“Cintaku di Kampus Biru”. Begitulah judul novel buah karya Ashadi Siregar yang belum separo ia lalui halaman demi halamanya. Kisah petualang cinta di novel itu ternyata begitu hambar baginya saat ini, padahal biasanya kalau membaca kisah-kisah cinta anak manusia seperti itu bisa menghabiskan waktunya berhari-hari. Ya itulah hobinya sejak SMP dulu. Tidak jarang pula ia lupa makan bila sudah dihadapkan pada cerpen-cerpen ‘Aneka Yess’. Ia terkadang sangat menikmati kisah-kisah pop seperti itu. Tapi tidak saat ini.
Walau hari kini tidak lagi senja namun ia belum juga bisa tertidur. Setengah jam sudah ia melototi novel itu tapi yang terbaca tidak lebih dari lima halaman.
“Buku, cinta, dan pesta adalah hal yang tak kan pernah terlepas dari kehidupan seorang mahasiswa.” Begitu terikrar pada novel itu.
Adalah benar dan mungkin itulah yang membuat hatinya gundah malam ini. Cinta terkadang memang terlalu abstrak. Tapi cinta tak kan pernah habis ditambang, digali, dan juga dinikmati. Itulah uniknya cinta. Ia akan selalu ada dan ada selagi manusia punya hati. Dan cinta itu pulalah yang paling sering menjungkir balik hati, bahkan dalam sekejap ia mampu merobah suasana hati seseorang. Begitu pulalah suasana hati Andra saat ini. suasana hatinya susah ditebak oleh siapa pun bahkan mungkin ia sendiri tak dapat menerjemahkannya. Kadang senyam-senyum, kadang jidatnya berkerut. Kadang tertawa, tapi juga mukanya merah marah sambil mengepal-ngepal tinju seakan mau memukul apa saja yang ada di depannya.
“Gbraaaa ….aaak”. meja itu hampir jebol menerima pukulannya. Ya meja belajar itulah yang jadi sasaran untuk menyalurkan energi amarahnya. Ia benar-benar kesal nampaknya.
“Busyeet!!! Masak aku dikerjain? Untung Iis percaya, kalau tidak? Sms itu pastilah akan menjadi mala petaka!”. Gumamnya diikuti senyum sinis tanpa arti.
Ooo..ternyata itu. Sms ‘istimewa’ itu memang telah banyak menyita waktunya belakangan ini. Tidak jarang ia senyum-senyum sendiri dan anehnya dalam waktu bersamaan ia juga nampak kalut merasa bersalah, senyum itu pun jadi getir. Mungkin lebih tepatnya inilah yang disebut senang bercampur gundah.
Kisah itu berawal dua minggu lalu. Sepulang kuliah ia dapatkan sederet angka yang baginya angka-angka itu terlalu sulit untuk dieja apalagi dihapal.
“Di buku pesan ada nomor telpon dari temanmu. Namanya…. Iis. Tadi ia telpon, tapi kamu lagi kuliah…”. Kata Budi sambil ngeloyor ke kamar mandi. Mandi sore ala anak kost. Tanpa pikir panjang ia pun berlari menuju meja telpon dan membuka buku pesan.
“Iis – UAD – Telp. 0817260… untuk Andra”. Berulang kali ia hapal angka-angka ‘mewah’ itu tapi nampaknya tak ada yang nempel di otaknya. Satu-satunya yang ada di benaknya adalah bayangan wajah manis, imut, manja sang pemberi nomor itu.
Iisrohli Irawati nama lengkap gadis Jawa itu. Mereka saling kenal saat mengikuti acara Musyawarah Kerja Nasional Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris se-Indonesia yang diselenggarakan oleh universitasnya. Ia sendiri adalah juga pembesar organisasi yang belum cukup terkenal itu.
“Mas aku boleh dong lebih kenal dan lebih dekat dengan Mas? Aku mau belajar banyak dari Mas….”
