Mungkin Anda masih ingat kisah pertarungan perebutan kekuasaan kursi Presiden Amerika Serikat antara George W. Bush melawan Al Gore. ‘Pertarungan’ sengit yang terjadi menaikkan suhu politik negera itu untuk beberapa saat. Terjadi sengketa perhitungan suara yang menguras energi dan psikologis masyarakat. Namun kemudian sengketa itu berahir dengan ketuk palu keputusan Mahkamah Agung yang memutuskan Goerge W. Bush dinyatakan sebagai pemenang untuk menduduki kursi Presiden Amerika Serikat yang ke-43. Tidak lama berselang Gore menyampaikan pidatonya di hadapan para pendukungnya bahwa ia telah menyampaikan selamat kepada George W. Bush atas keputusan tersebut. Dan bahkan dengan ‘jantan’ ia mengakui kekalahannya sekaligus mengajak segenap warga negara Amerika agar bersatu dan bersama-sama berdiri di belakang presiden yang baru terpilih tersebut.
Begitu juga halnya ketika Hillary Clinton yang bersaing ketat dengan Barack Obama untuk merebutkan kursi calon Prisiden Amerika dari Partai Demokrat. Sebagai senator dan politisi agaknya Hillary menyadari betul bahwa pertandingan itu harus ada yang kalah dan ada yang menang. Ketika dia dinyatakan kalah dari pesaing beratnya Barack Obama dengan sangat sportif dalam sebuah pidato dia menyampaikan dukungan terhadap calon presiden terpilih dari partai yang mereka kendarai. Hillary lantang berpidato di hadapan ribuan pendukungnya "Saya mendukung Obama dan memberikan dukungan penuh kepadanya. Hari ini, saya mengucapkan selamat kepadanya atas kemenangannya dan pertarungan luar biasa yang dijalaninya"
Agaknya dua contoh kasus dari negeri Paman Sam ini sudah cukup untuk menggambarkan sebuah kedewasaan berpolitik dan kematangan berdemokrasi. Pertanyaannya, bagaimana dengan pertarungan di gelangang politik tanah air kita? Kabupaten Tebo beberapa bulan terakhir mengalami peningkatan suhu politik yang sangat signifikan. Ketegangan urat syaraf para politisi seakan dapat dirasakan di setiap denyut nadi kabupaten muda ini. Para politisi telah mengerahkan segala daya dan upaya untuk memenangkan perebutan kursi kekuasaan Bupati Tebo periode 2011-2016.
Telah sama-sama diketahui bahwa ada tiga pasangan kandidat yang ‘berperang’ memenangkan hati rakyat Tebo yaitu pasangan incumbent Sukandar-Hamdi, Ridam-Eko, dan Yopi-Sapto. Ketiga pasangan ini telah berusaha maksimal untuk menarik simpati para pecoblos. Dari sosialisasi hingga hingar-bingar kampanye telah dilalui dengan berbagai cara dan metode. Partai politik pengusung telah pula mengerahkan para kadernya untuk all out mendukung calon bupati dan wakil bupati yang mereka usung. Singkatnya, ketiga pasangan putra terbaik daerah ini telah menunjukkan kesungguhan mereka untuk memimpin Kabupaten Tebo mendatang.
Pada tanggal 10 Maret 2011 yang lalu masyarakat Tebo telah menentukan pilihan mereka masing-masing. Dengan kesukarelaan mereka telah berbondong-bondong menuju tempat pemilihan. Bahkan kegiatan rutinitas untuk mencari nafkah sebagaiamana biasanya mereka lakukan ditinggalkan demi sebuah pesta demokrasi. Mereka dengan suka rela telah menjadi bagian dari sejarah perjalanan pemerintah negeri Sulthan Thaha tersebut. Suasana pemilihan berjalan dengan baik tanpa kericuhan yang berarti. Untuk itu, sepantasnyalah masayarakat Tebo diberikan acungan jempol untuk mengapresiasi kedewasaan politik mereka. Gesekan-gesekan kepentingan politik di level grass root tidak berakhir dengan pertumpahan darah sebagaimana sering terjadi di daerah-daerah lain. Seharusnya, sikap politik seperti ini juga harus dikukuhkan oleh para kandidat yang bertarung. Jika raknyatnya mampu bersikap dewasa, seharusnya pemimpin jauh lebih dewasa.
