Besok adalah hari pertama puasa tahun ini. Delapan bulan sudah ia hidup di tanah Melayu. Untuk menyambut bulan yang penuh berkah ini ia telah persiapkan diri lahir dan bathin, jiwa dan raga. Dan tentu saja ini akan menjadi ramadhan pertama jauh dari orang tua. Ramadahan pertama jauh dari tanah kelahiran. Ramadhan pertama terpisah dari pangkuan bumi pertiwi.
Semua telah dipersiapkan jauh sebelum hari ini, tepatnya sebulan yang lalu. ”jika mau masuk bulan puasa itu, semunya dipersiapkan, belanjaan, bersihin kamar, ruang tamu, halam rumah, dapur harus cling….bla..blaa...” kata mamanya suatu waktu. Pesan itu kini harus ia tunaikan. Paling tidak jika mamanya telpon nanti malam sudah ada jawaban. Maka mumpung ada pasar malam di depan flatnya, semua belanjaan untuk sahur dari belanja dapur sampai cemilan sudah pula dimasukkan ke dalam kulkas.
Sebenarnya sebagai orang yang lahir di tengah kemudahan seperti hari ini, pesan ini mungkin terksesan lucu, apa lagi ketika mamanya mengatakan bahwa pesan itu dia dapat berantai dari beberapa generasi sebelumnya. Jika babarapa puluh tahun yang lalu pesan seperti ini mungkin adalah hal yang wajar karena pasar jauh dari tempat tinggal, hanya ada seminggu sekali. Jadi semuanya harus dipersiapkan dengan baik jauh-jauh hari. Tapi hari ini semua telah tersedia dengan mudah dan cepat. Bahkan ada supermarket yang buka hingga 24 jam. Tapi pesan itu tidak boleh hanya diterjemahkan sebagai pesan biasa, tetapi mengandung makna bahwa ketika ramadhan datang ia harus disambut dengan segala persiapan. Persiapan seperti yang disamapaikan mamanya tentu hanyalah simbol dari semua persiapan, sebagai tanda ada tamu agung yang mau datang.
”Selamat menunaikan ibadah puasa dan mohon maaf lahir dan bathin. From Julianingsih Putri” adalah bunyi sms yang ia kirim ke semua teman-teman. Begitu juga melalui email. Semua permintaan maaf sudah diposting baik secara pribadi maupun secara umum termasuk ke milis Persatuan Pelajar Indonesia Malaysia. Rasanya tahun ini ia benar-benar sudah siap menyambut tamu agung itu dengan penuh suka cita.
”Assalamu’alaikum, Lia aku minta maaf ya atas salah dan dosaku selama ini.. Kan besok puasa, aku ingin kita menyambut ramadhan ini dengan saling memaafkan. Masa lalu adalah sejarah. Aku telah memaafkan mu, karena kau memenag tidak tak perlu minta maaf padaku. Maafin aku Lia. Wassalam, from Fariz”
Membaca nama pengirim sms itu ia langsung gemetar. Ia bagai bermimpi di siang hari. Ia langsung menutup laptop yang ada dihadapannya dan langsung menghempaskan diri di atas kasur. Ingin rasanya ia melempar Nokia canggih itu jauh-jauh keluar jendela. Dan jika ia tahu sms itu adalah dari Fariz mungkin ia memilih untuk tidak membacannya. Tapi sekarang sudah diterima dan ia baca. Dari mana Fariz mendapatkan nomornya?
”Fariz… aku telah bersumpah untuk tidak akan memaafkanmu… aku telah menutup pintu maafku untuk mu..!” Air matanya mulai menetes. Ia menelungkup menghadap bantal dan tangan kanannya memukul-mungkul bantal yang tak bersalah. Bantal itu pun mulai menjadi basah oleh air matanya. ”tapi mengapa hari ini kau datang lagi..? Kau Jahat Fariz… kau tak biarkan aku menyambut Ramadhan ini dengan tenang. Mengapa kau masih ganggu aku….Faarrriiiizzz….” Ia teriak sekuat tenaga menyebut nama pemuda itu di sela tangisnya.
