AKHIR-akhir ini kita ‘dihebohkan’ dengan diskusi satu kata ‘kafir’. Hal ini mencuat ke permukaan setelah ada rekomendasi Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar PBNU 2019 beberapa waktu lalu untuk larangan menyebut ‘kafir’ bagi kaum non-muslim. Hal ini kemudian menjadi kontroversi bil khusus di media sosial. Berbagai tanggapan pun bermunculan. Pro dan kontra tidak dapat dielakkan.
Saya sebenarnya tidak juga tertarik untuk menulis tema ini. Ada banyak pertimbangan. Namun ada pertimbangan lain. Saya selalu ingin artikel-artikel yang saya tulis tidak hanya sebagai bahan bacaan tapi juga penanda sejarah. Merekam apa yang terjadi pada saat itu. Rasanya saya tidak mau kehilangan momentum untuk mencatatkan betapa satu kata ‘kafir’ telah membuat anak bangsa ini menjadi hiruk pikuk.
Apakah kata ‘kafir’ merupakan kosa kata baru di Indonesia? O, tentu tidak. Sudah lama tercatat di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). ‘Kafir: orang yang tidak percaya kepada Allah dan rasul-Nya.’ Tu kan, artinya gamblang dan mudah dipahami. Trus mengapa diperdebatkan sedemikian hebatnya? Lebih tidak masuk akal lagi, hanya karena memperdebatkan satu kata yang sudah terang benderang itu, sesama anak bangsa, sesama orang Islam, sesama ormas malah berantem. Gagal faham!
Untuk memahami ini, saya tidak ingin mengacu kepada teori-teori berat atau Wahyu dan Sunnah. Rasanya, sudah sangat banyak dibahas oleh para ‘alim dan tidak perlu diperdebatkan. Yang jelas, Wahyu dan Sunnah itu sudah lebih jelas dari KBBI. Jika ada yang tidak jelas, saya yakin itu pasti orang yang membahasnya yang tidak jelas, hehe.
Sederhananya begini, saya pakai analogi saja. Si Fulan adalah anak yang bodoh karena ia tidak mau belajar dengan baik. Si Fulanah anak yang pintar karena ia rajin belajar. Nampaklah perbedaan antara Si Fulan dan Fulanah. Fulan anak bodoh dan Fulanah anak pintar. Klir!
Adakah yang salah dengan kata ‘bodoh’ di dalam analogi ini? Tidak, saya rasa. Kata ‘bodoh’ menjadi kata sifat pembeda atau kata keterangan yang menyifati kata benda (Si Fulan). Ia memberi keterangan siapa Si Fulan yang tentunya sekaligus menjadi pembeda dengan yang lainnya (Si Fulanah).
Apakah kata ‘bodoh’ menjadi negatif pada kasus ini? Tidak. Lantas kapan kata bodoh itu tidak elok diucapkan? Ketika ia digunakan untuk menghina, merendahkan, mencaci maki, menghardik, dan lain sebagainya. Contoh, ‘Bodoh, sini kau!’, ‘Jangan duduk di sana, bodoh!’, ‘Dasar bodoh, gitu aja diperdebatkan!’. Kata ‘bodoh’ dalam kalimat-kalimat semacam ini yang tidak boleh.
Perhatikan juga kata ‘bodoh’ dalam kalimat berikut. ‘Ya Allah, ampunilah dosa hamba yang bodoh ini’. Kalimat doa yang diucapkan dengan sungguh-sungguh untuk meminta ampun kepada Allah. Kata ‘bodoh’ di sini menjadi positif yang menunjukkan ‘kehambaannya’ kepada Allah.
Jelas sekali bagaimana sebuah kata sangat tergantung pemakaiannya. Jadi bukan katanya yang diperdebatkan, tapi siapa, bagaimana, kapan, dalam situasi seperti apa kata itu digunakan (kontekstual). Kata apa pun itu. Kata ‘non muslim’ pun kita pakai, jika itu digunakan dengan niat atau cara yang salah, tetap maknanya juga tidak baik.
Kembali ke pangkal kaji, jadi bukan kata ‘kafir’ itu yang semestinya kita perdebatkan, tapi bagaimana kata itu digunakan. Mendidik anak-anak bangsa ini untuk menggunakan kata-kata dengan baik. Saya rasa, yang perlu kita ingat adalah, jangan menggunakan kata ‘kafir’ untuk menghina, merendahkan, mencaci maki, menghardik, orang lain (atau orang yang beragama lain). Lebih-lebih dalam konteks menjaga kerukunan dan kedamaian di dalam berbangsa dan bernegara.
Kesimpulannya, bukan kata ‘kafir’-nya yang salah tapi bagaimana kata itu digunakanlah yang harus diperhatikan. Sebuah kata bebas nilai. Penggunanyalah yang memberi nilainya; baik atau buruk. Kata ‘suci’ pun jika digunakan dengan ‘kotor’ maka ia akan bernilai kotor. Semoga kita selalu menjaga kebersihan pikiran, lidah dan hati agar kata-kata yang keluar selalu bernilai baik. Amin.
Discussion about this post