Oleh: Bahren Nurdin
Tersenyum bahagia diiringi bulir-bulir bening turun merayap dari kedua matanya. Hujan di musim kemarau. Itulah yang terjadi karena ia tidak mampu menerjemahkan rasa yang bergemuruh di dadanya. Rasa itu bercampur aduk sehingga ia sendiri tidak bisa memaknai air mata yang jatuh, juga senyum yang mengembang. Bahagiakah dia? Atau itu adalah air mata kepiluan? Dihapusnya beberapa kali namun tetap saja menetes hingga mengorbankan beberapa tisu di tangannya.
“Bunda nangis? Bunda cedih ya?” Bidadari kecilnya datang dengan sebuah boneka kecil yang dipukul-pukulkan ke wajah ibunya. Si Kecil belum kan mampu menebak perasaan ibunya.
“Gak kok…Bunda aja senyum. Kok Rara bilang Bunda sedih. Rara dari mana?” tanyanya sambil beberapa kali menyapu sisa-sisa air di pipinya. ”Rara nonton tv gih ama ayah sana. Ayah lagi nonton tv kan? Bunda mau selesaikan dulu kerja bunda, nanti bunda juga nonton tv bareng Rara, ok?” tanpa banyak tanya lagi gadis kecil itu pun berlari menuju ruang tamu. Ibu muda itupun kembali masuk ke dunianya sendiri.
Dengan satu klik saja sebuah foto profil di Facebook itu pun kembali mampir dimatanya. ’Add as Friend’ seakan menarik-narik coursor-nya. Tak sabar untuk mendapatkan informasi orang yang telah sekian lama hilang dari mata tapi masih hidup di jantung hatinya. “Dimana kau sekarang, Kak? Sudah sukseskah dirimu? Sudah berapa anakmu? Masihkah kau ingat padaku?” pertanyaan-pertanyaan itu memaksa ia membuka lembaran-lembaran kehidupan sebelas tahun silam. Dari selembar foto yang ada dihadapannya itu, nampaklah tidak banyak yang berubah. Senyumnya masih sama. Gaya rambutnya masih sama. Bahkan gaya berdirinya pun masih sama. Terasa sebelas tahun yang lalu seakan baru saja terjadi kemaren sore. Ingatan itu kembali bersemi membuat ia bernostalgia:
”Ada apa Rifqi? kamu mau ketemu saya?”
”Maaf Pak, mengganggu sebentar. Saya memanggil Qanita Sajidah. Ibu BK memanggilnya untuk urusan lomba karya tulis” Rifqi setengah berbisik di depan kelas itu.
”Kapan?”
”Sekarang Pak jika Bapak izinkan”
”Nita, kamu dipanggil ke kantor. Latihan ini kamu jadikan PR dan kumpul besok. Pagi-pagi letakkan di atas meja saya ya”.
”Ya pak” siswi cantik berambut panjang itu pun menutup bukunya satu persatu dan memasukkannya ke delam tas. Ia melangkah berlalu dihadapan guru Bahasa Indonesia dengan kaca mata tebal tersebut.
”Terima kasih, Pak” pamit Rifqi yang telah lebih dahulu melangkah tanpa menunggu jawaban dari guru Bahasa Indonesia itu. Ia melangkah keluar dari kelas yang disusul Qanita di belakangnya.
”Cuma kita berdua yang mewakili sekolah” suara Rifqi meluncur begitu saja setelah beberapa langkah meninggalkan kelas itu.
”Yang lain kok gak jadi ikut, Kak?” sebagai adik kelas, walau pun belum kenal betul dan biar terkesan sopan, Qanita memanggil cowok itu dengan sebutan ’Kak’. Tapi siapa yang tidak kenal cowok yang berjalan di hadapannya ini? Bisa-bisa semut-semut sekolah ini mengenalnya. Rifqi Mukhtarullah, atau biasa dipanggil Rifqi atau Qiqi. Segudang prestasi akademis telah ia sandang. Merajai beberapa kegiatan ekskul dari pramuka hingga paduan suara. Jarang sekali absen dari berbagai lomba. Beberapa tropi bergengsi pun telah ia persembahkan untuk mengharumkan nama sekolah. Siswa kesayangan guru-guru. Siswa teladan. Juara kelas. Pembesar OSIS. Dan entah predikat apa lagi yang menempel kepadanya hingga ia begitu termasyhur.