Tapi beberapa detik setelah teriakan itu ia tersadar. Ia membalikkan badab dan menelentang di atas kasurnya dan sedikit merasa lega. Ia hapus air mata yang tersisa. Ia tatap dek kamar itu dengan nanar sambil bergulat dengan pikirannya senidiri. Sesekali ia tersenyum tanpa tahu apa yang ia senyumkan.
”haruskah aku memaafkan mu Fariz..? bukankah orang-orang pernah mengatakan bahwa untuk melupakan orang yang kau cintai memerlukan waktu paling tidak selama kau mencintainya. Dua tahun Fariz..”
”Ooo…tidak. tidak mungkin aku memaafkanmu. Paling tidak aku membutuhkan waktu satu tahun lagi tuk mengobati luka ini. Kau telah menorehkan luka yang tak terkira. Luka itu telalu sakit Fariz…!”
”Tapi besok Ramadhan. Mungkinkah aku memasuki ramadhan sementara hatiku masih kotor dengan dendam?”
”Fariz…kau tidak hanya menyakiti duniaku, tapi juga akhiratku, Fariz…”
Ia membenamkan diri kembali kedalam bantal. Ia telah sekuat tenaga menahan tangis. Ia mencoba mengedepankan logika. Ia coba memposisikan diri sebagai calon Master. Ia sadar terkadang wanita memang berada dalam dua dunia yang dilematis. Dunia dan perkembagan zaman yang terkadang menuntut wanita berada di tempat yang sama pada dua kondisi yang berbeda. Ketika mereka memposisikan diri sebagai qodratnya wanita, mereka tidak akan dipersalahkan, diejek, dianggap lemah ketika mereka menangis, merayu, dan memelas kasih. Qodrat sebagai wanita tidak akan membuat mereka malu untuk meminta perlindungan sebagai bukti mahkluk lemah yang membutuhkan perlindungan dan perhatian. Mereka tetap seperti Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk Adam. Tapi di sisi lain zaman memaksa wanita keluar dari qodrat itu, mereka menjadi malu untuk menangis ketika hanya tersadar sebagai calon Master, Doktor, atau perofessor. Mereka harus berpura-pura kuat ketika orang menyebutnya ibu menejer. Mereka seolah-olah tidak membutuhkan lawan jenisnya ketika embel-embel ibu direktur melekat di depan ruangannya. Banyak wanita kehilangan qodratnya hanya karena dipaksa zaman dan peradaban.
Lia ingin sekali mengedepankan logikanya. Persetan dengan hati dan perasaannya. Tapi bagi Lia semua itu masih terlalu berat. Ia belum mampu mengalahkan rasa, pilu di hatinya. Hatinya masih belum mampu mengalahkan logikanya. Calon master yang menempel belum mampu mengaburkan sensitivitas kelembutannya sebangai wanita. Padahal ia baru saja membaca ”Forgiveness in Health Research and Medical Practice” yang mengatakan bahwa “Orang yang tidak memaafkan terkait erat dengan sikap marah, yang berdampak pada penurunan fungsi kekebalan tubuh. Mereka yang tidak memaafkan memiliki aktifitas otak yang sama dengan otak orang yang
sedang stres, marah, dan melakukan penyerangan (agresif)”.
Sekarang masuklah tiga unsur yang ’mengacau’ benaknya yitu hati (perasaan), logika (ilmu), dan agama. Ketiga elemen ini harus ’diadu’ di atas ring air matanya untuk mendapatkan alasan yang tepat untuk memaafkan Fariz atau tidak.
”Sesuai sumpahku, aku tak akan memaafkanmu Fariz… luka yang kau torehkan terlalu sakit bagi seorang wanita. Tidak hanya aku tapi juga keluargaku. Tidak hanya duniaku, tapi juga akhiratku. Tidak Fariz…jauh-jauh aku ke Malaysia hanya untuk lari dari hidupmu. Kini kau meminta maaf dariku hanya dengan seulas sms. Tidak Fariz” Kata hatinya.
