Mari kita menapak di bumi. Tampa mengurangi rasa hormat kepada semua pihak yang terlibat, IAIN STS Jambi masih menyisakan banyak persoalan akademis. Masih banyak kegiatan-kegiatan yang menyangkut dengan penunjuang kegiatan akademis yang masih ‘menyesakkan dada’. Lihat saja, persoalan Dosen Luar Biasa (DLB), jurnal, penelitian, seminar dan loka karya, selalu saja terkendala dengan pengelolaan pembiayaan.
Persoalan mindset juga menjadi kegelisahan tersendiri. Apa yang berkembang hari ini adalah, banyak sekali akademisi / dosen yang kehilangan orientasi akademiknya. Tidak bermaksud menjeneralisir, seringkali kuliah koktoral (S3) hanya dijadikan alat untuk rebutan kekuasaan alias jadi pejabat. Doktor yang tidak menjadi pejabat dianggap doktor ‘lolo’. Orientasi ini tentu sudah keluar dari khitohnya sebagai akademisi. Bukankah jabatan itu adalah tugas tambahan? Bukankah tugas utama seorang dosen itu adalah mengajar, meneliti, dan pengabdian pada masyarakat?
Mengembalikan orientasi akademik ini adalah sebuah keniscayaan sebagai bentuk kesiapan menerima status UIN tersebut. Tidak kita pungkiri apa yang terjadi hari ini bahwa institusi ini masih disibukkan dengan hal-hal remeh-temeh berupa perebutan kekuasaan sebagai rektor, dekan, ketua jurusan, dan jabatan-jabatan lainnya. Masih berkutat dengan rebut-ribut pembagian mobil pelat merah. Tapi belum ribut persoalan penerbitan buku, jurnal internasional, penelitan, dan sebagainya.
Begitu juga dengan kesiapan mahasiswa. Persayaratan untuk menjadi UIN harus memiliki 10.000 mahasiswa agaknya tagihannya bukan hanya sekedar kuantitas tapi juga kualitas, baik kualitas sebagai mahasiswa juga kualitas alumni yang dihasilkan. Jika dicermati kegiatan-kegiatan mahasiswa di kampus ini, masih sangat minim yang berorientasi pada pengembangan keilmuan soft-skill. Seberapa banyak setiap bulannya terselenggara kegiatan berupa seminar, loka karya, work-shop, pelatihan dan lain sebagainya oleh mahasiswa?. Masih sangat minim. Seberapa ramai perpustakaan di jam-jam istirahat? Dapat dipastikan lebih ramai kantin ketimbang perpustakaan. Inilah tugas besar perubahan tersebut.
Akhirnya, sudahi saja ‘perseteruan’ atau ‘berbantahan’ itu. Tidak pula perlu ‘berminyak air’. Benahi saja hal-hal yang substansial, hingga perubahan itu benar-beanar membawa perbaikan dan kebaikan. Bisa saja statusnya (tetap) IAIN tapi mental dan mindset orang-orang di dalamnya lebih hebat dari orang-orang UIN. Itu lebih baik. semoga
Bahren Nurdin, SS., MA
Dosen IAIN STS Jambi dan Pengamat Pendidikan Jambi
bahren_nurdin@yahoo.com
Discussion about this post