”Mana saya tau.” jawabnya ringkas dan dingin tanpa menoleh. Ia terus berjalan menyelusuri koridor melewati kelas demi kelas. Qanita pun lebih memilih tetap berjalan beberapa langkah dibelakangnya. ’Sombong juga ni cowok’. Dalam hatinya. Ia mulai merasa tidak nyaman dengan jawaban singkat itu. Memang selama ini ia tidak begitu peduli dengan cowok terkenal ini, khususnya di kalangan kaum hawa teman-teman sekelasnya.
”Ketemu siapa?” dicobanya lagi memecah keheningan.
”Ikut saja”
”kemana?”
”Gak dengar pa Pak Lubis tadi bilang kamu dipanggil ke kantor?” jawab Rifqi lebik ketus lagi. Sedikit menoleh ke belakang dibarengi wajah sewot membuat Qanita menundukkan kepala malu sekaligus dongkol. Ia kemudian mengalihkan pandangan ke lapangan basket di sisi kirinya. Di tengah teriknya matahari tak menghalangi beberapa siswa berpakaian olah raga lompat sana lompat sini bersama si bundar yang dipantul-pantulkan ke lantai. Iya hanya melempar senyum ketika salah satu diantara mereka bersuit-suit meggoda. Lebih-lebih lagi berbarengan dengan melewati kelas Rifqi yang kebetulan sedang tidak ada guru di dalam. Riuh siulan dan suara-suara menggoda semakin tak terkendali. Entah menggoda dirinya atau ngeledeg Rifqi. Tidak tahu pasti. Namun Rifqi sedikit pun tak menggubris suara teman-teman sekelasnya itu. Ia masih berjalan santai menuju ruang Bimbingan Konseling.
”Ibu sudah baca semua naskah yang masuk. Ada tujuh naskah semua. Tapi karena panitia hanya meminta dua naskah, nampaknya naskah kalian berdua yang paling cocok untuk dikirim. Benar naskah ini kalian tulis sendiri? Tidak plagiat kan?” tanya guru BK itu sambil menunjukkan dua karya tulis di tangannya.
”Benar, Buk” jawab Rifqi dan Qanita hampir bersamaan dan kemudain mereka saling menoleh.
”Saya tulis sendiri buk.” Rifqi menegaskan jawabannya.
”Ok. Ibu percaya pada kalian. Naskah ini Ibu kembalikan dan kalian masih ada waktu satu minggu menjelang deadline. Kalian diskusikanlah dan perbaiki mana yang perlu diperbaiki. Jika membutuhkan buku referensi bilang saja sama Ibu. Jika tidak ada di perpustakaan sekolah, beli saja, nanti uangnya diganti. Ibu ingin kalian mengerjakannya semaksimal mungkin” terhenti sebentar, dan kembali meneruskan ”Ada yang mau ditanyakan? Jika tidak, nama baik sekolah untuk lomba karya ilmiah kali ini Ibu percayakan pada kalian berdua. Ibu yakin kalian bisa melakukan yang terbaik” panjang lebar guru Bimbingan Konseling itu memberikan bimbingan, motivasi, harapan dan impian. Tidak salah tugasnya sebagai guru konseling yang bertugas dan berfungsi untuk membimbing dan memotivasi. Meluruskan siswa yang melenceng. Membenarkan yang salah. Mengingatkan bagi yang terkhilaf. Bukan sebaliknya, sering kali ditemui di sekolah-sekolah guru Bimbingan Konseling mengambil alih fungsi polisi, hakim, dan jaksa. Menangkap, mengintrogasi, mengadili, dan menghukum sehingga tidak jarang menjadi momok bagi siswa. Ibu Dra. Sa’adah selayaknya menjadi contoh seorang guru Bimbingan Konseling yang berdedikasi. Semua masalah siswa yang sampai di tangannya pasti selesai dengan baik. Disamping menjalankan fungsi sebagai guru, beliau juga menyatukan tugasnya dengan nilai-nilai keibuan. Kasih sayang dalam bimbingannya bagai angin syurga bagi siswa. Seorang bunda yang menjaga anak-anaknya.