”Jika aku tak memaafkanmu, maka aku kan memiliki otak yang memiliki aktifitas yang sama dengan otak orang yang sedang stres, marah, dan melakukan senyerangan (agresif)” Kata ilmunya yang baru saja ia dapat.
“Jika aku tak memaafkanmu Fariz… Tuhan pasti akan marah padaku. “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barangsiapa memaafkan dan terbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim. Zalimkah diriku padamu Fariz…?” Nilai-nilai agamanya menyeruak di antara serpihan kepedihan jiwa.
Pertarungan maha dahsyat ini membuat ia tak berdaya. Air matanya seakan tak lagi mau menetes. Air mata itu telah begitu banyak ia kuras setahun yang lalu. Kini ia tidak akan dihabiskan sia-sia.
”Haloo..Fina ya? Fin, lho bisa kerumah gue gak. Sini dung…” pintanya
”Serius amat lho Ya? Emang ada apa lagi?” Tanya Fina teman sekampusnya yang mendengar suara Lia sedikit serak-serak karena tangisnya. Fina adalah teman karib yang biasanya siap meneriama keluh kesah Lia.
”Sini deh..entar gue ceritakan. Ok.. Cepatan ya.. gue tunggu, salamualaikum” Putus Lia tanpa menunggu konfirmasi dari Fina.
Setelah menelpon Fina ia sedikit kembali tenang. Fina pasti sebentar lagi datang. Fina adalah teman yang paling memehami kisah hidupnya hingga terdampar di Malaysia ini. Fina menjadi tempat berbagi. Begitulah sesungguhnya persahabatan itu. Teman belumlah menjadi teman sebelum mampu merasakan kepedihan yang dirasakan oleh temannya. Jika teman untuk tertawa mudah dicari, tapi teman untuk menangis tidak gampang untuk didapat. Teman untuk diajak makan-makan sangat banyak, tapi teman untuk diajak berbagi derita tidak mudah diperoleh.
”lo napa sembab gitu Ya? Kanapa ngangis gak karuan gitu?” Tanya Fina sesampai di kamar Lia.
”Fin, lho baca sms ini.” Jawab Lia sambil menyerahkan hpnya ke Fina. Fina pun menerima hp itu. Di bacanya dengan cermat kata-kata yang ada. Sebenarnya tidak ada yang istimewa karena sudah sangat biasa menerima sms ucapan maaf seperti ini.
”Yah..ini ma biasa aja lagi. Gue aja dapat seratus lebih sms kaya gini. Semua teman gue kirimin gue, dari Indonesia, Jordan, Bangladesh, Irak, Yaman, Malaysia, Iran, de el el… sms gitu aja repot..?” sambung Fina sambil menyerahka kembali hanfon Lia
”Lho baca apa nga? Bukan isinya Neng…. tapi…” Lia serahkan kemabi hp itu ke Fina. Fina pun kembali mengambil hp itu. Dilihatnya pemilik sms itu ternyata tidak terdaftar. Yang ada hanya deretan angka. Ia mencoba melihat sampai ke akhir pesan itu dengan teliti. Tapi sungguh ia kaget.
”Fariz…? Lia…bagaimana bisa Fariz ke Malaysia?” Tanya Fina kaget bukan kepalang.
”Ke Malaysia?”
”Ya iya lah, lho liat gak nomornya? Ini kan nomer MAXIS?” sambung Fina sambil menyodorkan hp tersebut ke muka Lia. Lia tambah tak mengerti, galau. Dadanya seketika berdebar kencang. Dilihatnya nomer yang tertera di hp itu ternyata memang benar. Dia tidak perhatian karena ia mengira 08127694… tapi tenyata adalah 0127694…
”Kalau gitu kita telpon aja dia sekarang” usul Fina
”Tidak…aku tidak akan memaafkannya Fin. Lho tau kan? Gue sakit Fin..” sambut Lia.
