MENARIK juga mencermati respons para pembaca artikel-artikel yang saya tulis. Sebahagian besar dari pembaca adalah masyarakat net (netizen). Dari sekian banyak yang merespons tulisan-tulisan tersebut, saya tau siapa yang membaca dan siapa yang hanya membaca judul saja. Ini dapat dipelajari dari respons yang dilontarkan (feedback).
Bagi saya, saya tidak butuh pujian terhadap artikel-artikel yang saya tulis. Dipuji atau dicaci, saya akan terus menulis. Saya sudah lama bertekad untuk menulis hanya karena saya ingin meninggalkan sesuatu (ide dan gagasan) jika suatu saat nanti saya meninggal dunia. Saya ingin meninggalkan legacy sekecil apa pun itu. Jika pada masanya saya meninggalkan dunia fana ini, anda ingin tahu ide dan gagasan saya, lihatlah tulisan-tulisan saya. My writing is me. Syukur-syukur jika mendatangkan kebaikan sebagai amal jariah atau ilmu yang bermanfaat. Saya menulis bukan untuk orang, tapi untuk Tuhan (lillahita’ala).
Beberapa hari lalu saya menulis artikel yang berjudul “Fachrori Bisa Berbuat Apa?” (#BN34022022019). Artikel ini kemudian dimuat di berbagai media massa. Ia juga menyebar ke seantero nusantara terbukti beberapa kawan di luar Jambi juga memberikan respons terhadap tulisan tersebut. Responsnya pun beraneka ragam; setuju dan kontra.
Sekilas, judul tersebut memang terkesan ‘negatif’ dan sarkasme, apa lagi jika ada yang lupa ‘menghidupkan’ tanda tanya diujungnya. Kesannya saya menyerang pemerintah dan Gubernur Jambi. Jika tanpa tanda tanya, maka judul itu seolah ingin menyampaikan bahwa Fachrori umar tidak bisa berbauat apa-apa. Banyak sekali ternyata yang terjebak di sini. Baca judul langsung lompat ke kesimpulan. Celaka!
Lebih celaka lagi, dengan modal membaca judul tersebut, beberapa diantaranya langsung melontarkan serangan ke penulis. Dari yang mempertanyakan kualifikasi pendidikan (politik) saya sampai pada caci maki secara personal. Buat saya sudah biasa. Saya sangat sadar bahwa tidak semua bersetuju dengan apa yang saya tulis. Tapi karena saya menulis bukan untuk mereka, jadi santai aja.
Padahal, jika dibaca dengan baik artikel tersebut, sedikit pun tidak ada ‘serangan’ kepada siapa pun. Saya hanya ingin menyampaikan sesungguhnya Fachrori Umar bisa berbuat banyak asal beliau benar-benar memegang amanah rakyat, pilih orang-orang terbaik untuk mitra kerja, dan fokuslah bertugas. Tidak ada yang negatif sama sekali.
Lantas, pokok persoalannya di mana? Budaya membaca. Ya, di zaman milenial ini orang sudah semakin malas membaca. Dulu saya menulis artikel untuk media cetak 700 sampai dengan 900 kata. Menyadari masyarakat net tidak terlalu suka berlama-lama membaca, untuk kebutuhan media online, saya hanya menulis 300 sd 500 kata saja. Itu pun ternyata dianggap sudah terlalu panjang.
Anehnya lagi, setelah saya amati yang memberi komentar tanpa membaca tersebut ternyata kaum akademisi. Saya cermati pula beberapa diantaranya bergelar doktor. Kasihan! Saya tidak habis pikir, jika kaum akademisi sudah mulai jauh dari aksara. Mengambil kesimpulan hanya sekenanya. Melawan tulisan dengan murka yang seharusnya ‘tulisan dilawan tulisan’. Tentu saja oknum, bukan semua.
Di zaman medsos saat ini, sungguh rasanya sangat tidak bijak jika kita hanya terjebak oleh judul belaka. Dampak yang paling nyata, akan mudah terkena penyebaran hoaks alias berita bohong. Bisa saja orang-orang tertentu memberi judul yang berbeda dengan isinya. Judulnya bagus tapi isinya hoaks. Ini sangat perlu diwaspadai.
Jangan lupa pula, terkadang judul dijadikan salah satu cara untuk menarik perhatian pembaca. Hanya orang-orang yang cerdaslah yang tidak mau ‘dijerat’ oleh judul. Mereka akan sangat teliti dalam menerima iformasi. Mereka inilah orang yang tidak mudah terpedaya oleh media.
Kesimpulannya, ternyata saat ini masih banyak orang yang hanya terjebak oleh judul suatu tulisan dan langsung mengambil kesimpulan tanpa membaca artikel dengan sempurna. Sungguh sangat tidak bijak dan menampakkan kebodohan diri sendiri jika ada orang yang menyerang dengan caci maki hanya karena membaca judul suatu tulisan. Solusinya, marilah kembali meningkatkan budaya membaca agar tidak menjadi korban zaman. Semoga.
Discussion about this post