“Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakatu”.
Ia menoleh ke kanan dan ke kiri sebagai pertanda shalat empat rakaat itu baru saja berakhir. Namun beberapa saat kemudian ia kembali mengulangi gerakan tersebut. Menoleh ke kanan tapi tidak ke kiri. Kepalanya terhenti ketika salam yang dia ucapkan tersebut disambut senyum manis hamba Illahi yang sempurna, seorang gadis cantik yang shalat di belakangnya. Allah Maha Besar dengan rahmat-Nya untuk pemuda itu malam ini.
Pemuda asal Jambi itu bernama Oki. Lengkapnya Muhammad Rocky Pernando. Sebuah nama yang telah terkontaminasi oleh racun westernisasi walau masih menempel embel-embel Islam. Oki baru saja menyelesaikan kuliah serjananya. Sekarang ia dikirim ayahnya untuk melanjutkan kuliah di Universitas Kebangsaan Malaysia begitu menerima ijazah dari Universitas Jambi. Universitas yang belum terkenal di Indonesia tapi sangat besar di kota Jambi. Oki berpenampilan sederhana. Perawakannya sedang dan berkaca mata. Dia adalah anak yang pintar hingga ia bisa mendapatkan gelar sarjana kurang dari empat tahun. Kini dua tahun ke depan ia akan mencoba bertarung dengan dunia luar. Luar dari kampung halamannya sekaligus keluar dari negaranya sendiri.
Sepintas memang tidak banyak perbedaan kedua negara ini. Boleh dikatakan tidak ada yang istemewa baginya. Walau sebenarnya waktu eman hari keberadaannya di Malaysia ini adalah waktu yang sangat prematur untuk memberi penilaian sesuatu.
Yang istimewa tentu malam ini. Malam ini ia mendapat kado terindah seulas senyum manis gadis Malaysia. Gadis Malaysia yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Ia pun sedikit ragu apakah wanita itu memang masih gadis atau jangan-jangan sudah berstatus sebagai isteri orang. Ya. Selama tinggal di Malaysia ia rajin ke mesjid untuk shalat ‘Isya berjamaah. Tepatnya lebih rajin dari sewaktu ia masih tinggal bersama orang tuanya di Jambi. Ia seolah merasakan kekuatan Allah untuk menjaga dirinya ketika jauh dari kedua orang tuanya.
Malam ini ia memang datang terlambat untuk shalat berjamaah di mushalla tersebut. Orang-orang menyebutnya Surau. Surau Asy-Syakirin yang berjarak lebih kurang lima menit berjalan kaki dari flat tempat ia ngekos. Ia mendapat syaf paling belakang dan hanya berdiri sendiri. Ini adalah malam ke enam ia shalat berjamaah sejak kedatangannya ke negeri melayu itu. Dan malam pertama pula ia menemukan muslimah shalat berjamaah.
Sejak dari awal memang telah menjadi tanda tanya besar baginya mengapa tidak ada wanita shalat berjama’ah di surau tersebut? Padahal di seputaran surau itu terdapat beberapa flat tempat tinggal mahasiswa, pekerja kilang (pabrik), penduduk asli, dan warga manca negara dari berbagai negara. Mustahil tidak ada muslimah di kota ini? Nyatanya, ketika ia berkunjung ke pasar malam di depan flatnya, hampir seluruh pengunjung pasar itu adalah wanita. Dimana-mana di dunia pasar pastilah lebih ramai dari mesjid. Tapi jika tidak ada sama sekali? Ini baru aneh.
“Bagi wanita mamang tidak disunatkan untuk shalat berjamaah di mesjid. Dikhawatirkan mereka bergunjing” Jawab Ustadz Muhammad Haruun Hasan, Lc, Si pengurus surau tersebut ketika Oki mencoba mencari jawaban kegelisahan bathinnya. Wajar memang karena di kampung halamannya ia selalu menyaksikan ibu-ibu lebih banyak datang ke mesjid dibanding bapak-bapak. Di sini malah sebaliknya.
Tapi apa pun alasannya, biarlah itu menjadi fakta budaya dan agama yang tertoreh sebagai pengalaman dalam hidupnya. Malaysia tidak sama dengan Indonesia. Biarlah perbedaan itu ada untuk saling melengkapi. Dia tidak ingin berlama-lama memikirkan masalah tersebut. Yang ada dalam benaknya adalah bagaimana cara mencari informasi tentang gadis Malaysia itu. Dia harus mendapatkannya secepat mungkin.