“Insya Allah Bu, kami akan berusaha” jawab Qanita lembut tapi semangat. Walau dalam hati penuh pertanyaan mungkinkah ia bekerja sama dengan cowok sombong di sebelahnya ini? Huh… rasanya mau mundur saja. Tapi mana mungkin mengecewakan Ibu Sa’adah yang telah sepenuhnya mempercayakan lomba ini pada mereka berdua.
==***==
Jumat dan Sabtu berlalu tanpa berita secuil pun dari Rifqi. Karena sudah terlanjur sebel pada ’pandangan’ pertama Qanita pun tidak mau ambil peduli. Toh rasanya juga sudah maksimal naskah yang ia tulis. Tidak perlu perbaikan lagi.
”Kak, Kakakkk…. ada telfon. Cepatan!” teriak Icha sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar kakaknya.
”Dari siapa?”
”Gak tau. Dari cowok, yang jelas. Tanya aja sendiri” Icha pun berlalu.
Dengan malas-malasan Qanita keluar dari kamar menuju ruang tamu. Hari Minggu menciptakan suasana malas yang selalu saja susah untuk dikalahkan.
”Asslamu’alaikum. Haloo…”
”Wa’alaikumsalam. Apa kabar Nita? Kamu baru bangun ya? Hayooo… anak gadis gak boleh molor loh. Anak cowok boleh he he he…” suara tawa dari seberang terasa hangat, riang, dan bersahabat
”Ah gak kok, udah bangun dari tadi. Siapa bilang aku baru bangun? Maaf, ini siapa ya?” Qanita mengerutkan kening sambil menebak-nebak suara dari sebelah. Serasa kenal tapi tak yakin. Tidak mungkin Rifqi yang begitu dingin dan ketus dua hari yang lalu bisa seriang ini. Dari mana dia tau nomor telfon rumah ini?
”Yah… udah lupa ya? Maaf Jumat kemaren aku agak bete he he he… Gini Nit, aku udah baca naskah kamu dan menurut aku ada beberapa poin penting yang harus kita perbaiki. Naskah aku juga sih setelah aku baca berulang kali. Lomba ini kan yang ngadain partai politik. Kita harus hati-hati dalam menyampaikan data dan informasi. Nah untuk lebih akuratnya data yang kita sampaikan dalam karya ilmiah ini, sebaiknya kita mencari baberapa buku pendukung lagi, terutama tinjauan historisnya dan harusnya kita mendatangi kantor cabang untuk mewawancarai beberapa tokoh partai yang ada. Apa saja yang telah mereka sumbangkan untuk generasi muda tanah air ini. Khususnya di daerah kita ini. Partai yang telah lama berkuasa dan memenangkan beberapa pemilu pasti mudah buat kita menemukan kader-kadernya. Aku punya teman, ayahnya seorang ketua cabang. Gimana kalau hari ini mumpung libur kita ke toko buku dan besok kita izin untuk ke kantor cabang dan wawancara. Setuju gak?” dengan tenang dan yakin cowok itu memberi penjelasan.
”Haloo… halo halo, Nita dengar kan?” tanyanya curiga setelah tidak mendapatkan sebarang jawaban dari lawan bicaranya.
”Ya ya… aku dengar kok. Ok ok aku setuju, Kak” Qanita mulai gelagapan seakan terbangun dari lamunan panjang dan terpesona dengan penjelasan-penjelasan yang disampaikan Rifqi. Bahasanya tersusun, idenya mengalir sempurna. Suaranya lembut namun tegas dan enak untuk didengar. Akademisi tulen.
