“Ranti”
“Ricko”
Masih sangat jelas di ingatannya kejadian itu tiga tahun silam. Jabatan tangan pertama yang begitu lembut seakan membekas di telapak tangnnya untuk selamanya. Jabatan tangan itu seakan menjadi sebuah seremonial bak pemotongan pita bunga peresmian sebuah pautan tali pergaulan.
“Mau kacang rebus atau jagung bakar?” Tanya gadis itu.
“Apa aja yang penting enak” Ricko mulai salah tingkah. Jarang-jarang ditawarin apa lagi diteraktir cewek.
“Jangankan jagung bakar, sandal bakar pun enak asal ditawarin cewek cantik kek Ranti” Setengah berkelakar, jurus merayunya Ricko mulai merayap.
“Ah.. berlebihan. Nih ada sepatu. Minta bakarin ama tukang jagung bakar tu..!” Jawab Ranti sambil mensedekahkan senyum lembutnya.
Pertemuan dan wal perkenalan itu mungkin tak pernah terlupakan oleh Ricko untuk selamanya. Awal perkenalan dengan seorang gadis manis bernama Ranti. Ranti seorang wantawan harian Koran terkenal di kotanya. Ranti adalah gadis pekerja keras yang memiliki pendirian dan prinsip. Dia memang tipe wartawan yang sangat menjunjung tinggi kode etiknya sebagai wartawan.
“Kok mau jadi wartawan sih?” Tanya Ricko pedekate alias pendekatan
“Itulah sebuah profesi yang banyak orang tidak berminat. Jadi wartawan gak kan bisa kaya. Mana ada wartawan kaya…”
“trus kanapa mau jadi wartawan kalo gitu?”
“jadi wartawan bukan kaya yang kucari..”
“trus…?”
“Entahlah, aku sendiri belum tau pasti apa yang aku cari”
“Mau cari aku kali…? Haaa…haaa” Tawa Ricko pecah memecah seriusnya pembicaraan Ranti. Dinginnya malam itu membuat suasana sebenarnya semakin syahdu. Ranti menerawang rembulan di balik rimbunnya pohon beringin tempat mereka menghabiskan malam di pinggir sungai terpanjang Pulau Sumatera itu. Orang-orang kota itu menyebutnya ‘ancol’. Tidak lagi senja sebenarnya. Jam telah menunjukkan pukul setengah sebelas malam.
“Gak dicariin ibu, Ran?” Tanya Ricko dengan nada selidik
“Emang anak kecil. Wartawan lagi. Eh Rik, asal lho tau ya, wartawan itu gak pernah melihat jam dalam bekerja. Mereka harus siap 24 jam. Apa lagi ada liputan khusus seperti bencana alam, kebakaran, tabrakan de el el. Kalo masih dicariin Ibu gak usah jadi wartawan lah. Lho kali yang dicariin Ibu …heee…heee..” Ranti setengah mengejek Ricko. Ricko hanya bisa sedikit tersenyum sambil melahap satu persatu kacang rebus yang tidak lagi panas ditelan angin malam.
Begitulah kenangan manis awal pertemuan merek. Begitu indah, begitu istimewa. Begitu juga selama tiga tahun ini, Ranti telah mewarnai hidup Ricko dengan segala romantika kehidupannya. Minggu depan mereka akan menikah. Semua undangan telah disebarkan. Semua persiapan telah dimatangkan. Tapi…
“PEMABALAKAN LIAR PT WAHANA KARYA SUMATERA (WKS) DI-BACKING PARA PEJABAT” Berita yang Ranti tulis tiga hari lalu telah menghancurkan semua rencana itu. Entah apa jadinya pernikahan mereka.
“Kenapa semua itu baru ditulis sekarang? Bukannya berita itu sudah diliput beberapa bulan yang lalu? Mengapa harus merusak rencana pernikahan kita?” Bentak Ricko emosi.
“Siapa yang merusak pernikahan kita? Berita yang kutulis itu tidak ada sangkut pautnya dengan pernikahan kita..!” Bentak Ranti memebalas.