“Belajar tentang apa? aku ngerasa aku nggak punya apa-apa tuh yang dapat dipelajari, apalagi oleh gadis imut seperti Iis”. potong Andra seakan ngerayu yang membuat wajah gadis itu memerah.
“Ya apa ajalah… Boleh kan???”. Desak Iis manja.
Andra hanya tersenyum dan menunduk bahagia. Di dadanya ada dentuman jantung memukul-mukul dari dalam. Siapa sih yang nggak mau atau nggak bahagia bisa kenalan apalagi bisa lebih dekat dengan gadis semanis Iis, kata batinnya. Ingin rasanya melompat-lompat kegirangan waktu itu, tapi tentu saja sebagai pria bersahaja ia malu melakukan itu. Tepatnya bukan malu tapi gengsi dan harga diri. Ya begitulah Andra yang selalu menjaga harga dirinya walau terkadang ia harus membohongi kata batinnya sendiri.
Keputusan musyawarah selama dua hari itu tidak begitu menarik perhatiannya. Progja-progja yang dirumuskan para pengurus organisasi itu baginya biasa-biasa saja. Namun ternyata ada ‘program kerja’ yang lebih berkesan dan istimewa baginya sebagai hasil acara itu, yaitu Ia bahagia bisa kenal Iis, bisa ngobrol bareng, makan bareng, bercanda, ketawa, dan…. Entah apa lagi yang penting ia sangat bahagia dengan semua itu. Begitulah bagi Andra kenangan manis Muskernas itu berlalu.
Kini ia masih dengan kegundahan tak menentu, ia kembali melihat deretan kata-kata indah di novel itu. Namun tak sengaja matanya melihat setangkai mawar didampingi sebuah boneka kecil imut dan lucu hasil kerajinan tangan khas Jogja. Boneka itu tersenyum ramah di sisi meja belajarnya. Diraihnya dan ia perhatikan tulisan di ‘kaki’ boneka itu.
“February 14th, 2002. Happy Valentine’s Day, from Iis”
Memang boneka kecil itu adalah pemberian Iis pada malam penutupan Muskernas itu. Untuk kenang-kengan katanya. Hari itu pula berketepatan dengan hari Valentine. Kata orang adalah hari kasih sayang, tapi bagi Andra merupakan malam yang penuh kenangan. Mungkin tak terlupakan.
Terus mawar itu? Ya. Mawar merah muda itu sebenarnya adalah juga seberkas kenagan malam itu. Di kamar Andra memang selalu ada mawar, boneka, termasuk boneka imut dari Iis itu, dan sebilah pedang yang tajam. Bagi Andra mawar dan pedang sama tajamnya, dan sama lembutnya. Ia sangat terkesan dengan kedua benda itu. Terkadang sekuntum mawar lebih tajam dari sebilah pedang, hanya saja tergantung lagi siapa yang memainkannya.
Sekuntum mawar itu ia bungkus dengan rapi sekali dan dimasukkan kedalam tasnya dengan hati-hati. Mawar plastik yang ranum itu akan ia berikan untuk Iis. Ya setidaknya sebagai lambang persahabatan mereka. Tapi ternyata malam itu ia harus mengaku kalah. Ia kalah melawan angannya sendiri. Telah ia coba sekuat tenaga untuk mengeluarkan mawar itu dari dalam tasnya dan menyerahkannya untuk Iis. Entah kenapa tiba-tiba ia seakan diserang sejuta pertimbangan. Bagaimana kalau teman-teman tahu kalau ia memberikan mawar buat Iis? Pasti akan ada gosip nasional. Bagaimana kalau Iis tidak menerima mawar itu dan membuanganya ke selokan? Pasti akan menyakitkan! Bagaimana kalau….. ia lemah oleh pikirannya sendiri. Dan akhirnya mawar itu pun ia bawa pulang dan ia sandingkan dengan boneka mungil pemberian Iis itu.