Semenjak kejadian malam itu Oki datang ke surau itu selalu lebih cepat dari jamaah yang lainnya. Biasa ia pergi ke surau bersama teman-teman satu flat. Sekarang ia lebih sering pergi sendiri dan lebih dahulu. Ia berharap bisa bertemu lebih cepat dengan jamaah special tersebut. Tapi selama empat hari ini dia selalu gagal karena gadis itu selalu datang tepat waktu tiga menit sebelum shalat dimulai. Namun setiap berpapasan ia selalu dihadiahi seutas senyum manis dan iklas dari gadis itu. Ia masih ragu untuk menegur atau lagsung minta nomor handphone.
“Assalamu’alaikum” Tegur Oki dengan wajah kegirangan.
“wa’alaikum salam” jawab gadis itu lugas dan sopan.
“Apa kabar?” Sambung Oki
“Baik selalu kabar ha..” Jawab gadis itu dengan logat Melayu Malaysia. Tapi Oki agak ragu dengan logat itu. Walaupun logat Melayu tapi cengkok nadanya jelas sekali Bahasa Indonesia. Oki tidak berani melihat atau menatap wajah gadis itu. Ia mengalihkan perhatian pada gedung-gedung flat menjulang di hadapan mereka.
“Mengapa sudah lama tak ke surau?” Tanya Oki basa-basi setelah tiga kali ’Isya dia tidak menemukan satu pun jamaah wanita di surau tersebut.
“Ah tidak juga. Zuhur tadi saya shalat di Surau. Jadi Abang sering shalat di surau juga ya?” Tanya gadis itu dengan logat Indonesia setelah mengetahui Oke orang Jambi.
“Lho, bukannya kita sering ketemu setiap Isya?” Tanya Oki curiga.
“Sering ketemu? Shalat ’Isya? Saya tidak pernah shalat Magrib dan ’Isya berjamaah. Paling-paling shalat Zuhur atau Asyar sewaktu pulang dari kampus mampir shalat di surau” Gadis itu pun bingung.
“Oo…ya udah. Mungkin saya salah orang. Maaf saya duluan” Pamit Oki berlalu meninggalkan gadis tersebut yang nampak masih kebingungan melihat tingkah Oki. Ia nampak salah tingkah. Perasaannya bercampur aduk. Malu karena salah orang. Senang karena gadis yang sering shalat berjamaah di surau itu ternyata bukan orang Indonesia. Sedih karena ia sudah lama tidak bertemu gadis itu. Sudah beberapa hari tidak dihadiahi senyum. Namun tekadnya masih bulat untuk menemukan gadis misterius itu.
“Aku harus menemukan gadis itu sampai kapan pun” Sumpahnya dalam hati walaupun ia sendiri tidak menemukan alasan yang tepat untuk menemui gadis itu. Ia hanya merasakan ada sesutu yang istimewa dari aura yang dipancarkannya.
“Assalamu’alaikum ustadz” Tegurnya ketika bapak tua itu memulai kerjanya mengunci surau. Di sini surau harus dikunci. Entah mengapa surau harus dikunci. Mungkin penjahat zaman sekarang tidak lagi memilih tempat untuk mencuri, kalau ada kesempatan surau pun digasak. Tak ada uang Al-quran pun dimaling. Dunia sudah tua.
“wa’alaikum salam. Awak Indon ha..?” Jawabnya sedikit penasaran.
Mendengar kata-kata Indon itu rasanya darahnya berdesir. Ada ketidaksetujuan menerima kata-kata itu. Sebenarnya tidak ada masalah dengan kata itu karena itu hanyalah cara termudah untuk menyebut orang Indonesia seperti orang Amerika menyingkat orang Australia dengan sebutan Ausi. Tapi entah mengapa sebutan Indon untuk orang Indonesia di Malaysia agak terasa kurang sedap didengar. Ada konotasi yang amat sangat negatif tersirat di dalamnya. Indon berkonotasi buruh, pembantu, pelayan, dll.
“Ya Encik, dari Indonesia bukan London” Jawabnya sengaja.
“OO.. ya maksud saye Indonesie” Jawab bapak tua itu sedikit gagap.
“Orang Malaysia juga harus diajarkan berkata yang benar. Jangan seenak perutnya saja menyingkat nama negara orang. Kami bukan negara pesuruh..!” Jawab Oki dalam hati tanpa melihatkan rasa bencinya.
“Encik apa tau muslimah yang dulu sering shalat Isya berjamaah? Apa tau dia duduk kat mane?” Tanya Oki dengan Bahasa melayu yang dipaksakan. Ya hanya sekedar menghormati tuan rumah. Kalau boleh memilih dia lebih suka bahasa Jambi.