”Yaa… seingat gue, lho juga belum pernah mendapat konfirmasi langsung dari dia kan?”
”Kuarang apa lagi Fin? Semua sudah jelas. dia sudah menikah di Amerika. Dan jika berita itu tidak benar, mengapa selama ini ia tidak pernah menghubungiku? Lho tahu gue dan keluarga gue sudah dipermalukan olehnya. Asal lho tahu saja semenjak gue berangkat ke Malaysia ini, cincin tunangan yang ia berikan sebelum ke Amrik udah wa buang entah kemana. Gue benci dia Fin…!” Semprot Lia sambil mengingat luka yang telah berlalu.
Fariz adalah pemuda yang telah berjanji dan bersumpah menikahinya dua tahun lalu, tepatnya bulan Desember 2006, sebelum ia berangkat S2 ke Amerika. Karena alasan waktu, mereka akhirnya tidak jadi menikah dan hanya bertunangan. Pernikahan itu tertunda hanya karena Fariz harus secepatnya berangkat ke Amerika pada saat yang sama. Jika tidak maka beasiswa yang ia dapat akan hangus. Untuk persiapan pernikahan paling tidak membutuhkan waktu sebulan. Tapi setahun kemudaian hubungan itu berkeping-keping berantakan ketika Lia mendapat berita dari teman Fariz bahawa Fariz telah Menikah dengan Gadis Malaysia di Amerika. Mendengar berita itu, Lia terluka dan akhirnya memutuskan untuk melupakan semua kenangan manis bersama Fariz walau hannya jarak jauh. Semua kemudian dia kubur. Kemudaian ia kabur tuk menghibur hidupnya dengan melanjutkan kuliah Masternya di Malaysia. Ia belajar bangkit dari sakit itu. Tapi baru saja akan sembuh, sms dari Fariz hari ini menguak luka itu kembali.
Tak lama kemudian hpnya berdering. Benar saja yang keluar di layar hp nya adalah deretan angka tak bernama. Jelas adalah angka nomer baru dari Fariz. Lia melihat ke Fina nanar. Ia seolah mencari jawaban untuk menjawab telpon itu atau tidak. Hp itu pun terus menggegar.
”Lia…” Fina nampak tak bisa berkata apa-apa. Tidak tahu apa yang harus disarankan kepada sahabatnya itu. Jika ia pada posisi Lia mungkin juga akan merasakan beratnya situasi yang dihadapi Lia.
”Ya…tanya hati mu. Tak ada yang lebih berhak kecuali dirimu sendiri” saran Fina.
Lia memjamkan matanya sambil menahan getaran hp yang ia genggam. Nampak di bibirnya mengulas beberapa asma Allah. Ia mencoba mencari penguatan bathin.
”Fin..mungkin ini cobaan menghadapi ramadhan”. Jawabnya walau matanya masih terpejam. Fina pun mengenggam tangan kirinya seakan memberi pegangan kepada sahabat baiknya itu. Terasa tangan Lia gemetar.
”Assalamualaikum…” dia terdiam seakan mencoba mencari suara di ujung sana. Tapi lama tak ada suara sama sekali. Hening hingga beberapa saat. Lia pun harus mengulangi salamnya beberapa kali.
”Wa’alaikumsalam…apa kabar Lia?” Suara di seberang sana akhirnya terdengar juga. Suara itu masih sangat Lia hapal.
”Baik, apa kabar….Bbb…” berat sekali lidahnya untuk menyambung kalimat itu dengan sebutan ’Bang’ yang dulu sangat sering dia ucapkan. Kini terasa asing panggilan itu di lidahnya.
”Baik…” Sambung Fariz dari seberang tanpa menunggu kalimat Lia yang masih menggantung itu.
”Lia…pertama saya minta maaf. Kedua saya ingin bicara langsung ke Lia. Apa ma..”
”Fariz…” Lia sengaja tidak memakai sapaan apa pun. Dan dia berusaha tegar dan tegas.
