Apa kabar Negeri alim? Dari tempat surat ini saya tulis saya mengulas ayat berisikan doa semoga negeri nan indah ini selalu dalam keadaan sehat wal afiat, dan tentunya dalam lidungan Allah SWT juga selalu medapat berkah dan inanyahnya, amin
Wahai si pemilik tanah Melayu, izinkan aku menulis surat ini dengan terlebih dahulu memperkenalkan diri. Namaku Kulup. Tempat lahirku di sepenggal tanah Melayu di tengah–tengah pulau Sumatera. Aku adalah anak saudara jauhmu yang membentang di ujung lautan sana. Saudara mu yang dari dahulu hingga sekarang masih selalu mengenangmu. Persaudaraan yang insya Allah akan selalu terikat kuat hingga dunia menjadi kepingan-kepingan debu yang tertiup angin surga dan neraka. Maudah-mudahan engkau juga tak melupakan saudaramu itu. masih ingatkan?
Brunei (maaf jika lancang menyebut namamu)… aku mengenal namamu jauh sebelum surat ini aku tulis. Aku punya datuk, ayah dari ibuku, namanya Jis Bin Sapi’i. Sewaktu aku masih kecil aku selalu diceritakan tentang dirimu. Kata beliau kau adalah negeri Melayu yang indah. Kau adalah negeri kecil yang alim dan taat pada agama Islam. Satu hal yang aku tak pernah lupakan adalah waktu datukku bercerita tentang kubah masjidmu yang terbuat dari emas. Benarkah itu? melalui surat ini aku ingin mendapat jawaban darimu langsung. Kapan pun kan kau jawab, itu tak masalah. Aku akan selalu menuggu jawaban dari mu.
Aku tidak pernah tahu datukku mendapat cerita tentangmu dari siapa. Aku juga yakin beliau tidak pernah bertemu dengan dirimu. Aku tahu pasti bahwa beliau dari kecil hinggal meninggal dunia tidak pernah keluar dari kampong kecil kami. Brunei… asal kau tahu bahwa kampong kami sangat kecil. Kampong itu baru mendapat aliran listrik pada tahun 90an. Coba bayangkan pada tahun datukku hidup sekitar tahun 60an. Semua masih sangat terkebelakang. Jalan masih di dalam hutan belantara. Tidak ada kendaraan sepeda, motor, apa lagi mobil. Yang ada adalah perahu yang didayung menelusuri Sungai Batang Hari. Kalau begitu dari mana datukku tahu tentang dirimu?
Brunei…melalui surat ini aku ingin memberitakannya bahwa ternyata kemashuranmu telah abadi sejak dahulu kala. Sajak aku belum bisa menulis surat bahkan sejak aku belum dilahirkan. Namamu telah disebut oleh orang-orang terdahulu dikampungku. Kaharuman Islam, ketaatan ummatmu, kekayaan negerimu, raja-rajamu, dan sebagainya telah menjadi buah bibir datuk-datu dan nenek-nenekku.
Brunei…umurku baru seumur jagung, dan darahku baru setampuk pinang. Belum cukup umur dan berani untuk mengunjungimu. Tapi aku janji suatu saat nanti aku akan mengunjungimu. Jika aku suatu saat nanti bisa mengunjugimu, aku janji akan menceritakannya pada batu nisan makam datukku. Aku akan ceritakan padanya apapun yang aku temui di sana. Berdoalah aku panjang umur hingga bisa mengunjungimu, amin.
Langkahku untuk bertemu denganmu pasti tidak jauh lagi. Beberapa bulan yang lalu akau melanjutkan sekolah ke rumpunmu yang lain yaitu Malaysia. Aku tak ingin bercerita tentang saudaramu yang satu ini karena aku yakin kau telah mengenalnya dengan baik. Tapi melalui surat ini aku ingin bercerita panjang lebar tentang anak mu yang kau kirim ke negeri ini. Dan syukurnya aku telah dipertemukan dengan anak-anakmu itu. izinkan aku bercengrama dengan mereka.