”Ok. Alamat Nita di mana? Nanti saya ke sana naek sepeda dan dari rumah Nita kita naek angkot ke pasar”
Setelah memberikan alamat dan denah lokasi rumahnya Qanita pun kembali ke kamarnya. ‘Naik sepeda?’ tanyanya dalam hati. Berarti benar apa yang dikatakan Merry. Dialah satu-satunya siswa sekolah itu yang ngontel setiap hari. Tapi kok gak pernah ketemu dia sedang ngegenjot ya?
”Nit, tau gak itu sepeda siapa?” tanya Merry waktu melintasi halaman parkir sambil menunjuk sebuah sepeda yang menyelip di antara motor-motor.
”Paling juga sepeda Mas Karman”
”Bukan. Penjaga sekolah kita kan pake motor. Itulah sepeda Sang Juara lomba pidato kemaren. Siswa yang menyerahkan piala pidatonya kepada Bapak Kepala sekolah waktu upacara kemaren itu”
”Terus napa?”
”Ya gak kenapa napa. Hari geneee… masih ngontel? Mending naik angkot deh. Dan berdasarkan cerita Rinti, Doi juga tinggal bekerja sebagai officeboy. Kren gak tu? Trus setiap Rabu dan Sabtu sore Doi jadi kacung di lapangan tenis. Aku pernah ngeliat Doi lari-lari ngumpulin bola tenis. Hebat ya?”
”Kayaknya niat banget mo tau dia? Jangan-jangan lo naksir lagi ama tu cowok?” selidik Qanita curiga tapi sedikit tak peduli. Toh juga gak ada urusan dengan dia. Kalau setiap urusan orang dipikirin bisa botak kepala.
”Gak sih, cuma kagum aja. Mana ada anak-anak sekarang yang sanggup untuk begitu. Bisanya cuma minta duit, minta beliin motor, komputer, handpone, dan macam-macam. Ngompas orang tua tiap bulan.!”
”Emang dirimu nggak buk?” tanya Qanita lagi-lagi setengah sebel karena terkesan terlalu mengagung-agungkan cowok itu. Yah, paling juga kenal nama doang.
”Ya, kita semua, tapi Doi gak loh. Doi tu mandiri banget. Pekerja keras dan pantang mengalah. Terdapat ciri-ciri orang besar pada dirinya. Tidak mengalah pada kemiskinan, tidak tunduk pada nasib, juga tidak mengemis pada keadaan.
”Ahh…udah udah, Sok bijak lo Mer. Mo gantiin Ibu Sa’adah ya? Yang ada, semua cowok cakep dan tajir di sekolah ini sudah lo embat bat bat bat. Perlu aku absen satu persatu? Derry, Ardian, Nando, de el el adalah cowok-cowok tajir korban lo hehehe…. Udah ah, gue ke kelas dulu ya daaghhh…” Qanita meninggalkan Merry bersama teman-teman lain di kantin sekolah itu. Qanita sama sekali tidak ambil pusing dengan apa yang disampaikan Mery. ’peduli amat. Toh dia juga gak kenal aku’ pikirnya.
Setelah mandi dan berpakaian Qanita siap-siap sesuai jam yang telah disepakati. Agaknya kini tibalah gilirannya untuk mengenal cowok yang ’didewakan’ di sekolahnya itu. Wow… tepat waktu. Dengan bermandikan keringat, sedikit pun ia tidak terlambat. ”Naik sepeda bukan alasan untuk ngaret”. jawabnya ringan.
