Ia letakkan tas gunung yang berisikan laptop itu di atas kasurnya. Lumayan berat, mungkin sekitar dua kilo gram. Hari-hari tas itu bergantung di punggungnya. Tapi hari ini semua terasa jauh lebih berat dari hari-hari sebelumnya. Rasanya ia ingin menghempaskan diri di kasur dan beristirahat untuk melepaskan beban yang ada. Hari ini yang ia rasakan bukan lelah badan tapi lebih pada lelah hati. Hati. Ya seharusnyalah jika lelah hati harus di kembalikan kepada yang membolak-balikkan hati. Tak ada tempat mengadu kecuali menghadap kepada-Nya.
Maghrib baru saja berlalu setengah jam yang lalu ketika ia masih di dalam bis dari kampus menuju rumah, tepatnya flat kos-kosan. Kalaulah mengikuti ID-nya teori Freud, sang ahli psikologi, rasanya ia tidak ingin shalat. Ia lebih memilih membenamkan diri di kasur yang seakan tersenyum menarik dirinya. Tapi ia juga harus sadar selain ID yang notabenenya hanya mementingkah keinginan hati, nafsu dan cendurung memilih kesenangan buta, ia harus patuh pada EGO dan SUPEREGO bahwa ia hidup tidak semata untuk memenuhi nafsu. Ada kewajiban sebagai hamba Allah dan makhluk sosial, hablum minallah, hablum minannaas. ID-nya harus tunduk pada aturan-aturan normatif. Ia kemudian memaksakan diri menuju kamar mandi untuk berwudhu dan kemudian melaksanakan shalat maghrib dengan segala kegundahan.
“Hi… You look so serious. Just good luck. By : The stranger of UKM”. Diambilnya kembali secarik kertas kecil dan kumal yang dari tadi sebenarnya sudah dia lempar ke dalam kotak pensil di atas mejanya. Sebenarnya ia tidak peduli dengan tulisan itu. Tulisan itu ia anggap tulisan iseng saja. Dia mendapatkan tulisan itu tergeletak di atas buku yang terbuka di atas meja yang ia tinggal pergi ke toilet.. Tapi jujur tulisan itu sekarang mengganggu pikirannya. Pertanyaannya adalah siapa? Siapa yang telah menulis kata-kata itu?
Dia berdiri di jendela kamarnya. Ia nanar melihat keluar. Digenggamnya erat kertas kecil misterius itu. Di luar sana pemandangan begitu indah dan syahdu. Pemandangan malam seperti inilah yang membuat ia betah dua tahun di flat itu. Ia dapat melihat gemerlap lampu kota Kajang bahkan gemilau Kuala Lumpur. Flat-flat menjulang terlukis indah oleh lampu-lampu malam. Jalan yang membujur dan berkelok bak seekor naga besar sedang berbaring. Sayup, kabur, tapi nyata di ujung sana ia menyaksikan twin tower petronas gagah berdiri. Tapi tidak setiap saat ia bisa menyaksikan pemandangan ini. Terkadang menara itu berselimut awan hingga tak mampu digapai oleh matanya. Tapi malam ini cuaca cerah dan terang hingga ia seakan ingin terbang menggapai pucuk gedung-gedung menjulang juga menara itu.
“Woi El….lagi ngapain? Sok romantis lo…” sergah Sisi tiba-tiba mendobrak pintu kamar Ella. Gadis Melayu Sumatera itu bernama Ella Wulandari, SE. Sementara Sisi teman serumahnya itu baru saja pulang dari kampus. Ya memang demikianlah kehidupan mahasiswa di Malaysia ini khususnya di Universitas Kebangsaan Malaysia. Mahasiswa biasa pulang malam karena kampusnya pun buka sampai malam, khususnya perpustakaan. Perpustakaan buka hingga jam sepuluh lewat lima belas menit. Jika dibandingkan dengan jam Indonesia, berarti jam sembilan lewat lima belas menit. Malaysia entah dengan alasan apa mengubah jamnya sendiri lebih cepat satu jam dibanding dengan waktu sebenarnya.
“Eh…elo Si? Tumben lo pulang jam segini. Emang gak naik bis?”
“Gak tau tuh hari ini Rapid lagi baik hati ama gue, begitu nyampe bis stop bisnya langsung datang”
“Naek Rapid? Kok gak samaa….”