“Apa..? Tak ada sangkut pautnya? Bagaimana dengan sms-sms ancaman ini? Bahkan mereka akan membunuhmu, Ranti…!” Suara Ricko mulai menurun dan penuh kasih.
“Mas, apa yang kutulis itu benar adanya. Ranti hanya mengungkap kebenaran. Itu tugas kami sebagai wartawan..!” Sergah Ranti keras
“Kamu benar Ran, selama ini Mas tak pernah menghalangi tugasmu. Mas bangga memiliki calon istri seorang wartawan yang berdedikasi. Tapi ini hanya masalah waktu. Mengapa baru ditulis sekarang berita ‘panas’ itu? Itu masalahnya. Berbahaya, Ranti”. Terang Ricko
“Aku tak pernah takut sedikitpun dengan ancaman itu. Ancaman itu hanyalah aksi orang-orang busuk di negeri ini. Mas, coba lihat photo-photo ini. PT WKS berlindung di balik tanaman produksinya untuk menebangi hutan negeri ini. Lihat, siang hari mereka mengangkut pohon-pohon yang mereka tanam sendiri. Pohon akasia. Malam hari mereka mengangkut pohon lindung. Hutan ini mereka tebang semau udel-nya sendiri. Anehnya, mereka penggundul hutan, eh malah mendapat penghargaan sebagai pelestari hutan. Tapi…sebaliknya masyarakat desa yang menanam pohon untuk kelestarian hutan malah ditangkap dan dituduh sebagai pembalakan liar. Negeri ini tak adil…!” Terang Ranti setengah berceramah di hadapan Ricko sambil menunjukkan puluhan photo tronton yang sedang mengangkut log.
Ricko hanya bisa terdiam. Ricko sudah hafal benar bahwa ketika Ranti sedang memunculkan idealismenya jangan dibantah. Bisa-bisa memperburuk suasana. Lebih baik menyediakan waktu untuk mendengarkan rintihan hatinya.
“Tapi bagaimana dengan ancaman ini?”. Tanya Ricko akhirnya sambil menunjukkan monitor HP ke hadapan Ranti.
“Ya, Ranti tahu ini berbahaya. Semua pejabat negeri ini ternyata berada dibalik mulusnya proses penggundulan hutan. Termasuk didalamnya para LSM yang ngaku-ngaku idealis membela kepentingan masyarakat. Tahi kucing..! lihat, menurut sumber yang kuperoleh, Ketua Pengadilan Negeri mendapat upeti seratus juta per bulan. Nah kalau ketua Pengadilan Negeri seratus juta…, berapa untuk Bupati? Barapa untuk Kapolres? Berapa untuk Kapolda? Barapa untuk Gubernur? Berapa untuk LSM? Dan entah berapa ratus juta pula mereka menyuap pejabat di Jakarta. Jadi wajar saja jika berita yang kutulis itu membuat mereka kebaran jenggot. Aku tak peduli kalau akhirnya berita itu aku tulis dengan darahku sendiri”. Ranti menerawang.
“Ranti…! Mas sangat mencintaimu. Mas tak mau kehilanganmu” Ricko lirih sambil memeluk gadis pujaannya itu. Itulah pelukan terkhir yang ia berikan.
Kini lima hari sudah Ranti menghilang tanpa jejak. Semua teman sekerjanya tak penah megetahui ke mana Ranti pergi. Terakhir Ranti di kantor tampak mengurus cuti menikah di ruang manajer HRD.
“Ya… selama lima tahun dia bekerja tak pernah cuti. Dia mengambil cuti 12 hari. Mau berbulan madu, katanya. Surat itu sudah saya tanda tangani. Setelah itu saya tidak tahu lagi ke mana dia pergi” Begitu penjelasan Pak Benny sebagai manajer HRD kepada wartawan yang meleput hilangnya Ranti.
“RANTI, DI MANA KAU KINI?” Sebuah headline news yang menyayat hati Ricko. Pernikahan mereka benar-benar berantakan. Ranti menghilang atau tepatnya mungkin ‘dihilangkan’. Mungkinkah ancaman-ancaman itu menjadi kenyataan? Ricko sudah melaporkan semua itu kepada polisi, Komisi Orang Hilang, Hak Azazi Manusia nasional dan internasional, tapi sampai hari ini Ranti tak muncul entah kemana.