Setelah acara itu lama memang mereka tidak saling kontak. Mereka sibuk dengan aktivitas mereka sendiri-sendiri. Maklum kampus mereka memang saling berjauhan, Andra di Gadjah Mada sedang Iis di ujung Jogja sana. Tak ada waktu untuk saling bertemu sampai akhirnya dua hari lalu Iis meninggalkan deretan nomer hp itu.
“Mas Yassin, pinjam hpnya dong aku mo nulis sms buat temanku”. Pinjam Andra malam itu.
“Pakai aja. Tu ambil sendiri di atas meja!”. Kata yang punya hp berbaik hati dengan teriakan dari kamar tetangga sebelah.
“Hah…. Pakai aja????”. Gumam Andra. Maklum dengan barang yang satu itu ia memang masih alergi. Masih asing baginya. Mimpilah baginya untuk megang benda mahal itu apa lagi memilikinya. Makan saja sering ngutang lebih-lebih di akhir bulan menjelang beasiswa atau gajinya keluar. Andra memang mahasiswa kebanyakan di kota ini. Semua kebutuhan kuliah termasuk kebutuhan hidupnmya ia cari sendiri karena memang tak mungkin mengharapkan kirman dari kampungnya. Hampir semua ‘profesi’ ia lakoni di kota ini sejak dari menjadi guru privat bahasa Inggris hingga penjual koran di perempatan jalan.
Dia adalah anak seorang petani miskin di sudut Pulau Sumatra sana. Hidup mereka jauh dari bau kemewahan. Hidup sehari-hari penuh dengan kesusahan, dapat sehari untuk makan sehari, gali lobang tutup lobang di akhir bulan. Tapi di sisi lain ia juga bangga karena terbukti ia mampu menghadapi segala tantangan dan problematika kehidupan di kota pelajar ini. Bangga ia bisa menghidupi dirinya sendiri. Harga diri dan prinsip untuk tidak jadi pengemis intelektual pada orang tua selalu ia jaga. Bahkan sejak SMU pun ia tidak lagi mau jadi pengemis seperti itu, gengsi katanya untuk menadahkan tangan mengharap belas kasihan orang tuanya. Ia memang tangguh dalam mempertahankan harga dirinya dalam segala hal.
Satu dua tombol kecil-kecil itu ia tekan dengan hati-hati. Ia baru mencoba nyusun huruf itu jadi kata.
“Kalau nggak bisa ngomong doooong! Dari tadi Cuma seginiii? Dasar gaptek”. Umpat si empu hp sambil menyambar Siemens mungil itu.
“Hai apa kabar? Iis dimana?”. Cuma itu baru yang sempat ia tulis.
“Ayo lanjutin mo nulis apa lagi nih, biar tak tulisin”.
Ia pun melanjutkan dengan mendiktekannya dan jari Mas Yassin pun menari erotis di atas tombol-tombol telajang itu, dari satu tombol ke tombol lain.
“Di Jogja Ya? Aku kangen berat nich…. from Bryandra.” Ternyata hanya itu yang ingin ia sampaikan. Maklum hp minjam, tau diri lah masak harus ngomung panjang lebar?
Tiga hari berlalu dan balasan sms yang ia tunggu-tunggu tak pernah ada. Nyaris bosan si empunya hp ditanyain m’lulu. Ia pun mulai bertanya-tanya dan curiga. Sibukkah Iis hingga tak bisa nulis barang sebuah kat untuknya? Atau Iis tak suka dengan sms itu? Trus kenapa ia ninggalin no hp itu kalu dia nggak mau dihubungi? Bahkan beberapa kali ia coba hubungi langsung, tapi selalu tersambung pada mail box.
“Kamu kok nekat Ndra? Kok bisa-bisanya kamu ngomong gitu. Kamu kebelet ya? Kamu sering mainin cewek ya atau sekarang kamu lagi nyari korban? Udah berapa tuh korbannya? Eh tau nggak……”. Ika sahabat karib Iis yang dihubunginya nyerocos dengan sejuta pertanyaan itu. Iis pasti udah cerita pada Ika kalau aku kirim sms. Tapi Andra bingung. Mukanya bak ditampar ratusan kali oleh pertanyaan-pertanyaan yang tidak ia mengerti maksud pertanyaan itu. Ia mencoba memutar balik otaknya mengingat-ingat kembali isi sms itu. Rasanya tidak ada kata-kata yang kira-kira bisa menyinggung perasaan. Isinya biasa aja tuh!
