*Bahren Nurdin
“Diam kamu. Jangan banyak tanya! Cukup jawab pertanyaan saya. Ngerti?”
Ruangan itu tiba-tiba senyap dan mencekam.
Itu adalah bentakan yang kesekian kali ia terima. Ia hanya bisa pasrah menghadapi orang-orang itu. Orang-orang yang begitu asing dalam hidupnya. Wajah-wajah beringas dan ganas. Mata tajam dan garang. Pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan benar-benar tidak ia fahami. Tuduhan-tuduhan yang sama sekali tidak ia mengerti. Bahkan sampai detik ini, ia juga tidak pernah tahu mengapa ia harus berada di ruang itu. Pertanyaan yang ia lontarkan tidak pernah dijawab. Tembok-tembok pun membisu.
“Sudahlah, kamu akui saja”
“Apa yang harus saya akui, pak?” ia bertanya setengah bergumam.
“Sekali lagi kamu tidak mengaku, tau akibatnya!”
“Sebutkan saja, siapa teman-temanmu dan apa rencana-rencana kalian? Siapa pimpinan kalian?”
“Saya tidak tahu, Pak.” sambil menutup mulut dan menahan ledakan di dada. Ia ingin menangis. Ia sungguh tidak tau apa yang sedang terjadi pada dirinya. Bingung. Sementara orang-orang berseragam itu silih berganti bertanya dan menghardik. Sesekali mengarahkan senjata ke wajahnya. Tapi dia memang tidak tahu apa yang harus diakuinya.
“Mengapa saya ditangkap?” Ia kuatkan juga bertanya, walaupun tidak sekali pun pertanyaan itu mendapat jawaban. Dua jam berada di ruang itu, serasa begitu tersiksa. Dalam hati ia terus bertanya “Manusia macam apa mereka ini?”
“Kamu teroris!” bisik salah satu diantara mereka tepat di lubang kupingnya. Mereka kemudian berlalu meninggalkan ia sendiri. Sepi.
Ia pun terperanjat alang kepalang. “Teroris?” hatinya bergidik. Sungguh tidak ia fahami kata-kata itu. Dituduh teroris? Kejahatan apa yang ia lakukan? Jenggot? Rasanya baru sebulan ini ia memanjangkan rambut dagu itu. Belum begitu subur walau telah menjuntai. Kopiah haji? Juga baru dibelikan isterinya beberapa minggu lalu. Sorban?
Dia mulai berpikir, satu-satunya alasan dirinya kini berada di ruang ini karena sorban itu. Sorban perama. Ya, itulah seumur hidupnya memakai sorban untuk pergi ke masjid. Shalat asyar. Dugaannya tidak salah lagi. Sorban yang kini terbuang di lantai sudut ruangan itu. Menjadi sampah bersama baju muslim biru kesayangannya itu. Pasti itu biang keroknya. Baju dan sorban itu kini diinjak dan dilecehkan! Dua jam sudah ia telanjang dada; diborgol. Ditatapnya nanar sorban itu, “kau membawa celaka!” bisiknya.
============
“Assalamualaikum, Say”
“Walikumsalam, Abi. Di mana?”
“Abi aman. Ummi gimana?”
“Nampaknya Muzakir hilang! Motor diangkut. Rumah digeledah. Tapi, Alhamdulillah ummi dan Khalaf aman.”
“Syukurlah. Yang penting aman dulu. Abi juga sudah di tempat aman. Kita lihat perkembangan dalam beberapa jam ini. Pantau saja lewat tv dan media online. Semoga Allah melindungi kita. Amin.”
