Saat ini masyarakat Indonesia seakan-akan kaget melihat darah mengalir, luka menganga, nyawa melayang yang disebabkan oleh perkelahian missal para kaum ‘terdidik’ anak negeri ini; tawuran. Baru-baru ini tontonan di televisi diwarnai oleh berita dan adengan anak-anak muda Indonesia angkat ‘senjata’ merajam dan membunuh teman sendiri. Golok, batu, besi, bambu runcing, broti, panah, dan lain sebagainya digunakan untuk menunjukkan ‘kehebatan’ masing-masing. Cara-cara kaum primitif untuk mempertahankan hidup ratusan tahun lalu digunakan kembali di tengah kamajuan teknologi dan modernisasi. Lantas semua bertanya, mengapa itu terjadi?
Untuk menjawab pertanyaan itu sesungguhnya sangat sederhana. Apa yang terjadi hari ini adalah buah perbuatan dari masa lalu. Tidak dapat dipungkiri bahwa tawuran hari ini adalah hasil dari sistem pendidikan di sekolah dan di rumah kita selama ini. Maka melalui tulisan ini saya ingin mengajak kita untuk melihat bagaimana potret sistem pendidikan di sekolah dan keluarga kita paling tidak sepuluh tahun terakhir ini yang tanpa disadari sangat berkontribusi terhadap tawuran yang terjadi hari ini.
Pendidikan kita selama ini terlalu ‘mendewakan’ IQ (intelligence quotient). Lihat saja design kurikulum yang ada, harus diakui bahwa sistem pendidikan kita hari ini menempatkan kecerdasan intelijensia paling penting. Seorang siswa dianggap ‘cerdas’ jika berhasil mendapatkan juara satu dengan nilai rapor yang paling tinggi. Bagaimana proses mendapatkan nilai tersebut tidak menjadi pertimbangan. Satu-satunya cara menilai ‘kepintaran’ para peserta didik adalah dengan memberikan angka. Padahal, sebagaimanusia yang menempati kedudukan paling tinggi dari mahluk lain di muka bumi ini memiliki berbagai dimensi yang melekat pada label ‘manusia’ tersebut. Kecerdasan otak (cognitive) hanyalah salah satu bagian saja dari manusia ‘seutuhnya’.
Paling tidak ada beberapa kecerdasan lain yang tidak bisa dipisahkan bahkan satu kesatuan dengan kecerdasan kognitif tersebut, diantaranya adalah kecerdasan emosional (emotional quotient) dan kecerdasan spiritual (spiritual quotient). Dua kecerdasan ini ternyata ‘terlupakan’ di dalam design kurikulum nasional kita. Lihat saja, mata pelajaran budi pekerti tidak lagi diajarkan. Pendidikan agama hanya dua jam pelajaran per minggu. Pendidikan moral dianggap tidak penting. Padahal sesungguhnya kecerdasan inilah yang menjadikan manusia itu berbeda dari mahluk lainnya, Dan dengan kecerdasan ini pula yang membedakan kaum terpelajar dan kaum primitif. Kaum cendikiawan itu tercermin dari cara hidupnya dengan orang lain dan dengan tuhannya. Hal inilah yang alfa di dalam sistem pendidikan kita selama ini
Hasilnya, ternyata sistem pendidikan kita selama ini hanya mengembalikan manusia Indonesia ke alam premitif. Premitifisme itu adalah melakukan pertahanan diri atau menunjukkan ketangguhan dengan membantai orang lain. Seseorang dianggap hebat dan ‘sakti’ jika mampu menghabisi nyawa orang lain. Itulah cara-cara yang dilakukan kaum terpelajar kita hari ini. Lihatlah siswa SMU dan mahasiswa menunjukkan keunggulan mereka dengan ‘perang’ batu dan senjata tajam di jalanan. Sekali lagi, sangat primitif.