“Atau…. Jangan-jangan kata ‘kangen berat’ itu yang Iis tidak suka? Ah masak sih…”. Ia seakan tak percaya.
“Hey… jangan diam… bengong ya..? nggak usah gugup. Santai ajalah….”. Ika masih di ujung sana.
“Ika… eh.. sebenarnya apa sih yang Iis tidak senang atau yang membuat ia tersinggung?”
“Kamu pura-pura lupa atau emang udah pikun?”
“Nggak kok, Ka. Aku serius nich. ‘Aku kangen berat’ itu ya yang Iis tidak suka?”
“Nggak hanya itu, kamu terlalu nafsu kok, Ndra. Masak baru kenal aja kamu udah berani bilang cinta, sayang, rindu, dan berani-beraninya ngelarang Iis pacaran. Emang..……..”
“Sebegitu panjangkah sms itu???” tanya Andra semakin penasaran.
“Ah… nggak usah kura-kura dalam perahu lah…. Iis udah cerita kok!”
“Tapi…..”
“Eh.. gini aja, tadi Iis ninggalin nomer hp-nya yang baru. Kalau yang kamu kirimin sms itu, itu hp temannya. Nih catat baik-baik…..”. selesai mendiktekan nomor panjang itu ia pun mengakhiri sambungan itu.
Kertas kecil itu masih ditangannya. Ingin rasanya ia langsung menghubungi nomor-nomor itu, tapi tiba-tiba ia ingat uang di kantongnya kini tinggal enam ribu perak. Cukupkah uang sedikit itu? Bagaimana makan besok? Haruskah ngutang lagi ama Heri?
“Ah… persetan dengan semua itu, yang penting aku bisa ngejelasin yang sebenarnya ke Iis.” Ia pun kembali ke bilik telpon itu.
“Mas, seharusnya banyak belajar lagi tentang hati cewek. Tapi nggak ‘pa-’pa kok. Semula aku emang merasa gimanaaa… gitu! Aku tesinggung. Segitu mudahkah mas mengumbar kata-kata itu? Sebegitu cepatkah? Dan satu yang aku nggak terima, mas bilang kalau aku harus nepati janji kita, emang kita pernah janji apa? aku….”
“Is, tunggu dulu, aku nggak pernah….”
“O ya Mas kini Ibu diopname jadi aku harus kerumah sakit sekarang. Besok lagi ya kita sambung. O ya Kamis kan kita ada rapat di UNY, rapat pengurus pusat. Mas datang kan? OK, kita ketemu di sana aja ya.. ‘slamua’laikuuum”
Betapa gundah hati Andra saat itu. Ia tak sempat menjawab salam itu. Ia tetap mematung di sana sambil m’lototi rupiah di hadapannya itu. Tentu saja angka-angka itu telah mengincar isi dompetnya yang tak seberapa itu. Lima ribu empat ratus rupiah.
“Lumayan masih tersisa enam ratus rupiah sebagai jimat agar dompetnya nggak kering kerontang”. Bisiknya sambil menghibur hatinya yang tak menentu.
Pertanyaan-pertanyaan tentang sms itu silih berganti di benaknya. Siapa yang nambah kata-kata itu? Dari mana asalnya? Mas Yassin?? Ah.. nggak mungkin karena ia melihat betul isi sms itu sebelum kemudian dikirim. Trus siapa????
Ia ingat pengakuan Ika barusan bahwa nomer hp yang dituju sms itu adalah miliknya teman Iis. Berarti sms itu tidak diterima langsung oleh Iis. Mungkinkah teman Iis yang mengarang indah nyambung sms itu? Tak ada alasan baginya untuk menuduh demikian.
Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu datang juga. Hari ini, hari kamis, rapat pengurus himabsii. Hari ini pun baru saja ia lewati. Tadi ia harus rela mengorbankan satu mata kuliah pentingnya hanya untuk menghadiri rapat itu. Tepatnya bukan rapat itu tapi hanya ada satu tujuan yaitu bertemu Iis. Ia sampai di ruang rapat setengah jam lebih awal dari waktu yang ada pada undangan dengan harapan ia bisa ketemu Iis lebih cepat. Tapi ternyata Iis bersama Ika datang tepat waktu. Mereka datang tiga menit sebelum rapat dimulai.
Rapat beru berjalan setengah jam tapi terasa begitu lama bagi Andra. Ia sedikit pun tak pernah konsentrasi pada rapat itu. Ia tidak seperti biasa yang selalu menguasai rapat dengan ide-ide briliannya. Ia ingin rapat itu cepat-cepat berakhir. Ia ingin jelasin segala-galanya. Ia ingin Iis tahu kalau ia tak pernah……
“Aku percaya kok, Mas. Lupakan sajalah masalah itu. Anggaplah sebuah pelajaran pahit untuk kita semua. Dannnn….. kalau pun benar kata-kata itu Mas yang nulis, tentulah itu hak Mas. Sebenarnya aku juga nggak perlu tersinggung, marah, benci, tapi….”. ia terdiam dan entah apa yang ada di benaknya saat itu.
“Is, aku ngggak ngerti harus ngomong apa lagi. Makasih banyak atas kepercayaan Iis. Thanks Is.” Mereka pun bangkit dan melangkah bersama keluar ruangan itu.
Kata-kata Iis barusan cukuplah melegakan hatinya. Iis nampaknya benar-benar mempercayainya. Tapi cukupkah itu? Benarkah Iis sungguh-sungguh percayaa keterangannya? atau hanya pura-pura percaya??
Rapat telah lama berakhir dan anggota rapatpun telah ngacir entah kemana. Andra tersenyum membalas lambaian tangan perpisahan dari Iis yang menderu naik supra seri terbarunya. Ya. Iis naik motor sedang ia hanya jalan kaki. Perbedaan itu membentang luas bak Selat Sunda yang memisahkan Sumatra dan Jawa . Iis punya hp sedang Andra sibuk mikirin uang makan harus ngutang pada siapa. Iis tinggal tancap gas, sedang ia hanya mampu menapaki lorong-lorong sempit kota ini. Tak cukup duit hanya untuk nyetop bus kota atau becak.
Perbedaan-perbedaan itu terpatri sudah dalam pikirannya. Ia harus menghadapi fakta bukan mimpi. Mereka, sekali lagi memang jauh berbeda. Jadi adalah konsekwensi logis dan wajar kalau Iis tersinggung dengan kata- kata itu, walau sebenarnya bukan dari Andra. Mungkin Iis tersinggung karena bagaimana bisa si Melarat itu nulis kata-kata cinta, sayang, rindu pada gadis manis borjuis sekelas Iis. Teranglah di benak Andra sebuah sintesis bahwa sebenarnya bukan kata-kata itu yang membuat Iis tersinggung, tapi orang yang mengucapkannya itulah yang tidak tepat, nggak selevel!!
Kini malam benar-benar telah larut. Kota Jogja telah membisu. Lelah, letih, dan capai kini mulai dirasakannya. Hari yang melelahkan telah ia lewati. Perlahan ia tutup novel kehidupan itu. Tertupup, perlahan tapi pasti seakan ia takkan mampu membukanya lagi. Ia pejamkan matanya di karpet platik lusuh itu sembari tersenyum menjemput mimpi. Ya hanya mimpilah yang mampu menyatukan sendi-sendi perbedaan mereka dan menguak misteri sms itu. Akankah ia melupakan gadis manis itu? Entahlah.. setidaknya biarkanlah cerita ini menjadi kisah klasik untuk masa depan#
# B a h r e n #
Yogya, 7 April 2002
Discussion about this post