“Gak usah ngaco lo ya… pasti mo bilang pulang sama Dimas? Udah ah, mo mandi dulu.” Sisi pun berlalu ke kamar mandi.
Begitu Sisi berlalu, Ella pun melanjutkan menikmati panorama di luar jendelanya. Namun di hatinya masih gundah dibuat kertas kecil di tangannya. Siapa yang telah menulis surat itu. Kata-katanya sebenarnya sangat simpel dan biasa-biasa saja. Tapi ada makna yang tersirat di dalam surat tersebut. Artinya surat kaleng ini menunjukkan ada orang yang diam-diam memperhatikan dirinya. Ada orang yang telah mengamati apa-apa yang ia perbuat selama di dalam perpustakaan tersebut, bahkan mungkin seluruh hidupnya. Ada orang yang diluar pengetahuannya mengintai kehidupannya. Ia tidak parnah sadar di balik ribuan halaman buku yang ia baca, ratusan ribu kalimat yang ia eja.
Memang demiakian lah Ella. Ia seorang mahasiswa master di fakultas Ekonomi Universitas Kebangsaan Malaysia. Ketika ia sudah masuk perpustakaan dan mulai berkutat dengan buku-buku, ia tidak pernah memperdulikan orang-orang di dalam perpustakaan itu. Karena ia pun tahu orang-orang di dalam perpustakaan besar itu juga memiliki kesibukan masing-masing. Jadi tidak boleh saling mengganggu. Dan ia pun menjadikan perpustakaan sebagai tempat favorit untuk mengerjakan tugas atau sekedar mengisi waktu luang dengan baca-baca apa saja.
“Jangan-jangan si penulis surat ini sudah lama ‘mengintai’ ku? Untuk apa?” Lagi-lagi ia bertanya pada diri sendiri. Berarti mulai besok ia harus mulai mencari tahu siapa si penulis surat ini. Ia mengingat-ngingat siapa saja yang ia temui di perpustakaan hari ini.
“Halooo, lo di mana? Eh Dim, lo besok ada kelas gak?” tanya Ella melalui hp nya.
“Lo nanya satu-satu dong, bingung gue mau jawab yang mana? Gue sekarang lagi diii…..”
“Lo kekampus gak besok?” potong Ella
“Emang lo peduli apa? Gue mau kekampus kek, ke KL kek, ke Midvalley kek, terserah dong….emang lo mak gue pake lapor segala? Haaa…” jawab Dimas bercanda.
“Gitu lo ya? Awas lo, gue larang ketemu Sisi baru mampus lo…” ancam Ella.
“Eh Dim kita ketemuan yuk besok di perpus, ada yang mau gue tanyain?” sambungnya sebelum sempat Dimas jawab.
“Sejak kapan lho perlu gue? Yang ada lo kan bawaannya sewot mulu? Haaa…. Ok…ok…besok gue abis kelas jam sebelas. Jadi kita ketemu di perpus sekitar jam sebelas tiga puluh. Tapi setelah itu lo traktir makan siang ya?” tanya Dimas serius
“Perut aja yang dipikirin? Jauh-jauh bokap lo ngirim ke Malaysia cuma untuk makan. Ya udah aman tu. Oke deh. Gue tunggu besok di lantai lima PTSL. Ok? Makasee Dimas…Asalamualaikum…”
“Wa’alaikumsalam” jawab Dimas di unjung sana.
Hari ini ia tidak ada kelas karena dosennya ada seminar di luar negri. Sekarang dosen-dosen UKM sudah mulai sering meninggalkan kelas untuk seminar sana-sini. Seperti biasa setelah membereskan rumah ia langsung melunjur ke kampus.