Kita merasa selama ini, paling tidak beberapa dekade terakhir, kita telah mencetak manusia-manusia Indonesia yang cerdas tapi sebenarnya kita sedang memproduksi kaum-kaum intelektual yang primitif. Sungguh sangat ironis. Kita mengira, bangsa ini sedang mencetak penerus bangsa yang tangguh, tapi ternyata tidak lebih dari memproduksi robot-robot yang primitif. Kepala mereka diisi dengan ilmu pengetahuan tapi kering nilai-nilai. Hati mereka kering kerontang. Mereka akan berpacu mencapai nilai tinggi atau berlomba mengalahkan orang lain dengan berbagai cara yang tidak benar. Halal dan haram, benar dan salah, merugikan orang lain atau tidak, bukan lagi menjadi persoalan selagi mereka menjadi yang ‘terbaik’.
Tidak ada kata lain, jika kita tidak mau melihat ‘robot-robot’ primitif itu terus berperang di jalanan, maka kita harus rubah sistem pendidikan yang ada. Kita harus men-design ulang kurikulum yang ada. Tawaran saya, pertama, hapuskan sistem rangking kelas. Dengan tidak adanya rangking kelas, maka para peserta didik tidak perlu berpacu mencapai angka yang tinggi tapi tetap menjadi yang terbaik. Berikan barometer-barometer baru selain nilai-nilai rapor. Nilai-nilai kualitatif sudah saatnya dipikirkan dan didesign setelah kita menyadari nilai-nilai kuantitatif gagal menjadikan manusia Indonesia ‘seutuhnya’. Bahkan cenderung sebaliknya, hanya karena ingin mendapatkan angka tinggi terjadi komplotan kecurangan dari siswa hingga guru. Jamak kita dengar kecurangan dalam ujian nasional (UN) yang dilakukan oleh siswa dan bahkan guru.
Kedua, perbanyak mata pelajaran yang menyangkut kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Pelajaran agama tidak cukup dua jam pelajaran, tapi labih banyak lagi. Hidupkan lagi mata pelajaran budi pekerti. Ajari anak-anak kita bahwa menjadi orang ‘pintar’ itu tidak hanya nilai tinggi tapi juga berahlak baik dan mampu mengendalikan emosi. Tegaskan bahwa menjadi orang pintar itu harus dengan cara-cara yang benar. Kejujuran harus dijunjung tinggi.
Ketiga, peran keluarga menjadi sangat vital sebagai pusat pendidikan anak setelah keluar dari sekolah. Pengaruh lingkungan sangat besar bagaikan ombak di tengah samudera yang menerpa kehidupan anak-anak kita hari ini. Maka adalah hal yang sangat bijak jika kita tidak ingin anak kita tenggelam ditelan gelombang, bukan dengan membuat pagar keliling pantai tapi ajari anak cara berenang. Maksud saya, orang tua harus cerdas mengikuti zaman. Sudah saatnya orang tua melek teknologi dan komunikasi. Jangan sampai ada orang tua yang tidak paham facebook, twitter, ym, dsb. Para orang tua harus mampu memandu mereka menggunakan ‘kecanggihan’ itu dengan baik dan benar.
Keempat, masayarakat harus meningkatkan kepeduliaan sosial. Kita sudah terlalu dininabobokkan oleh ‘lo lo, gue gue’. Kita memang harus peduli terhadap segala ketabuan yang terjadi di lingkungan kita. Anak orang adalah anak kita juga. Biarkan kita peduli untuk menegur anak-anak orang yang melakukan kesalah di tengah masyarakat.
Akhirnya, jangan kaget, bahwa tawuran hari ini adalah kontribusi kita semua, dari sistem pendidikan yang salah design hingga masyarakat yang tidak peduli. Perbuatan ini sudah kita lakukan selama bertahun-tahun. Maka dari itu, jika kita tidak ingin tawuran ini terus terjadi, hari ini kita harus berbuat. Benahi kurikulum nasional dan tingkatkan kepedulian kita semua. Mari kita menanam biji yang baik untuk kita petik buahnya puluhan tahun mendatang. Semoga.
Discussion about this post