”Fariz…semua sudah jelas dan tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Di antara kita sudah tidak ada lagi hubungan apa-apa. Sebaiknya jangan ganggu aku lagi”
”Tunggu Lia…biar saya jelaskan…”
”Maaf Riz…sekali lagi mohon dimengerti bahwa tidak ada lagi hunungan di antara kita. Aku sudah terlalu kau sakiti….” Lia terdiam menahan luapan di dada manahan amarah dan tangis. Ia berusaha agar tidak menangis.
”Lia… aku tahu, tapi pliisss…beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Sekali saja” Pinta Fariz
”Sudah aku katakan tidak ada lagi yang perlu dijelaskan. Kepergian kau selama ini telah cukup jelas bagiku Riz…! Kau telah cukup jelas menghancurkan semau mimpi kita. Dan sekarang semua telah kukubur. Jangan berikan penjelasan apapun..!” Suara Lia mulai tak terkendali. Fina hanya mampu melihat dan menggenggam tangan Lia. Fina mampu merasakan apa yang dirasakan oleh Lia.
”Baiklah Lia. Tapi… ini ada yang mau bicara…” sambut Fariz masih tenang
”Assalamualaikum… Lia apa kabar?” suara ibu-ibu keluar di spekear henfon Lia.
Lama lia tidak bisa menjawab salam itu. Ia sangat hapal suara ibu-ibu itu. Tapi ia tidak percaya terhadap apa yang ia dengar. Itu suara mamanya. Tapi manalah mungkin mamanya barsama Fariz.
”Assalamua’alaikum Lia… ini Mama” Berualang kali mamanya mengucapkan kata-kata itu untuk meyakinkan Lia. Tapi Lia tetap bingung dengan apa yang sedang terjadi. Ia seolah berada di dalam mimpi.
”Mama..? Mama di mana?” Tanya Lia ditengah ketidak kepercayaannya. Tapi ada rindu merayap di dadanya. Sejak dulu mamanya adalah orang yang tempar ia menumpahkan segala rasanya dan problematika kehidupan. Mama yang selalu memberi energi dalam hidupnya. Mama yang selalu menguatkan dan meyakinkan saat dia lemah dan tak berdaya.
”Ma…mama…” Suaranya serak dan tak tertahankan lagi air bah yang mengalir dari matanya.
”Mama dia mana..? Lia kangen mama…”
”iya… jangan nangis dung anak mama. Udah calon master kok masih cengeng…, sebentar lagi mama ke flat kamu, OK.” Sahut mamanya tegar. Wanita separoh baya itu sudah sangat hafal ’menangani’ anak gadisnya itu. Semua rencana memang telah dipersiapkan di luar sepengatahuan Lia. Ia datang bersama Fariz dan keluarga untuk meyakinkan Lia bahwa semua yang terjadi selama ini hanyalah kesalah pahaman. Fariz tak pernah menghianati Lia.
”Ceritanya panjang Lia, tapi besok puasa, maukah kau memaafkan aku? Cuma itu yang aku minta saat ini, tak lebih” Tanya Fariz setelah ngobrol sana sini. Dan Lia pun sudah sangat tegar setelah mendapat pelukan dan penjelasan dari mamanya. Lia yakin mamanya tak akan pernah membohonginya. Semua berita yang sampai ke Lia selama ini sama sekali tidak benar. Kebenaran adalah kebenaran. Sekarang terkuak setelah kepulangan Fariz.
”Marhaban ya ramdhan, semoga ini titah ramadhan padaku untuk memaafkan Abang..” Kata Lia sambil tersenyum. Ramadhan pasti akan membawa cerita dan berita haru untuk umat yang menyambutnya dengan gembira. Ramadhan adalah bulan yang llebih baik dari seribu bulan. Marhaban ya ramadhan.(bhn).
(Malaysia, dimulai awal ramadhan 1429 dan diselsaikan 25 November 2008)
www.hidayatullah. Com (dimuat di milis PPI UKM)
Discussion about this post