Begitu sampai di terminal Hentian Kajang ternyata puluhan mahasiswa sudah menunggu bis kesayangan mereka yaitu RapidKL. Bis yang dibenci tapi dirindu. Benci karena lama menunggunya. Rindu karena tak ada pilihan lain. Kalau pun ada adalah BAS MINI. BAS MINI ini adalah satu-satunya alternatif lain. Bis ini tidak masuk ke dalam kampus seperti bis Rapid KL. Anak-anak Indonesia biasanya menyebutnya “bis India”. Siapa yang pernah menonton film India pasti hafal dengan bentuk bis ini. Warnanya kuning, asapnya hitam, suara mesinnya melolong keras, tidak ada AC, yang ada hanya Angin Cendela, tempat duduknya tak beralaskan busa, dan lain-lain. Ia adalah bis kuno yang sering dipakai Rajkumar dalam film-film India. Begitu juga di sini, jika naik bis mini ini sebagian besar penumpangnya adalah pekerja-pekerja keturunan India. Sopirnya pun India. Mobilnya sudah tua bangka dan entah mengapa pemerintah Malaysia tidak mengganti saja bis tersebut dengan angkutan yang lebih layak. Mungkin pemerintah Malaysia bukan tidak mampu menggantikan keberadaan bis tersebut, tapi lebih pada persoalan politik suku bangsa alias RAS. Bis ini nampaknya kesayangan orang Malaysia keturunan India. Lagi pula bis inilah angkutan rakyat yang paling murah yaitu hanya 70 sen sahaja.
Beberapa saat kemudian Rapid KL datang. Mahasiswa yang sudah menunggu dari satu jam lalu berjubal di depan pintu bis. Desak-desakan tidak dapat dihindari. Semua ingin masuk duluan karena jika masuk belakangan sudah jelas tidak dapat tempat duduk alias berdiri. Sebagian besar adalah anak Indonesia, dan sebagaian lagi nampak orang-orang Arab, Melayu, Cina, India, dll. Kalau sudah berjubel begini biasanya orang Arab pasti menang. Rata-rata mereka berbadan besar hingga dengan enak saja mereka menerobos dan terkadang tidak peduli dengan antrian. Jika melihat cara orang-orang Arab ini, wajar sekali kalau ada orang Indonesia yang mengerjakan haji mati dilanda dan terinjak oleh orang-orang Arab ini. Begitulah sekilas rutininitas mahasiswa Indonesia yang sedang menimba ilmu di tanah melayu ini. Rutenya nampak simpel, hanya rumah, bis dan kampus. Kampus, bis, rumah, surau (kadang-kadang) dan restoran (selalu). Restoran, kamar, WC (gak bisa enggak) dan begitu seterusnya.
Sesampai di perpustakaan Ella kembali menempati tempat duduk di mana ia menemukan surat itu kemaren. Ia ambil tiga buku ekonomi di rak yang telah dia hafal. Tapi ia tidak niat membaca buku-buku tersbut. Misinya hari ini adalah mencari siapa si “The Stranger of UKM” tersebut.
“Dim, gue mau tanya ma lo…” sambut Ella ketika Dimas mendekat ke mejanya.
“Biarin gue duduk dulu napa?” balas Dimas sambil mangambil kursi di hadapan Ella.
“Ah elo sok sopan, sok beradap… eh tapi keknya gak enak kita ngomong sini. Ke pojok sana yuk. Tuh lagi nggak ada orang.” Ajak Ella sambil bangkit dari duduknya. Dimas pun mau tak mau ngekor dibelakangnya.
“Lo..napa seh? Sok serius amat?” tanya Dimas penasaran. Ketika berjalan di belakang Ella menuju tempat yang diinginkan. Dimas mengagumi cewek ini. Sosok Ella yang cantik tapi sederhana. Ia gadis yang masih menganut naturalistik dalam berdandan. Make up tipis yang menempel di pipinya cukuplah menunjukkan ia memang gadis cantik. Tanpa lipstik, bibirnya dilukis indah oleh Illahi. Siapapun yang masih waras pasti mengagumi Ella.
“Dim, kemaren gue ketemu lo di depan lift waktu gue abis dari WC, inget gak?”
“Iya, sorry waktu itu buru-buru gue kelupaan ada kelas. Jadi gak sempat ngobrol ama lo..”
“Bukan itu maksud gue. Sekarang jawab pertanyaan gue…” tanya Ella penuh selidik.
“Wah..lo apaan sih El? Kayak RELA lagi introgasi TKI aja?”
“Sekarang lo sebutin siapa aja anak Indonesia yang lo temuin kemaren di perpustakaan ini?”
“Gila lo yaa…banyak lagi. Masak gue harus absen satu per satu?”
“Lo mau ditraktir gak? Kalo gak mau sebutin ya udah, gak jadi deh traktir di Kantin Husien Onn..” gertak Ella.