==***==
Sejak hari itu waktu berlalu dengan kebersamaan. Karya tulis yang dibebankan kepada mereka cukup alasan untuk membuat mereka bersama. Sekolah pun cukup memberi kelonggaran selama satu minggu tersebut untuk mempersiapkan bahan-bahan tulisan mereka. Menjelajah toko – toko buku yang ada di kota kecil itu. Tidak banyak yang ditemukan, karena memang ilmu pengetahun belum lebih penting dari ikat pinggang. Nyatanya penjual ikat pinggang lebih banyak ketimbang toko buku. Kota Muara Bungo waktu itu sedang menggalakkan pembangunan di sana sini. Namun sayang dari sekian banyak bangunan yang didirikan baik oleh pemerintah mau pun swasta tidak ada yang beroreantasi keilmuan. Semua mempertontonkan simbol-simbol kapitalisme. Pasar bertingkat dijejali dengan pakain-pakain bermerk dari yang palsu sampai ke setengah palsu. Jarang yang asli. Tapi tidak ada toko buku. Kesulitan mencari buku yang dibutuhkan, setengah mati. Tapi semua itu tidak membuat mereka berdua mengeluh untuk melengkapi karya tulis itu dengan sumber-sumber yang memuaskan. Qanita juga tipikal siswi pekerja keras dan cerdas. Walau tidak selalu juara pertama tapi tidak pernah lewat dari juara tiga.
Tidak hanya persoalan-persoalan teknis seperti mencari buku, melakukan wawancara, atau mengobrak-abrik perpustakaan sekolah mereka bersama, tapi sampai pada perdebatan-perdebatan konten tulisan itu sendiri. Dari kedekatan itu, melalui semua kegiatan mereka kerjakan bersama itulah Qanita benar-banar memahami siapa sebenarnya kakak kelasnya itu. Tidak salah Merry mengagumi cowok itu. Dapat dibayangkan, di sela-sela tugasnya sebagai officeboy, kacung tenis lapangan, kegiatan pramuka, kegiatan OSIS, dan tugas-tugas sekolahnya dia masih mampu meluangkan waktu untuk karya tulis ini dengan maksimal. Tak pernah terdengar sekali pun ia mengeluh. Selalu tepat waktu jika berjanji. Seakan tak mengenal lelah dengan sepeda bututnya ke sana ke mari. Bawaannya ceria tanpa beban. Tapi jika sedang serius berdiskusi, menyampaikan pengumuman OSIS di depan kelas, pengarahan terhadap adik-adik pramuka, tidak ada yang menyangka dia seorang anak petani miskin yang nekat menimba ilmu di rantau orang. ”Miskin itu persoalan perut. Kaya itu persoalan isi kepala. Itulah sebabnya banyak orang yang perutnya kosong tapi ia merasa kaya dan dihormati karena kepalanya berisi” katanya suatu ketika saat berdebat tentang kemiskinan.
Sebulan kemudian hasil karya tulis itu diumumkan. Hasilnya sangat mengejutkan banyak orang. Bagaimana mungkin SMU N 2 Muara Bungo yang terkenal dengan gudang juara itu luput. Semua juara diborong oleh sekolah tetangga. Nyanyian ketidak-fair-an mulai terdengar. Ternyata lomba karya ilmiah pun bisa jadi politis ketika itu dilaksanakan oleh partai politik. Ibarat kulkas, apa pun yang masuk ke dalamnya pasti dingin.
”Tak apa-apa, Ibu tau kalian sudah berbuat maksimal. Jangan patah semangat. Bulan depan juga ada lomba serupa yang diselenggarakan oleh Diknas. Kalian boleh ikut lagi” Ibu Sa’adah kembali memberi motivasi.