Brunei…ada dua orang anakmu yang aku temui ditanah Melayu ini. Keduanya kebetulan perempuan. “Mengapa perempuan?” saat itu aku tanya mereka. Mereka menjawab bahwa kau lebih suka mengirim anak-anakmu yang lelaki untuk bersekolah ke Inggris, Amerika, Australia, Saudi Arabia, dll. Wah…ini pasti luar biasa. Aku yakin suatu saat nanti anak-anakmu akan menjadi orang-orang yang siap membangun dirimu dengan baik. Brunei…kau mau tau tak apa yang sauara jauhmu lakukan terhadap pendidikan anak-anaknya? Wah…aku sebagai anaknya sedih sekali. Saudaramu itu tidak pernah peduli dengan pendidikan anak-anaknya. Contohnya aku, aku ke Malaysia dengan bersabung nyawa. Aku pernah mengadu, tapi dia jawab “Kalo nggak ada duit jangan sekolah jauh-jauh. Jangan buat susah orang lain…”. Sedih ya?
Brunei…terkadang aku iri mendengar cerita anak-anakmu yang kini menjadi sahabatku. Mereka selalu bercerita bahwa sebelum mereka berangkat sekolah ke Malaysia ini, engkau bekali segala kebutuhan mereka. Semua biaya sekolah engkau kirimi tiap bulan. Biaya hidup engku cukupi setiap hari. Biaya foto kopi engku beri. Jajan harian engku cukupkan. Sewa rumah engku bayarkan. Wah..wah..enak sekali menjadi anakmu. Boleh aku jadi anakmu? Heee…gak ah nanti kalo aku jadi anakmu, malah kecanduan sekolah terus. Brunei…cobalah sekali-sekali ajari saudaramu itu (ibu pertiwikuku) cara mendidik anak-anaknya. Sudah sekian lama ia tidak lagi digembala oleh penjajah, tapi saudaramu itu masih saja tolol. Dan yang lebih parah lagi saat ini, saudaramu itu sedang mengidap penyakit yang sangat banyak dan sangat kronis, dari penyakit kaki hingga penyakit hati. Semua penyakit ada pada saudaramu itu. coba dengar ya, aku kasih tahu bahwa saudaramu itu mengidap penyakit yang namanya anah-aneh seperti korupsi, nepotisme, kolusi, mau menang sendiri, anti social, egois, dengki, dan lain-lain, bauanyak bangat deh pokoknya.
Brunei…anak-anakmu yang aku temui di sini juga baik-baik semua. Mereka baik bangat denganku. Kami bersahabat dengan baik. Kami sering makan bersama, kadang-kadang juga pergi ‘lepak-lepak’ bersama. Dibalik persahabatan inilah sebenarnya banyak kisah telah tertulis. Aku cerita tentang ibuku dan mereka cerita tentang dirimu. Aku pun jadi tahu banyak tentang dirimu sebagai tambahan informasi dari datukku beberapa puluh tahun silam. Melalui surat ini aku juga mau mengucapkan terima kasih telah mengirim anak-anakmu untuk menjadi sahabatku. Kami janji akan menjadi sahabat yang baik hingga tali persaudaraan kita tidak pernah lekang oleh panas dan lapuk oleh hujan. Seperti halnya namamu yang telah aku kenal sejak aku bisa berenang di sungai Batang Hari. Datukku memang telah meninggal tapi cerita tentangmu dari mulutnya masih menempel diingatanku.
Brunei…sebenarnya banyak cerita yang ingin aku tulis di surat ini, tapi mungkin lain kali saja aku sambung. Mohon restui juga persahabatanku dengan anak-anakmu. Mudah-mudahan kami akan menjalin persahabatan sejarah sebagai penerus generasimu dengang ibuku. Mohon doakan juga saudaramu itu agar ia cepat menemukan jalan yang benar, ih dinassirotol mustaqiim..
Terima kasih
Wassalamua’alikum
Kulup
(Tulisan ini khusus kupersembahkan untuk saudariku Kak Aida dan Kak Ros, sebagai ikatan persaudaraan kita)
Discussion about this post