“Ok deh, di sana ada Ramdhan, di pojok sana ada Pak Atok, di meja ujung sana ada Robby dan Mas Detak, waktu fotokopi kemaren saya juga ketemu dengan Bayu, Lina, dan Tanti” jawab Dimas sambil menunjuk-nunjuk tempat yang ia maksud.
“Eh satu lagi yang gue ingat…..sapa ya?” Sengaja ia memutus kalimatnya dan pura-pura mengingat.
“Hayo sapa?!” desak Ella penasaran.
“Gua…hhaaa….” Jawab Dimas sambil menghindari tendangan kaki kanan Ella.
“Lho gak penting tau…”
“Emang ada apa El?”
“Ada deh…kapan-kapan gue kasih tahu. Ya udah balik ke meja tadi yuk”. Pinta Ella sambil melangkah duluan. Lagi-lagi Dimas hanya manut saja. Mereka pun berdua kembali menuju meja melewati rak-rak yang penuh sesak oleh buku tersebut.
“Haloo…gue ada di perpus. Ya udah deh, tunggu sana. Gue balik ke sana lagi” Dimas berbisik menjawab hp nya.
“El, Latif nunggu gue di fakulti. Ada tugas kelompok baru lagi dari dosen gue. Gue ke sana dulu ya. Eit..bukan berarti batal traktir lho….”
“Dasar lo besar di perut…udah sana..!! ribut aja” ia mengecilkan suaranya setengah berbisik karena di dinding tepat dihadapannya terpampang tulisan bahasa Melayu “SENYAP” yang artinya “DILARANG RIBUT”. Dimas pun meninggalkannya.
Setelah Dimas berlalu dari hadapanya, Ella mulai mengingat nama-nama yang diabsen oleh Dimas tadi. Siapa kira-kira yang paling memungkinkan menjadi penulis surat tersebut.
“Robby, Detak, Bayu?” Tiga nama. Yang jelas, pasti bukan Mas Atok. Dosen asal Surabaya ini udah anak lima dan gak mungkin melakukan hal-hal seperti ini. Walaupun tidak begitu akrab, ia memang sering berdiskusi dengan Mas Atok, tapi lebih sebagai orang yang dituakannya. Orang yang mempu memberikan nasihat-nasihat pada dirinya. Atau dengan cara ini Mas Atok ingin memberi semangat pada dirinya? “Ah..gak mungkin dengan cara ini” bantahnya sendiri dalam hati. Lantas siapa lagi?
Mungkinkah yang melakukan ini orang asing? Orang yang tidak mengenal dirinya? Karena di perpustakaan ini berkumpul semua mahasiswa dari berbagai negara. Perpustakaan ini menjadi dunia kecil. Dunia kecil yang menggambarkan peradaban yang menghambakan diri pada buku.
Sebelum ia ke-GR-an surat kaleng itu berasal dari mahasiswa asing, ia memilih beberapa nama yang sangat memungkinkan yaitu Robbi, Detak, dan Bayu. Ia mulai memutar otaknya mengingat-ingat perlakuan ketiga makhluk ini pada dirinya. Ia mengenal cowok-cowok ganteng dan cerdas itu dari beberapa kegiatan yang diselenggarakan oleh PPI Malaysia. Kegiatan terakhir bersama mereka saat nonton salah satu artis ibu kota ‘ngebor’ di Wisma Duta. Artis tersebut diundang oleh KBRI dalam rangka memeriahkan hari kemerdekaan Republik Indonesai di Negeri Pak Lah ini.
Robby? Ah gak mungkin. Mahasiswa asal Jakarta ini terlalu cuek dengan dirinya. Tidak mungkin dengan kecuekannya itu menaruh perhatian pada apa yang ia lakukan, apa lagi harus menulis surat seperti ini. Gak mungkin. Begitu juga dengan Detak. Mahasiswa yang satu ini lebih cool lagi. Dengan jawa nya yang masih kentara, lebih banyak malunya dari pada senyumnya. Rasanya agak diluar logika jika hal ini dilakukan oleh Detak. Trus, tinggal satu lagi Bayu…
Bayu… Nampaknya dari sekian tersangka, Bayu lebih memungkinkan melakukannya. Dibukanya sms terakhir Bayu seminggu yang lalu.