Tapi bagi Qanita perlombaan karya ilmiah itu ternyata tidak lagi menjadi perhatiannya. Diam-diam kebersamaannya dengan Rifqi selama ini telah menyemai benih asmara yang mendalam. Sekarang yang lebih menjadi perhatiannya adalah bagaimana menahlukkan hati si ’dingin’ Rifqi. Misi berubah. Dari karya ilmiyah menjadi karya asmara. Tapi ternyata tidak mudah. Tidak semudah yang ia bayangkan. Berbagai cara untuk menarik perhatian kakak kelasnya itu tidak berhasil. Untuk jujur terus terang tentu juga tidak mungkin. Bahkan ia ’terpaksa’ menggaet Khalid, teman dekat Rifqi, hanya untuk menarik perhatian. Membuat ia cemburu. Tapi ternyata semua itu sia-sia. Nihil. Makin hari hubungan makin longgar lebih-lebih Rifqi semakin sibuk menyiapkan diri untuk ujian akhir. Qanita pun tidak mau mengganggunya. Hanya kadang untuk melepas rindu dan kangennya yang semakin dalam dan semakin terpendam, ia hanya bisa mencuri-curi pandang di setiap kesempatan. Sampai akhirnya beberapa bulan kemudian, ia menemukan sepucuk surat yang ditempel di majalah dinding sekolah:
Ibu…
Entah bagaimana ananda ingin menyampaikan perasaan ananda saat menulis surat ini. Sebesar apa syukur ananda kepada Allah yang telah memberikan nikmat juga memberi kesempatan untuk menuntut ilmu di kota pelajar ini, sebesar itu pulalah terima kasih yang ingin nanda sampaikan untuk ibu, dan seluruh bapak ibu guru tanpa terkecuali di sekolah ini. Sekolah ini sangat berati untuk nanda, Bu. Terutama Ibu yang telah terlalu banyak memberikan bimbingan dan ajaran. Hanya Allahlah yang patut membalas semua itu. Ananda yang lemah ini tidak memiliki kekuatan secuil pun untuk melakukannya. Teriring doa semoga Ibu panjang umur dan tetap sehat dalam mendidik anak-anak negeri ini, amin.
Ibu…
Ananda baru saja menerima pengumuman hasil ujian matrikulasi. Alhamdulillah ananda lulus. Apa artinya, Bu? Sekolah kita sejajar dengan sekolah-sekolah yang terkenal di kota-kota besar di negeri ini. Ujian matrikulasi adalah ujian untuk menentukan standar yang telah ditetapkan oleh universitas ini. Artinya, siapa yang tidak lulus ujian ini sekolah mereka dapat diartikan belum memenuhi standar nasional. Masih terdapat kekuarangan yang perlu dibenahi. Tanpa bermaksud membanggakan diri, Bu, nanda ingin sampaikan bahwa anak didik ibu ini sama pintarnya dengan mereka yang berasal dari Jakarta, Bali, Medan, Surabaya, Bandung dan Jogja ini sendiri. Ini semua berkat didikan bapak ibu semua. Sampaikan salam hormat nanda pada semua guru-guru ananda tanpa terkecuali. Semoga ilmu yang diberikan mampu menjadi pelita di setiap langkah untuk menapaki gelapnya kehidupan di masa yang akan datang.
Ibu…
Tentu kelulusan nanda atas ujian matrikulasi ini adalah gendrang awal pertanda perjuangan segera dimulai. Pertarungan segera berlangsung. Tapi pertempuran ini tidak hanya misi pribadi nanda sebagai anak petani miskin yang harus berhasil mengukir prestasi. Tidak, Bu. Tapi jauh dari itu, ini adalah misi banyak orang. Misi sekolah kita yang harus mencatatkan diri sebagai salah satu penyumbang putera terbaiknya menjadi alumni UGM yang sukses dikemudian hari. Misi orang-orang kampung ananda yang ingin bangga di tengah perjuangan melawan kemiskinan dan keterbelakangan. Maka dari itu, Bu, izinkanlah sekali lagi ananda memohon doa dan restu dari Ibu dan Bapak Ibu guru semua, agar nanda diberikan kelapangan dan kemudahan dalam melewati segala tantangan dalam misi ini.
Ibu…
Sampaikan juga salam ananda kepada adik-adik kelas semua. Sampaikan pada mereka bahwa mereka telah memilih sekolah yang tepat. Sekolah yang memiliki disiplin tinggi dimana bapak dan ibu gurunya iklas dalam mendidik anak-anak bangsa. Sekolah ini mestinya diberi penghargaan tidak hanya karena terkenal dengan disiplinnya tapi juga prestasi yang dihasilkan. Kedisiplinan sekolah kita perlu mendapat catatan sendiri, Bu. Belum pernah ada siswa/siswi sekolah ini yang berkeliaran di pasar pada jam sekolah. Tidak ada yang masih berkeliaran saat bel masuk berbunyi. Sekolah kembali ramai sore harinya dengan berbagai kegiatan-kegiatan ekstrakulrikuler. Sekolah ini tidak terkalahkan, tidak juga oleh ‘SMU Favorit’ di kota ini. Ibu, ananda bangga sekali telah dididik di sekolah ini.