“Amin. Ya, Abi. Jangan khawatir. Insya Allah, Allah bersama kita. Assalamua’alaikum”
“Walaikumsalam”
Tidak panik, karena ia yakin semua di tangan Allah. Namun tidak dapat ia tutupi rasa sedih, iba dan marah yang bercampur baur. Dia tidak sedih dan tidak pula takut akan kondisi isteri dan anaknya. Sama sekali tidak. Sungguh wanita itu di matanya adalah perempuan super yang dapat diandalkan. Panggilan sayangnya kepada wanita itu adalah ‘Say’. Itu bukan singkatan dari ‘sayang’ kaum alay saat ini. Ia ambil kata itu dari potongan nama salah seorang pejuang tangguh yang bernama Nusaybah Binti Ka’ab. Seorang wanita yang berani angkat pedang melawan musuh-musuh Islam di zaman Rasulullah. Jiwa itulah yang membara pada wanita yang ia nikahi beberapa tahun silam.
Di mana wanita itu bersama anaknya saat ini bersembunyi tidak menjadi pikirannya. Insya Allah aman. Satu-satunya yang menjadi pikirannya adalah Muzakir. Kalaulah sesuai dugaannya, Ia tahu persis apa yang sedang terjadi terhadap adik kandungnya itu. Tapi ia yakin Allah memiliki rencana di balik semua ini.
“Assalamualaikum. Maaf siapa ni?” suara diujung telfon
“Walaikumsalam. Maaf ustad, ini saya, Muslam. Sementara pakai nomor baru”
“Loh, bukannyaa…?” Ada keraguan tergambar.
“Ya. Ustad. Biarkan saja tv mau buat berita sesuka hati. Jika tidak keberatan saya mau bertemu. Gak enak lewat telfon diskusinya”
“Oke. ketemu di mana kita?”
Pertemuan rahasia itu pun kemudian direncanakan dengan sangat rapi. Muslam sengaja menyusun pertemuan dirinya dengan pengecara hebat itu. Pengecara yang selama ini banyak membela ummat muslim yang terzolimi. Ia tahu hanya sedikit saat ini pengecara yang benar-benar masih berdiri di garis kebenaran. Menegakkan yang ‘haq’ dan menghancurkan yang ‘bathil’ . Sedikit sekali. Tidak semu, tapi banyak diantara mereka yang menjadi budak, penjilat, dan bahkan pemerkosa keadilan. Betullah apa yang dikatakan Chris Hedges bahwa saat ini manusia hidup di tengah bangsa dimana para ‘lawyers destroy the justice, doctors destroy the health’. Gembala tu nian yang telah menjadi srigala; memangsa ternak yang dijaganya.
“Jadi siapa yang sebenarnya ditangkap itu?”
“Belum tau pasti, Ustad. Tapi Zakir sejak ashar tadi menghilang tanpa berita. Ustad tau, sampai saat ini mereka tidak pernah menunjukkan foto orang yang mereka tangkap”.
“Tapi namamu disebut-sebut?”
“Ya. Dua hari ini sebenarnya saya dan isteri tidak tidur di rumah. Saya ke luar kota. Isteri dan anak saya tidur di rumah sahabatnya. Kunci rumah kami titip tetangga. Kemaren, Zakir pamit numpang istirahat di rumah sebelum kembali ke kampung”
“Jadi yang mereka ambil itu Zakir?”
“Kemungkinan, Tad. Itulah mengapa saya ingin diskusi dengan ustad. Tidak mungkin saya yang datang langsung untuk memastikan siapa sebenarnya yang mereka ciduk. Karena…”
“Karena kau teroris! Ah, kejam kali orang-orang itu. Memberi label teroris sesuka hati” gumam pengecara Batak separoh baya itu. Pengecara sekaligus ustad.
Muslam hanya termenung sejenak mendengar kata ‘kejam’ tersebut. Ia memang tidak bisa lagi membedakan siapa yang kejam. Entah orang atau memang zaman yang kejam.
Lihatlah hidupnya selama dua tahun terakhir. Berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain. Dari satu kontrakan ke kontrakan lain. Hal ini ia lakukan sejak ia mengetahui bahwa dirinya adalah salah seorang yang menjadi buruan anti terror negeri ini. Namanya tercatat sebagai teroris. Teroris yang harus ditangkap dan dibunuh!