“El…lho tau gak ada begitu banyak orang yang mengagumimu. Tapi lo terlalu sibuk dengan buku-buku ekonomi lo. Dan asal lo tahu, banyak mereka yang patah hati sebelum sempat mengatakannya pada lo” ini jelas ada korelasinya dengan surat ini. Pasti Bayu tersangkanya. Dia harus tanyakan ke Bayu. Tapi bagaimana caranya?
“Si, tlg telfon Bayu apa dia dikampus kemaren. Gue gak ada pulsa. Thanks friend” sms Ella ke Sisi, padahal pulsanya baru diisi sebelum ke kampus tadi.
Tak lama kemudian hp nya bergetar. Ia berlari ke pintu keluar perpustakaan.
“Haloo…lo napa pake tanya Bayu segala? Dia lagi di Bandung tau?” semprot Sisi entah di bumi bagian mana ia berpijak.
“Di Bandung? Pasti gak tuh?”
“Ya iya lah, neng. Gue baru aja telpon dia. Entar ganti pulsa gue ya…gue buru-buru nih.. bye..” Beberapa saat kemudian terdengar “klik” hp dimatikan.
“Kurang ajar Dimas..!” bentaknya dalam hati. “Masak gue dibohongi. Awas lo ya Dim…!” kesal rasanya. Untung Dimas tak didekatnya. Kalau ada bisa ada perang di perpustakaan itu. Dia rasanya gak sabar mau bertemu Dimas, orang yang baru saja membohonginya.
“Dim, jadi gak makan siangnya?” tanya Ella melalui Nokia kesayangannya. Ia sengaja tidak menunjukkan kekesalannya agar Dimas tidak curiga.
“Ya dong…masak nolak rejeki? Lima menit lagi gue sudah di tempat yang dijanjikan haaaaa….” Jawab Dimas di ujung sana. Dan Ella pun beranjak dengan tas gunungnya yang seperti biasa menempel di belakangnya. Ia memilih menggunakan tangga daripada lift. Sekali-kali olah raga mencari keringat.
Sesampai ditempat yang dijanjikan ternyata Dimas sudah nangkring dengan jus jeruknya.
“El, emang ada apa seh? Kok lo serius amat tadi di perpus?”
“Lo makan dulu aja, entar gue ceritain. Lo mau makan apa?” tanya Ella menyembunyikan rasa keselnya karena sudah dibohongi.
“Ehh..tadi gue udah makan ama Latif di kampus. Jadi gue mo minum aja. Haus. Nih udah mesan jus jeruk”
“Oo…ya udah. Gue juga lagi gak ada selera makan. Mo minum juga”.
“Kok sampai gak selera makan gitu? Ada apa, El?” Tanya Dimas serius.
“Lo baca deh. Menurut lo siapa dan apa tujuan orang menulis surat kaleng seperti ini? Ini gue temuin kemaren di atas buku yang sedang gue baca” Ella menunjukkan kertas itu. Dimas mengambil dan membacanya.
“Trus, lo cuma ingin tahu siapa penulisnya?”
“Ya iya doong…”
“Untuk apa?” sambung Dimas.
Pertanyaan ini sebenarnya adalah pertanyaan yang dari tadi malam tak mampu Ella jawab. Untuk apa ia mencari ‘the stranger’ tersebut?
‘Oke deh…” lanjut Dimas melihat Ella tak mampu menjawab pertanyaannya.
“Seandainya lo menemukan si penulis itu, lo mau apa?” tanya Dimas lagi. Lagi-lagi Ella tambah bingung. “Iya juga ya? Mau diapain?” dalam pikirannya berkecamuk.
“Hoi…El. Gue gak ngomong ama tunggul kan? Haaa…” sergah Dimas akhirnya.
“Gak tau Dim gue juga bingung. Gue cuma ingin tau aja sebenarnya. Lo tau gak, gue beranggapan si penulis surat kecil ini pastilah orang yang diam-diam menaruh perhatian ama gue. Mungkin gue udah melupakan sesuatu dalam hidup gue. Gue sadar ada orang lain selain diri gue dan buku-buku perpustakaan itu. Ehh…tunggu dulu. Gue baru ingat. Lo udah bohongin gue bulet-bulet. Lo bilang ada Bayu kemaren di perpus. Padahal sekarang Bayu di Bandung kan?” Ella nampak kesel ke Dimas.