Ketok palu Komite Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Tebo pada rapat pleno yang digelar pada tanggal 15 Maret lalu telah memutuskan pasangan Yopi-Sapto sebagai pemenang dengan mendapatkan 77.157 hati masyarakat Tebo. Dua pasangan lainnya, Sukandar-Hamdi mendapatkan 74.336 hati nurani, dan Ridam-Eko memperoleh 12.982 coblosan. Secara umum memang kemenagan Yopi-Sapto tidak terpaut jauh dengan pasangan Suka-Hamdi namun berapa pun angka itu menjadi tidak penting berbanding dengan kepentingan umum. Seyogyanya kematangan demokrasi yang ditunjukkan oleh masyarakat ‘kecil’ dengan suka rela dan tertib melakukan pemilihan ini harus diikuti dengan sikap politik para kandidat baik yang kalah mau pun yang menang. Pasangan yang dinyatakan menang bersama tim sukses dan pendukungnya tidak perlu menunjukkan kemangan dagan eforia yang berlebihan, dan pasangan yang kalah tidak perlu berlarut-larut dengan kebencian dan mencari-cari kebenaran. Apa lagi harus memprovokasi masa pendukung untuk melakukan hal-hal yang menjurus pada ‘perlawanan’ politis terhadap kandidat yang dinyatakan sebagai pemenang. Keberanian untuk menerima kekalahan sesungguhnya adalah kemenangan yang abadi.
Pilkada Kabupaten Tebo 2011 ini harus diartikan sebagai estapet pembangunan kabupaten yang jauh tertinggal dalam berbagai bidang dibanding beberapa kabupaten di Provinsi Jambi. Para politisi dan masyarakat harus menyadari bahwa Pemilu Kada hanyalah langkah awal kelanjutan pembangunan daerah ini paling tidak lima tahun ke depan. Maka dari itu, seharusnya setelah perhelatan demokrasi ini berakhir, perhatian semua orang harus diarahkan kepada pembangunan.
Kebesaran hati para kandidat yang kalah untuk menerima kekalahan merupakan cara terbaik untuk mengakhiri kisah Pilkada Tebo ini dengan happy ending. Seharusnya tidak perlu ada tuntut-menuntut hingga ke Mahkamah Konstitusi. Adalah sebuah kerugian yang teramat besar bagi masyarakat umum jika persoalan pilkada ini harus berlarut-larut dan diyakini akan menguras tenaga dan pikiran banyak pihak. Sudah dapat dipastikan pula akan menghambat pembangunan Kabupaten Tebo secara umum. Dengan cara ini, masyarakat Tebo akan dapat menilai dengan mata kepala mereka sendiri siapa sesungguhnya pemimpin yang pro rakyat. Dapat dipastikan, jika persoalan Pilkada ini diusung ke Mahkamah Konstitusi akan menciptakan keresahan di tengah masyarakat.
Para kandidat yang kalah harus mampu melihat kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan masyarakat umum. Kalaupun MK menerima gugatan yang diajukan oleh pasangan yang kalah, artinya akan dibutuhkan waktu yang panjang untuk melakukan persidangan. Bukankah ini secara tidak langsung sudah menghambat pembangunan di Tebo? Seharusnya para kandidat terpilih sudah bisa dilantik dan menjalankan tugasnya tepat pada waktu yang telah ditentukan harus tertunda hanya karena kepentingan sekelompok orang.
Kesimpulannya, masyarakat Tebo telah memperlihatkan kedewasaan berpolitik mereka dibuktikan dengan memberikan hak suara secara langsung, bebas, dan rahasia. Tidak ada keributan dan kekacauan yang terjadi. Sikap politik ini harus pula diikuti oleh para kandidat yang bertarung. Yang kalah harus menerima kekalahan dengan legowo. Yang menang siapkan diri untuk memimpin pembangunan Tebo paling tidak lima tahun ke depan. Tidak ada kepentingan yang lebih besar kecuali kepentingan rakyat Tebo akan kondisi masyarakat yang aman, tentram, dan mampu hidup berdampingan secara damai. Pemilu Kada telah berlalu, saatnya masyarakat kembali bergandengan tangan menuju Tebo yang lebih baik. Mari bersama-sama mengucapkan selamat kepada masyarakat Tebo. Kepada pasangan Yopi-Sapto selamat melanjutkan pembangunan Tebo untuk menjadi Tebo lebih baik, amin.
Penulis:
Bahren Nurdin, SS, MA
Penulis buku “Menelisik Asa Politik HBA Menuju Jambi Emas”
Discussion about this post