Kini Ranti telah menjadi berita nasional. Hampir semua surat kabar dan media elektronik memuat berita tentang hilangnya Ranti. Berita ini bertambah hangat karena Ranti hilang setelah menulis berita ‘panas’ ulah pejabat-pejabat busuk negeri ini.
Beberapa pejabat yang pernah disebut Ranti di dalam tulisannya itu tak mau berkomentar banyak.
“Wah, gak tahu saya tuh. Masak orang hilang di tanya saya? Emang saya penculik? Jangan menyudutkan seseorang ya… bisa memperkeruh suasana lho” Jawab Bapak Bupati saat ditanya beberapa wartawan di kantornya.
“Ya…saya sudah membentuk tim untuk menelusuri hilangnya wartawan tersebut” Ungkap Kapolda.
“Tapi Pak, apa ini ada kaitannya dengan berita yang dimuat oleh Ranti sebelum ia menghilang?” Tanya wartawan
“Kita tidak boleh mengambil kesimpulan apa pun sebelum semuanya kita buktikan dengan data dan fakta.” Bantah Polisi berpangkat Jenderal itu
“Tapi ini sudah jelas kan pak, Ranti hilang setelah berita itu di-blow up. Terus calon suami Ranti juga mendapat beberapa sms teror. Bahkan dalam berita itu pun menyebut-nyebut nama Bapak dan beberapa pejabat lainnya. Apa ini gak ulah pejabat yang ‘’penjahat’ pak?” Dasar wartawan pemburu kebenaran
“Saya sudah katakan kita tidak boleh berasumsi yang macam-macam. Kita tidak boleh menyudutkan siapa pun. Apa yang Ranti tulis itu perlu diusut lebih lanjut. Kalau saya terbukti ya silakan saja. Begitu juga dengan pejabat lainnya. Saya khawatir, jangan-jangan Ranti cuma keceplung sungai atau cuma jatuh dari motor, sementar kita sudah berasumsi terlalu jauh. Jadi saya minta saudara-saudara jangan mengambil kesimpulan apa pun sebalum Ranti ditemukan. Kita berdoa saja mudah-mudahan Ranti ditemukan dalam keadaan selamat. Kami akan berkerja maksimal. Sudah ya..” Jenderal itu pun berlalu meluncur dengan mobil mewahnya. Kalau apa yang ditulis Ranti itu benar, pasti mobil mewah itu upeti dari WKS.
Semua pejabat yang pernah disebut Ranti dalam berita ‘panas’ pembalakan liar itu menjadi sasaran sumber berita wartawan teman seprofesi Ranti. Ranti sendiri entah di mana rimbanya. Tapi tidak semua pejabat tersebut mau berkomentar. Ya memang sudah menjadi hal yang sangat biasa kalau pejabat tak mau ambil pusing atas hilangnya anak negeri ini. Lihat saja sudah berapa banyak TKI yang hilang tak pernah diurus. Pejabat negeri ini baru mau bertindak jika ada duitnya. Jika tidak ada duit yang mereka dapat, pasti tak kan berbuat apa-apa. Ini wajar karena mereka mengejar jabatan untuk tercatat sebagai pejabat tersebut mengeluarkan duit ratusan juta bahkan milyaran rupiah. Sudah banyak modal yang ditanamkan. Jadi sewaktu menjadi pejabat, persis seperti berdagang, mengembalikan modal ketimbang mengurusi rakyat.
Ricko sudah kehabisan cara untuk menemukan calon istri tercinta. Begitu juga dengan orang tua Ranti yang nampak sudah pasrah atas kepergian anak gadisnya itu. Semua cara sudah ditempuh Ricko, sejak dari cara yang paling rasional hingga yang paling irrasional. Entah berapa lembaga terkait yang ia lapori dan entah berapa banyak dukun yang ia datangi. Semua tampak sia-sia. Tak ada tanda-tanda kemana Ranti pergi.