Ibu, itulah yang dapat ananda sampaikan pada lembaran ini. Ananda akan menyiapkan diri untuk menempuh perjuangan yang ananda tau tidak mudah dan penuh tantangan ini. Seperti yang sering ibu bilang pada ananda ”Kamu pasti bisa, Rifqi”. Ananda akan pertaruhkan segala yang ananda bisa agar suatu saat nanti ananda akan datang ke sekolah tercinta ini dengan gelar sarjana. Terima casi, Bu.
Dari anakmu
Rifqi Mukhtarullah.
Lama ia mematung membaca surat itu tak terasa buliran-buliran bening menetes satu persatu melintasi kedua pipinya. Kata-kata yang tertulis di lembaran surat itu seakan terngiang-ngiang di kupingnya. Di retina matanya bermain bayangan wajah yang sangat ia kenal beberapa bulan terakhir. Senyuman dan candanya datang menggoda. Iya merasakan hentakan-hentakan energi perjuangan yang terpancar. Hari-hari yang terlewati bersamanya telah menanamkan benih cinta yang mendalam bagi Qanita. Cinta yang tak berbalas. “Nita, ada yang lebih penting dari cinta dan asmara yaitu cita-cita” begitu katanya ketika ditanya mengapa ia tidak pernah pacaran seperti teman-teman yang lain. Itulah pula yang menjadi alasan kuat bagi Qanita harus memendam rasa cinta dan sayangnya di lubuk nurani yang paling dalam. Ia bungkus rapih walau kadang menyanyat pilu. Ia berjanji akan menjaga rasa itu entah sampai bila.
Ingatan akan orang yang paling dicintai memang tidak mudah sirna begitu saja. Walau ia telah bertahun-tahun menghilang ditelan angan dan cita-citanya, namun sepotong nama Rifqi sedikitpun tak ia lupakan. Cinta dan kekagumannya begitu mendalam walau tak pernah terucap dan terungkap. Semua membeku dan menyatu dalam kalbu. Bahkan di malam pernikahannya pun ia masih sempat meneteskan air mata ketika teringat sepotong nama itu. ”Untuk sebuah nama: Entah dimana rimbamu saat ini. Melalui coretan ini, izinkan aku meminta doa dan restumu. Besok aku akan menikah. Aku akan segera kehilangnmu, tapi tidak kehilangan cintaku padamu, walau kau tak pernah tahu. Aku yakin suatu saat nanti kita akan bertemu. Entah kapan aku tidak tahu. Dan bila saat itu tiba, aku berjanji tuk mengungkapkan semua yang kupendam selama ini. Aku tidak ingin memebawanya sampai ke liang lahat. Kau harus tau, aku sangat mencintaimu” setetes air mata jatuh di buku harian itu. Empat tahun yang lalu.
Hari ini ia terbangun kembali. Air mata tak dapat ditahannya ketika menemukan potongan yang hilang itu kembali. Potongan hatinya itu berdiri tersenyum manis di layar monitor di hadapannya. Bahagia karena ia temukan kembali potongan sukma yang telah lama berkelana. Sedih karena tak mungkin lagi ia miliki potongan jiwa itu.
”Kok Bunda lama cekali sih… Rara kan sudah lapar, Bunda” suara sikecil kembali membubarkan pengembaraan masa lalu itu. Masa yang tak akan pernah hilang dalam ingatannya. Mudah-mudahan si Rara kecil mampu mengisi kekosongan itu.
”Iya sayang, Bunda nulis satu kalimat saja. Sebentar ya.” dipangkunya putri kecil itu dan ia menulis sepotong kalimat di wall facebook-nya. ”Tak layu, tapi tidak mungkin jua ia mekar karena musim telah berganti’”
Malaysia, 20 Desember 2009 (14:14)
Untuk Anita Noviyanti dan kisah cintanya.
Discussion about this post