Kisah itu bermula sejak dua tahun lalu. Beberapa minggu setelah menikahi gadis ‘perkasa’ idamannya itu, ia bertekad untuk mendalami hobinya otak atik komputer. Berharap hobi ini dapat memenuhi nafkah sang isteri dan si buah hati. Benar saja, dia dipertemukan dengan orang yang dapat mengajarinya banyak hal tentang komputer. Ikutlah ia pelatihan servis komputer. Kebetulan saja, teman-teman itu juga aktif di sebuah kelompok pengajian. Dia tidak terlalu peduli dengan aliran-aliran yang ada. Baginya sederhana saja, mengikuti Al-Quran dan ajaran Rasulullah. Mengaji dan membina anak isteri. Sesederhana itulah isi kepalanya.
Tidak tanggung-tanggung, ia harus rela meninggalkan isteri tercinta pergi ke luar provinsi untuk mengikuti pelatihan itu. Di luar dugaannya, ternyata pelatihan yang tertutup itu tidak hanya mengajarinya tentang servis komputer tapi juga sampai pada merakit senjata api dan materi-materi dasar membuat bom. Waktu itu ia sangat kaget, tapi karena sudah terlanjur ikut, maka ia ikuti saja. Setelah seminggu ikut pelatihan, ia pun pulang dengan ilmu komputer yang didapat. Dengan ilmu itu pula ia kemudian membuka jasa servis komputer.
Waktu terus berjalan sampai kemudian ia menerima pesan dari salah satu kelompok pengajiannya. “Kita diburu. Hati-hati”. Benar saja, dia dapat informasi dari orang-orang yang dipercaya bahwa dirinya menjadi salah satu target.
Bagaimana ia menjelaskan semua ini? Ia sama sekali tidak ada niat untuk menjadi teroris. Niat saja tidak, apa lagi harus terlibat. Tapi waktu tidak bisa diputar ulang. Juga tidak ada lembaga tempat mengadukan masalah semacam ini. Tinggallah ia menikmati perburuan orang-orang yang mungkin juga tidak tahu mengapa harus memburu dirinya. Persis seperti dulu. Ketika zaman otoriter berkuasa, orang yang terlanjur dicap PKI harus meregang nyawa. Tidak ada wadah untuk mengklarifikasi. PKI, bunuh! Sekarang juga. Teroris, bunuh! Tapi apakah mereka benar-benar teroris? Tidak peduli! Hukum berdiri di atas asumsi.
“Bisakah kita menghentikan kekejaman ini, Ustad?” sekedar melepas tanya kepada pengecara sekaligus sahabatnya itu.
“Hahaha…Rumput yang bergoyang pun kurasa takkan mau jawab”
“Saya minta bantuan Ustad. Pastikan siapa sebenarnya yang ditangkap. Jika memang Zakir, maka mohon ustad mendampinginya”
“Ok, nanti kita akan pelajari dan akan ambil langkah-langkah hukum dengan kawan-kawan pengecara lain. Kita lihat perkembangan malam ini. Ini kan belum 24 jam”
“Terima kasih, Ustad”
Itulah kesimpulan pertemuan ‘bawah tanah’ itu disamping beberapa hal penting dan rahasia yang dibahas.
=====
Muslam kembali ke tempat ‘persembunyian’. Ia tidak tidur dan terus memantau seluruh pergerakan yang terjadi. Ia menyaksikan rumahnya diobrak abrik melalu tv dan berita online. Tidak tanggung-tanggung, menjadi berita nasional. Beberapa tv nasional bahkan ada yang siaran langsung. Tapi, aneh tidak ada satupun yang menampilkan wajah teroris yang ditangkap itu.
Namanya betul-betul populer melalui berbagai media pemberitaan dengan inisial ‘M’. Sesekali ia tersenyum pada diri sendiri, lucu juga ada ‘teroris’ sedang menyaksikan dirinya sendiri ditangkap. “Dasar tolol!” gumamnya kecut.