“Emang iya Bayu di Bandung sekarang. Tadi pagi dia berangkat naik pesawat ke Jakarta. Ya sekarang mungkin udah nyampe Bandung. Ngapain lo telpon dia? Hayoo..” jawab Dimas santai. Dengan jawaban ini Ella gak jadi marah. Masuk akal juga. Sekarang jarak Malaysia dan Indonesia itu tidak lebih dari waktu masak mi rebus. Membawa Tom Yam dari Malaysia, sampai di Indonesia masih berasap.
“El… boleh aku tulis sesuatu di belakang kertas ini?” tanya Dimas sambil mengeluarkan pena. Dan tanpa menunggu izin dari Ella, ia langsung menulis.
“El…Love is not finding someone you live with. But it’s finding someone you cannot live without” Kemudian ia serahkan kembali surat itu ke gadis dihadapannya itu.
Ella kemudian membaca tulisan tersebut sambil mengerutkan kening kaget. Bukan isi tulisan itu yang membuat dia kaget tapi…
Dibolak-baliknya beberapa kali kertas itu seakan ia ingin membuktikan sesuatu.
“Dim…lo harus jujur. Coba lo liat sekali lagi kedua belah kertas itu. Pena yang sama dan gaya tulisan yang sama..” tanya Ella penuh selidik. Dimas pun tidak berkutik. Kesalahan besar baru saja ia lakukan. Ia terjebak oleh dirinya sendiri. Ia tidak mungkin lagi menolak tuduhan itu. Bukti sudah di depan mata. Ia lupa bahwa pena yang ia pakai menulis itu adalah pena yang kemaren ia menulis di kertas yang sama. Haruskah sekarang saatnya mengakui semua ini pada Ella? Mengakui semua yang ia rasa selama ini pada gadis itu? Bagaimana jikalau Ella menolak? Haruskah ia pertaruhkan persahabatan mereka selama ini? Ribuan pertanyaan muncul dalam kegalauan itu.
“Dim…lo jujur deh. Ini lo yang tulis kan?” desak Ella semakin yakin melihat ada yang berubah di raut muka Dimas.
“El…maafin gue ya…”
“Jadiii…bener lo yang nulis ini…?”
Tidak ingin Dimas menjawab pertanyaan itu karena sebenarya semua telah jelas. Selama ini ia telah banyak menaruh perhatian pada gadis ini tapi semua tersembunyi. Ia tidak pernah memiliki keberanian tuk mengungkapkannya. Ia terlalu pengecut untuk urusan satu ini.
“Dim…” Suara Ella syahdu diantara suara manusia kelaparan di dalam kantin itu. Suara itu merdu ketika sampai di gendang telinga Dimas.
“Dim…kalau lo jujur dari dulu…” kalimatnya menggantung. Tapi Dimas malah menambah sedotan jus jeruknya hingga isi gelas itu mengering seketika. Entah karena haus atau karena takut, entah gugup atau entah apa lagi.
“Dim…gue cemburu ama perhatian lo ke Sisi selama ini. Gue tau Sisi…”
“El… jujur gue dekatin Sisi hanya cara lain tuk mendekatkan diri pada lo. Lo terlalu cuek selama ini. Lo gak pernah perduli apa yang gue rasakan. Jujur gue…” tak sanggup ia lanjutkan.
“Dimas… ada rasa yang sama. Selama ini gue juga merasakan betapa lo cuek ke gue. Jika benar “the stranger” ini adalah lo, it must be my good destiny” Ella tersenyum lega karena selama ini diam-diam telah mendapat perhatian dari Dimas. Dimas adalah insan yang dalam diam ia titipkan sebagian hatinya. Tapi masih berselimut keraguan. “The stranger” itu ternyata adalah yang terdekat di hatinya.
Begitu juga dengan Dimas, sejenak terdiam dan diam-diam memperhatikan gadis manis di hadapannya. Ada syukur yang membubung ke hadapan-Nya betapa ia hari ini bagai mimpi mendapat ‘kiriman’ bidadari dari belahan jiwanya. Buah sabarnya kini ia petik. “Thank you…my Ella..” Bisiknya pada angin yang berlalu. (bhn)
Malaysia, 21/08/2008
Discussion about this post