Oleh: Bahren Nurdin, MA
Lagi dan lagi sejumlah siswa ditangkap Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Jambi karena berada di warung internet (warnet) dan penyewaan ‘Play Station’ pada saat jam sekolah alias bolos. Seharusnya mereka sibuk dengan pelajaran di dalam kelas bersama teman-teman, tapi malah keluyuran menghabiskan waktu sia-sia. Padahal, di tangan merekalah nantinya estapet pembangunan bangsa ini akan dilanjutakan. Apa yang salah?
Selama ini penanganan siswa yang bolos selalu berorientasi hukuman. Satpol PP menangkap mereka dan kemudian dikembalikan kepada orang tua. Tidak jarang pula mereka digelandang layaknya kaum kriminal. Diminta buka baju, jongkok (kadang tiduran) di lapangan, dan dipermalukan. Diharapkan dari perlakuan (hukuman) semacam ini akan menimbulkan efek jera. Mereka kapok dan tidak akan mengulanginya lagi.
Benarkah demikian? Perlu dikaji ulang! Seberapa efektifkah hukuman yang diberikan kepada siswa yang suka bolos untuk merubah prilaku mereka menjadi lebih baik? Atau jangan-jangan dengan proses ini pula mereka semakin menjadi-jadi. Maka untuk penanganan siswa yang bolos saya rasa tidak bisa disamakan dengan penangkapan terhadap pelanggar hukum lainnya. Merekalah harapan bangsa ini.
Harus dilihat secara komprehensif. Paling tidak ada tiga komponen besar yang sangat berperan dalam menentukan prilaku siswa yaitu orang tua (keluarga), sekolah dan lingkungan. Ketika ada seroang siswa yang tertangkap bolos maka ketiga komponen ini harus duduk bersama untuk mengkaji secara mendalam di bagian mana yang harus dibenahi. Ingat, terkadang seorang siswa bolos atau melakukan kejahatan lainnya bukan karena kehendaknya tetapi ada faktor-faktor luar yang ‘memaksanya’ melakukan itu.
Sudah saatnya mempertanyakan pola asuh orang tua terhadap anak. Orang tua (keluarga) memiliki peran sentral dan vital dalam membentuk prilaku seorang anak. Dalam berbagai seminar parenting, saya selalu tegaskan, jika ada anak yang suka bolos, coba cek kondisi keluarganya. Coba lihat pola asuh yang ia dapatkan. Coba pelajari hubungan anak dan orang tua juga anggota keluarga lainnya. Coba pastikan apakah ia mendapatkan kasih sayang yang sepantasnya ia terima. Perlu penelusuran lebih komprehensif.
Saya rasa hal ini yang abai dilakukan. Salama ini, jika ada siswa yang bolos maka dosa dan kesalahan itu mutlak dibebankan kepada dirinya tanpa melihat faktor-faktor penyebabnya. Padahal, jangan-jangan ia tumbuh di tengah keluarga yang tidak harmonis (broken home). Atau ia tidak mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya sehingga harus mencari ‘kesenangan’ dengan bermain dan keluyuran.
Jika begitu, seharunya Satpol PP tidak hanya menangkap siswa yang bolos tapi juga ‘menghukum’ orang tua yang ternyata ‘gagal’ memberikan pola asuh yang baik terhadap anak. Maka perlu bagi Satpol PP untuk mendapatkan informasi seluas-luasnya tentang pola asuh keluarga tersebut. “Tangkap’ dan ‘introgasi’ kedua orang tuanya. Jangan-jangan yang bermasalah itu adalah orang tuanya.
Akhirnya, hukuman, apalagi dengan memperlakukan siswa bak kaum kriminal, tidak sepenuhnya akan merubah prilaku mereka menjadi lebih baik. Bahkan bisa-bisa sebaliknya. Dikhawatirkan, jika mereka benar-benar merasa dipojokkan, kehilangan harga diri, harapan, dan masa depan, maka mereka akan semakin terjerumus ke dalam kegiatan-kegiatan yang tidak baik. Jangan sampai masa depan bangsa ini jatuh ke tangan generasi yang lemah. Maka diperlukan penanganan yang lebih komprehensif terhadap siswa yang bolos.
#BNODOC72032017
*Akademisi dan Master Hypno-Parenting. Tinggal di Jambi
sumber foto: google.com
Discussion about this post