Masih ingat Oemar Bakri? Dialah prototype seorang guru Indonesia yang diciptakan legendaris hidup penyanyi ‘kritis’ Indonesia; Iwan Fals. Menurut Bang Iwan, guru Indonesia itu kehidupannya persis Oemar Bakri “pegawai negeri, 40 tahun mengabdi, jadi guru berbakti memang makan hati, banyak ciptakan menteri, professor, dokter insinyur pun jadi. Tapi mengapa gaji guru Oemar bakri selalu dikibir’. Mengenaskan sekali! Betapa tidak enaknya jadi guru di negeri ini. Mungkin itu pula mengapa guru selalu disebut-sebut sebagai ‘Pahlawan tanpa Tanda Jasa’. Agaknya kata ‘pahlawan’ pada ungkapan ini sekedar penyemangat para guru.
Namun pada tahun 2005 Pemerintah Indonesia mulai memperhatikan nasip ratusan ribu ‘Oemar Bakri’ di seluruh penjuru tanah air ini dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 14 tentang Guru dan Dosen. Pasal-pasal dalam undang-undang ini membuat guru dan dosen menarik nafas lega karena ada janji pemerintah untuk memperbaiki kehidupan ‘Oemar Bakri’ yang selalu ‘menunggang sepeda butut’ dari zaman Jepang. Salah satu pasal menggembirakan itu tertera pada Bagian Kedua; Hak dan Kewajiban, Pasal 14 yang menyebutkan bahwa dalam menjalankan tugas keprofesionalan, guru berhak a) memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial; b) mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; c) memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; d) memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi; e) memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan; dan seterusnya.
Dengan jaminan undang-undang ini maka dapat dipastikan kehidupan guru di Indonesia mengalami perubahan, paling tidak peningkatan penghidupan yang layak. Buktinya hari ini guru-guru sudah menikmati uang sertifikasi tersebut dengan baik. Lantas pertanyaan selanjutnya adalah “jika penghasilan sudah ditingkatkan, apakah kinerja guru sudah meningkat?” Tulisan ini sedikit mengingatkan para guru akan hal ini. Faktnya, walau tidak bisa digeneralisir, masih banyak guru yang telah mendapat tunjangan sertitifikasi namun masih memiliki kinerja yang ‘buruk’.
Ini artinya peningkatan penghasilan belum berbanding lurus dengan peningkatan kinerja di lapangan. Banyak guru yang lupa bahwa tunjangan yang mereka terima tersebut bersamaan dengan kewajiban yang harus diemban dan tidak boleh diabaikan sebagaimana juga tertera pada pasal 20 undang-undang ini. Ada sederetan kewajiban yang harus dilaksanakan secara professional dan bertanggung jawab diantaranya; a) merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; b) meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; dst. Semestinyalah, hak diterima dan kewajiban dijalankan.
Dengan demikian, para guru seharusnya betul-betul paham dan memahami makna ‘profesional’ yang tertera pada sertifikat yang diterima sebagai ‘Pendidik Profesional’. Kata lain dari professional itu adalah serius dan tidak main-main. Seharusnya para guru berbenah diri untuk meningkatkan kapabelitas dan profesionalitas. Paling tidak ada dua hal peting yang harus ditingkatkan. Pertama, peningkatan kualitas diri. Artinya, tunjuangan sertifikasi tersebut harus bisa digunakan untuk meningkatkan kwalitas diri. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh para guru untuk meningkatkan kwalitas diri mereka seperti dengan memperbanyak bahan bacaan tentang bidang ilmu yang dimiliki. Seyogyanyalah untuk menyisihkan sebagian uang sertifikasi tersebut untuk membeli buku dan media-media lainnya. Bisa juga dengan mengikuti berbagai seminar dan kegiatan-kegiatan akademik lainnya tanpa mengabaikan tugas pokok mengajar.
Dengan cara ini maka tunjuangan sertifikasi yang diberikan benar-benar bermanfaat untuk meningkatkan kwalitas guru Indonesia, tidak hanya dihabiskan untuk kepentingan konsumtif. Guru-guru yang berkwalitas dan memiliki wawasan yang luas sangat dibutuhkan di negeri ini sehingga terbentuk generasi muda yang tangguh. Guru memiliki peran sangat strategis untuk menentukan masa depan bangsa ini melalui pembentukan karakter generasi muda.
Kedua, peningkatan kemampuan administratif dan manajerial. Jika zaman ‘Oemar Bakri’ para guru berkutat dengan papan tulis hitam dan kapur tulis, saat ini sudah masanya guru Indonesia melek teknologi dan multi media. Guru professional harus memiliki kemampuan administrative dan manajerial yang tangguh dalam pengelolan bahan ajar dalam proses belajar mengajar. Tidak zaman lagi guru menggunakan cara CBSA alias catat buku sampai abis.
Jika demikian, tunjangan sertifikasi tersebut sudah harus disisihkan untuk melengkapi diri dengan ilmu pengetahuan teknologi seperti computer dan internet. Jangan sampai ada guru yang mengaku guru professional dengan memperoleh tunjangan sertifikasi tapi gaptek alias gagap teknologi. Ini sangat penting karena mereka mau tidak mau harus berpacu dengan anak didiknya sendiri. Tidak dapat dipungkiri saat ini, dari kota hingga ke pelosok desa anak-anak sudah sangat akrab dengan perkembangan teknologi, minimal game olnline dengan memanfaatkan jaringan internet (di warnet). Jangan sampai guru dibohongi murid hanya karena ketidak tahuannya.
Jadi, untuk apa tunjuangan sertifikasi tersebut? Untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga guru sudah pasti. Namun jangan sampai terlena bahwa uang tersebut juga harus digunakan untuk peningkatan kwalitas dan kemampuan para guru. Intinya, jangan sampai penghasilan bertambah tapi kinerja tetap. Seharusnya, dengan adanya peningkatan pendapatan maka semangat kerja dan perbaikan kwalitas diri semakin meningkat. Semoga.
Discussion about this post