“ooo.. Norma maksud awak?” Tanya pak tua tersebut.
“Iya, yang sering shalat di sudut sana” Jawab Oki sambil menunjuk ke sudut surau dimana dia menemukan gadis itu pertama kali.
“ooo…dia. Dia anaknya Datok Kamal Hasan. Dia duduk kat sana. Sekira dua blok dari surau ini. Ada apa awak nak tanye dia?” Jawabnya sangat jelas. Oki bingung dan gugup. Mau jawab apa? Tapi paling tidak di hatinya mulai tenang karena ia menemukan titik terang di mana gadis itu tinggal. Tekadnya masih bulat untuk menemukan gadis melayu tersebut. Tapi kali ini dia tidak ingin salah orang lagi.
Sepulang dari mesjid dia tidak bisa berbuat apa-apa. Benaknya dipenuhi hayal akan gadis tersebut. Ia seakan hapal wajah gadis yang sebenarnya tidak begitu ia ingat itu. Tapi sekilas aura rahinya memang mempesona. Wajahnya cerah, bersinar, dan mulus. Hidung mancung bak seludang menjadi teras struktur wajah yang simbang. Anak mata colat gelap redup diiringi alis lentik. Mutiara putih berbaris di antara ulas bibir. Maha besar Allah dengan segala ciptaannya.
“Bangunnnnnnnn… shalat subuh gak?” Sergah Hassan diiringi tiga kali pukulan keras di pintu kamarnya. Oki terlonjak dan langsung berlari ke kamar mandi untuk berwudhu. Seperti biasa dia menyusul temannya menuju mesjid.
Setengah berlari dia menuju surau. Adzan tak lagi terdengar petanda shalat segera di mulai. Tapi…alangkah kagetnya dia begitu melihat ada kerumunan orang di depan surau. Masih terlalu jauh untuk menemukan jawaban itu, masih berjarak 500 meter darinya.
Oki berlari kecil ingin cepat menyaksikan apa sesungguhnya yang terjadi.
“Ambulan…cepat panggil ambulan” salah seorang dari jamaah berteriak di tengah kerumunan itu. Oki mulai mendekat dan meyaksikan apa yang terjadi.
“Astaghfirullaha al-‘aziim..” Hanya itu yang terucap dimulutnya ketika ia melihat seseorang tergeletak di aspal. Ia tidak begitu berani menyaksikan dengan jelas siapa yang tergeletak tersebut. Memang belum terang benar untuk melihat pada subuh saat ini. Semua orang di sana tampak panik dan bersedih. Banyak bisik-bisik mempertanyakan gadis itu.
“Wah..kasian. Dasar sopir tak bertanggung jawab orang cacat ditabrak. Sudah itu lari dia” Bapak-bapak berkopiah haji berkata. Dengungan sirine ambulan sayup-sayup mulai terdengar diiringi isak tangis pak Haji penjaga surau.
“Inna lillahi wa inna ilaihi roji’uun…” Ia mengusap wajah gadis itu sambil memeluknya dipangkuan itu. Orang mulai ribut ternyata korban yang ditabrak lari tersebut adalah anak Pak Haji sendiri, sang pengurus surau tersbut.
Oki mendekat dan berdiri persis dihadapan kedua orang tersebut. Ditatapnya dengan baik gadis yang ada dihadapannya. Tidak salah. itulah gadis yang dia cari selama ini. Ada sembilu yang menyayat ketika ia menyaksikan kursi roda berserakan diujung kaki gadis itu.
Perlahan, ditengah kerumunan orang subuh itu ia meneteskan air mata. Ketika ambulan mendekat ia membantu Pak Haji mengangkat gadis itu masuk ke ambulan. Seutas senyum masih tersungging di bibir yang kaku itu. Senyum yang kini menambah pilu di hatinya. Ingin ia balas senyum itu, tapi semua membeku.
Ambulan berlalu dengan serine memekik. Tapi pekikan hati Oki andai orang tahu lebih keras dari serine itu.
“Gadis Malaysia ku… kau pergi sebelum sempat ku kenal. Mengapa tak kau tinggalkan sepenggal nama untuk ku? Mengapa hanya sepenggal senyum..?” Oki gontai menuju surau tuk melanjutkan tugas menyembah sang Khlaliq. Kini tak ada senyum yang menyambut salamnya. Karena ia telah telah sirna ditelan sinar mentari.
“Selamat jalan Gadis Malaysiaku kankuingat subuh terakhirmu. Kan kuukir dalam sanubariku” Ia melangkah menapak masa tak bertepi (bhan)
Malaysia, 08 /07/08
Discussion about this post