Pada artikel singkat ini semestinya saya tidak harus berbicara teori politik yang berat, biar kesannya tidak ‘mengajari buaya berenang’. Mau teori politik yang berat, silahkan cari buku-buku politik di toko buku atau masuk fakultas ilmu politik saja hehehe.
Tanpa maksud menyederhanakan (remeh), saya ingin artikel ini dipahami secara sederhana tanpa harus mengerutkan kening. Semestinya politik itu memang begitu, bisa berat bisa ringan, bisa complicated bisa mudah, bisa njelimet bisa gampang dan seterusnya. Sangat subjektif dan kontekstual.
Definisi sederhana, politik itu merupakan seni untuk memperoleh, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan dengan menempatkan kepentingan umum (rakyat) sebagai tujuan idealnya dalam jangka waktu tertentu. Cukup sederhana, kan?
Kita garisbawahi kata ‘seni’. Kita ambil saja definisi sederhana dari Alexander Baum Garton yang mengtatakan bahwa seni adalah keindahan dan tujuan yang positif menjadikan penikmat merasa dalam kebahagiaan. Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara, arti seni adalah hasil keindahan sehingga dapat mempengaruhi perasaan seseorang yang melihatnya, dan seni merupakan perbuatan manusia yang bisa mempengaruhi dan menimbulkan perasaan indah.
Seni itu ternyata berbicara keindahan atau bahasa lainnya estetika. Estetik berasal dari kata Estetika yang berarti salah satu cabang dari filsafat dan Estetika adalah ilmu yang mempelajari tentang keindahan dari suatu objek yang indah. Jadi Nilai Estetik sendiri mempunyai arti nilai dari suatu keindahan yang kita rasakan setelah kita rasakan maka kita pun akan menilai seberapa indah objek tersebut.
Ternyata estetik itu berbicara tentang nilai (value). Untuk mempunyai nilai maka sesuatu harus memiliki sifat-sifat yang penting yang bermutu atau berguna dalam kehidupan manusia (Purwadarminto). ‘ending’nya adalah ‘bermutu’ atau ‘berguna’ untuk kehidupan. Jika begitu, targetnya adalah kualitas.
Mari kita tarik garis lurusnya; politik itu seni, seni itu indah, indah itu nilai (value), nilai itu berdaya guna (manfaat). Adakah hal-hal negatif dari politik? Seharusnya tidak! Jika politik itu adalah cara memperoleh kekuasaan, maka seharusnya memperoleh kekuasaan dengan hal-hal yang penuh keindahan, bernilai dan bermanfaat. Tidakkah itu menyenangkan? Maka politik itu menyenangkan.
Dalam kaitannya dengan pemilihan umum (sebagai ‘alat’ politik dalam dunia demokrasi), jika ‘endingnya’ adalah kualitas, maka saatnya kita bicara pemilu yang substantif bukan lagi yang prosedural. Dengan ini pula akan tercipta pemilu yang menyenangkan. Orang akan lebih suka bicara apa ketimbang siapa. Tidak berbicara ‘siapa’ maka akan terhindar dari sentimen personal.
Dengan pola pikir ini pula, pemilu yang substantif akan menghasilkan pemimpin yang berkualitas untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Diyakini pula, ketika orang-orang berbicara kualitas, mereka akan secara sadar menjunjug tinggi norma-norma yang menjadi pandangan hidup demokratis seperti pentingnya kesadaran akan pluralism, musyawarah, moral, pmufakatan yang jujur dan sehat, dan seterusnya.
Akhirnya, dengan pola pikir sederhana ini, seyogyanyalah politik itu indah dan bernilai plus menyenangkan. Ini jugalah batu uji kedewasaan kita dalam berpolitik. Jika berpolitik masih mengedepankan permusuhan dan menjadikan perbedaan sebagai ‘bendera’ perang, maka kita belum menemukan ‘seni’ berpolitik yang hebat. Yakinlah, politik yang sehat akan mencapai pemilu yang substantif untuk kesejahteraan rakyat. Semoga.
Discussion about this post