Oleh: Bahren Nurdin, MA
Pemerintah Kota Jambi segera menghancurkan salah satu ‘land mark’ yang ada yaitu Tugu Jam Kota Baru yang mirip dengan Monumen Nasional (Monas) dan akan digantikan dengan Tugu Keris Siginjai. Pro dan kontra pun tidak dapat dielakkan. Perdebatan di media sosial pecah tak terhindarkan. Masing-masing orang bersuara dengan pendapat dan perspektif sendiri.
Namun sayang, perdebatan-perdebatan itu terkesan ‘debat kusir’ yang berlalu begitu saja. Tidak ada yang berbicara dengan data. Saya tidak menemukan data yang dirilis oleh Pemkot Jambi semacam hasil kajian seberapa urgen dan penting penggantian tugu ini. Atau paling tidak survey dan jaja pendapat masyarakat Jambi berapa persen yang setuju dan berapa persen yang tidak setuju. Terkesan, penggantian tugu ini semata kehendak sepihak Pemkot. Ingat, Pemkot tidak berada di ruang hampa. Pendapat rakyat perlu dipertimbangkan.
Ketika saya dimintai pendapat oleh kawan-kawan media menanggapi hal ini, tegas saya mengatakan bahwa saya tidak setuju dengan penghancuran tugu ini. Catat baik-baik, saya tidak setuju dengan penghancuran tugu yang sudah ada, bukan tidak setuju dengan pembangunan tugu yang baru. Ada beberapa alasan, pertama, menghargai karya pendahulu. Bagaimana pun tugu ini telah berdiri sejak lama menjadi entitas masyarakat Kota Jambi.
Jika dikatakan bahwa tugu ini mirip Monumen Nasional (Monas), atau Monas Kawe (palsu), apa salahnya? Ber-positive thinking bahwa para pendahulu mendirikan tugu ini ingin menunjukkan kebanggaannya kepada Monas dengan mendirikan reflikanya di kota ini. Toh Monas juga merupakan kebanggaan bangsa ini. Ingat, Monas bukan milik Jakarta, tapi milik bangsa ini. Monas juga bukan identitas budaya Jakarta (Betawi), tapi milik Indonesia. Tugu Monas adalah monumen peringatan setinggi 132 meter (433 kaki) yang didirikan untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda (wiikipedia.com). Apa yang salah?
Jika diamati lebih cermat, tugu ini pun tidak 100% plak tiruan Monas tapi ada kesatuan unsur-unsur budaya Jambi di dalamnya. ‘Monas’ berdiri di atas angsa yang menjadi ciri khas Kota Jambi. Juga terdapat ukiran-ukiran khas Jambi. Jadi ada unsur-unsur ke-Jambi-an pada tugu ini.
Kedua, mengapa harus menggantikan bukan membangun. Ada begitu banyak tempat lain yang dapat dibangun Tugu Keris Seginjai yang direncakan. Mengapa harus menghancurkan yang sudah ada? Harusnya Pemkot menambah bukan menghilangkan. Bagaimana pun, tugu ini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari entitas masyarakat Kota Jambi.
Sebenarnya Pemkot tidak perlu menghancurkan tugu ini karena masih banyak tempat lain yang strategis untuk dibangun tugu apa pun. Katakanlah misalnya di depan Bandar Udara Sulthan Thaha juga terdapat bundaran yang cukup menarik perhatian para tamu dari luar Kota Jambi. Di permapatan jalan pal 10 pintu masuk dari arah Palembang juga tempat yang tidak kalah strategis untuk dibangun tugu sebagai ucapan ‘selamat datang’ kepada para tamu dari luar daerah. Dan tempat-tempat lainnya.
Saya mencermati perdebatan yang terjadi di media sosial saat ini bukan masalah tugunya tapi lebih kepada penghancuran yang ada. Itu artinya, masyarakat Jambi masih sayang dengan apa yang telah mereka miliki salama ini. Tugu Jam Kota Baru juga masih kokoh dan cukup cantik sebagai ‘aksesoris’ kota. Masyarakat tidak menemukan alasan yang kuat bagi Pemkot mengapa tugu ini harus dimusnahkan.
Celakanya, ketika masyarakat tidak menemukan alasan yang esensial terhadap penghancuran tugu ini, maka isunya kemudian ditarik ke mana-mana. Sampailah pada persoalan proyek dan politik. Jika sudah sampai pada wilayah ini, maka diskursus yang dibangun menjadi semakin tak terkendali. Diperkirakan dana yang dihabiskan untuk menggantikan tugu ini sekitar 3 milyar rupiah. Ini tentunya nilai proyek yang cukup besar. Jadi bagaimana pun penolakan yang dilakukan oleh masyarakat, karena proyek ini sudah ditenderkan, maka ‘harus’ jalan terus.
Lebih ‘panas’ lagi, isu penggantian tugu ini ditarik hingga melar sampai ke ranah politik. Sama-sama diketahui pada tahun 2018 mendatang adalah tahun politik bagi Kota Jambi. Diprediksi, isu tugu ini akan menjadi salah satu batu ujian bagi incumbent yang segera naik ‘panggung’. Jika penolakan masyarakat semakin besar terhadap penggantian tugu ini, maka ini adalah langkah ‘blunder’ yang akan menjadi batu sandungan. Dan sebaliknya, jika banyak yang setuju, maka akan menjadi pendongkrak elektabilitas yang sudah ada. Keputusan ada di tangan masyarakat Jambi.
Akhrinya, pembangunan yang diperuntukkan kepada rakyat tidak ada salahnya ditanyakan kepada rakyat, lebih-lebih yang menyangkut entitas adat dan budaya. Suara rakyat tidak boleh diabaikan begitu saja. Tugu Jam Kota Baru masih berdiri kokoh dan masih menjadi bagian dari masyarakat Jambi, mengapa harus dihancurkan? Seyogyanya, mendirikan yang baru tanpa harus menghancurkan yang ada. Tugu Jam dibuang sayang!
#BNODOC19919072017
*Akademisi UIN STS dan Pengamat Sosial Jambi
Sumber Foto: Klinik Fotografi
Discussion about this post