Kini Ricko hanya mampu memelototi photo-photo liputan yang Ranti tinggalkan beberapa hari lalu. Ranti memang berbeda dengan wartawan wanita lainnya yang bisanya pergi meliput berita dengan photografer. Ranti memilih membawa kamera sendiri. Tak jarang ia menempuh medan liputan yang berbahaya seorang diri.
Kalau sudah bicara profesi, diskusi-diskusi ringan sering mewarnai hari-hari mereka. Itulah salah satu alasan betapa Ricko mencintai Ranti. Ranti paling enak diajak diskusi. Nayambung dan sering ngotot. Ricko suka itu.
“Jadi wartawan itu hampir sama dengan jadi polisi. Bedanya, pistol kami ya pena kami” Katanya suatu waktu ke pada Ricko. Ricko sendiri hanya seorang PNS rendahan.
“Kenapa kamu gak jadi polwan saja?” Tanya Ricko
“Jadi polisi? Dulu aku pernah bercita-cita jadi polisi. Tapi Ayah melarang. Jadi polisi itu banyak makan duit haram, kata ayah. Sering memeras orang. Sering polisi menjadi ‘perampok’ berseragam di jalan raya. Orang tak bersalah ditangkap trus dimintai duit. Ayah paling benci ama polisi. Kalau bisa jangan berurusan dengan polisi!! Slogan ‘Kami Siap Melayani Anda’ hanya basa-basi belaka, kata Ayah” Terang Ranti berapi-api.
Ranti memang tipikal wanita keras dan sedikit terkesan tomboy. Tapi bagi Ricko di balik ‘kekerasan’ Ranti tersimpan kelembutan yang lebih lembut dari sutera. Perhatiannya, cintanya, dan sayangnya Ranti tak kan pernah tergantikan oleh siapa pun. Suaranya boleh melengking seperti orang Batak tapi hatinya selembut orang Jawa.
Mungkinkah semua itu tinggal kenangan?
“Ranti dimana kau, sayang..?” Lirih Ricko menatap langit-langit kamarnya. Walau hari telah menunjukkan pukul dua malam, tapi matanya tak mau tertidur.
“MAYAT RANTI AKHIRNYA DITEMUKAN” Haeadline news pagi ini menempel di semua surat kabar. Ucapan belasungkawa pun menghiasi halaman koran tempat ia bekerja. Satu halaman penuh. Perjalanan karir Ranti dibeber habis. Semua prestasi yang ia lakukan selama hidup di sampaikan ke khalayak. Ranti hari ini seakan menjadi simbol pejuangan pers yang diagungkan. Pers melawan tirani korupsi. Karangan bunga pun memenuhi halaman rumah dan kantornya.
Tapi semua kebanggaan itu seakan tak berarti bagi Ricko. Apalah arti penghargaan itu karana ia telah kehilangan orang yang sangat ia cintai dengan sangat tragis. Ranti telah pergi untuk selamanya.
Seperti dugaan banyak orang, Ranti mati dibunuh sebelum kemudian dibuang ke sungai Batang Hari. Hasil otopsi rumah sakit ditemukan beberapa tusukan senjata tajam ditubuhnya. Dilakukan oleh paling kurang tiga orang. Mungkin memang Ranti tidak mudah dikalahkan karena ia sendiri juara karate waktu masih di SMA.
Diletakkannya gaun pengantin warna pink itu di sisi jasat Ranti yang sudah mulai membusuk. Di atas gaun itu ia letakkan selembar undangan yang telah disebar luaskan. Dan kini semua udangan telah datang tapi bukan untuk pernikahan mereka melainkan melepas kepergiannya untuk selamnya.
“Ranti… Pernikahan kita..” Tak sanggup ia melanjutkan kalimat itu. Ada lara yang tak terkira di dalam dada. Ia telah sekuat tenaga tuk tidak mengeluarkan air mata dihadapan para pemburu berita, tapi menetes juga.
“Selamat jalan sayang…benar katamu, kau telah menulis semua ini dengan darahmu sendiri.” Ricko pergi meninggalkan kerumunan diiringi isak tangis keluarga dan koleganya.
“Selanjutnya darah siapa sayang…?” #Bhn#
Jambi oktober 2007
Discussion about this post