Foto-foto rumah dan tempat servis komputernya mendadak populer seantero tanah air, mungkin juga dunia. “Lumayan, iklan gratis”. Biasa, berita penangkapan teroris selalu saja menjadi viral. Apa lagi jika ada yang ditembak mati. Prestasi! Anehnya, mengapa bom tetap meledak? “Ah, kecolongan” mereka beralibi.
Pukul dua malam. Dalam kondisi seperti ini, tidak mungkin bisa tenang. Menceritakan Zakir hilang kepada orang tuanya di kampung juga tidak mungkin. Biarlah mereka menikmati masa tua tanpa harus khawatir. Tidak tega menceritakan hal ini. Bahkan kedua orang tuanya pun tidak tahu jika dia dan keluarganya menjadi buruan. Paling, jika pindah rumah barulah ia kabari kedua orang tua di kampung.
Shalat malam dan membaca Al-Quran adalah hal yang dapat ia lakukan. Mengadu kepada Allah adalah cara terbaik. Suatu waktu pernah dia katakan pada isteri tercinta, “Say, jika pada akhirnya aku ditangkap dan harus dibunuh oleh mereka, ikhlaskan saja. Insya Allah, Allah ridho. Jaga anak kita. Jaga hafalan Al-Qurannya.” Jika sudah begitu, paling istrinya tersenyum. Indah sekali. Seperti malam ini. Senyum itu mengambang di langit-langit kamar bersama sinar tamaram rembulan dari jendela. “Abi, Allah telah siapkan yang terbaik untuk hidup ini. Syurga Allah yang kita impikan. La tahzan, imamku”.
Air mata pun menetes di pipinya. Apakah anaknya nanti juga akan mengalami hal yang sama? Sampai kapan ia diburu atas kesalah pahaman ini. Inginlah ia berteriak kepada semua orang ‘Aku bukan teroris!”. Siapa yang percaya?
Ia beranikan diri mengganti sim-card hp yang dari tadi sengaja ia matikan. Ada begitu banyak sms yang masuk dari sahabat-sahabat yang bertanya tentang dirinya. Ia tidak pedulikan kecuali salah satu dari sms tersebut. “Alhamdulillah, Bang. Saya baru sampai kampung. Maaf lambat ngabarin. Batrei HP habis. Tadi travelnya rusak lama sekali. Kunci rumah dan kunci motor saya titip kembali ke Mas Tono”
Ia kaget. Zakir? Ah jangan-jangan para pemburu itu mengelabui dirinya. Tunggu dulu, keyakinannya kuat, itu sms Zakir. Jika begitu, siapa yang ditangkap? Inisial ‘M’?
Mungkinkah ‘M’ itu singkatan dari Malaikat?
“Luar biasa, di negeri ini, ternyata malaikat pun tidak luput dari kejaran pemburu teroris” gumamnya sambil menghirup nafas lega. Keluarganya aman.
====
EPILOG:
“Ngaku tidak?”
“Betul, Pak. Saya akui”
“Nah gitu dong. Jika tidak mau ngaku, sampai subuh nanti kamu tidak boleh tidur!”
“Gini, Pak. Saya mengakui. Saya memang salah. Saya meminjam motor Pak Muslam tanpa izin. Biasa juga gitu, Pak. Pak Muslam boleh bawa motornya kalo untuk shalat. Kunci rumahnya dititip dengan saya. Tapi pas saya habis shalat asyar tadi, tiba-tiba saya ditangkap”
“Nama kamu siapa?”
“Tono, Pak.”
“Bukan Muslam? Yang benar kamu!”
“Benar pak. Nama saya Tono. Saya tetangga Pak Muslam. Waktu shalat, saya tidak bawa KTP. Jadi saya gak membawa apa-apa. Waktu ditangkap juga tidak ditanya apa-apa. Tiba-tiba diborgol dan disuruh masuk mobil”
“Diam, kamu!”
“Menyesal saya, Pak. Atau, gara-gara pake sorban, saya ditangkap, Pak?”
“Diam Kamu!”
Sunyi dan mencekam.
Jambi, 1 Juni 2017
Discussion about this post