Istilah ini baru beberapa hari ini saya dapat. Saya dengar langsung. Namun, anda tidak pula perlu tahu saya dapat dari mana karena khawatir kita akan terjebak dengan subjektifisme. Lebih baik berbicara substansi ketimbang membahas ‘siapa’ yang akan menimbulkan sentiment personal.
Istilah ‘tulisan sampah’ itu muncul ketika saya menuliskan sejumlah judul tulisan saya di Daftar Riwayat Hidup atau Curriculum Vitae (CV) untuk suatu kepentingan. Tulisan-tulisan yang selama ini saya publish tidak lebih dari sampah ketika dibandingkan dengan tulisan ilmiah yang dimuat di jurnal-jurnal nasional dan internasional. Maksudnya, sebagai akademisi saya tidak perlu menampilkan tulisan-tulisan itu di-CV karena tidak ada korelasinya dengan saya sebagai ‘akademisi’. Seharusnya, tulisan-tulisan yang saya cantumkan di CV adalah tulisan-tulisan ilmiah, hasil penelitian, dan sejenisnya.
Pandangan semacam ini tentu tidak ada salahnya khususnya pada perspektif akademik. Akademisi ya harus menulis karya-karya ilmiah yang berangkat dari data-data impiris penelitian (knowledge for knowledge). Tapi, ada juga perspektif lain yaitu perspektif ‘ilmu untuk masyarakat’ (Knowledge for Society). Jika ditanya, seberapa banyak masyarakat umum yang mengakses jurnal-jurnal nasional atau internasional sehingga mereka mendapat manfaat dari bacaan tersebut? Saya tidak begitu yakin. Dan, dapat dipastikan dengan perspektif ini kaum akademisi akan terus bertengger di ‘menara gading’. Bahkan, untouchable!
Saya kemudian dengan sangat percaya diri untuk mengatakan bahwa masyarakat umum akan lebih banyak mendapat manfaat dari tulisan-tulisan ‘sampah’ yang berserakan di lembaran-lebaran koran (cetak dan online) dan grup-grup media sosial ketimbang ‘barang bagus’ yang terbungkus rapi di lemari kaca rak buku seorang profesor. Dipastikan ‘sampah-sampah’ itulah yang berani dilahap masyarakat dan ‘mengenyangkan’ dahaga ilmu mereka.
Tapi biarlah. Saya terinspirasi dengan kata ‘sampah’ untuk dijadikan sebuah analogi positif. Pertama, tidak semua sampah terbuang. Sampah memang merupakan barang jelek, rongsok, buruk, busuk, remuk dan seterusnya. Tapi ingat, tidak semua terbuang. Ada beberapa diantaranya yang mendatangakan manfaat. Saat ini banyak orang menjadi kaya dengan memanfaatkan sampah-sampah yang terbuang. Baik dimanfaatkan langsung maupun dijual untuk mendapatkan uang.
Saya juga berkeyakinan demikian. Memang artikel-artikel yang muncul di media-media online atau yang berserakan di media sosial boleh jadi sebagiannya adalah sampah apa yang sering disebut dengan istilah hoax. Tapi dari sekian banyak sampah itu dipastikan ada satu atau dua yang mendatangkan manfaat bagi banyak orang. Jikalah tulisan-tulisan saya adalah sampah, maka saya semakin semangat untuk memproduksi sampah-sampah tersebut agar semakin banyak yang bermanfaat. Jika 10 artikel adalah sampah, maka saya harus menulis 100 artikel untuk mendapatkan minimal 10 yang tidak jadi sampah.
Kedua, daur ulang. Pada masanya nanti saya ingin mendaur ulang tulisan sampah yang yang saya produksi selama ini. Siapa tau dari daur ulang itu ada yang dapat dijadikan buku yang bermanfaat bagi orang lain. Jika pun bukunya menjadi sampah, paling tidak saya telah mampu ‘nyampah’ di perpustakaan atau toko buku.
Akhirnya, sesampah-sampahnya tulisan (sejelek apa pun itu) saya masih berfikir positif sebuah tulisan akan mendatangkan manfaat bagi orang lain. Sampah bagi kaum intelektual yang memang terbiasa dengan jurnal-jurnal internasional, belum tentu sampah bagi masyarakat umum. Yang jelas, jika masih diizinkan Allah, saya akan terus bertekad dengan sekuat tenaga untuk memproduksi sampah-sampah tulisan ini. Jika hari ini tidak bermanfaat, siapa tahu suatu saat nanti ia mendatangkan kebaikan. Amin.
Discussion about this post