Dua hari yang lalu saya rindu sekali dengan masakan tanah air. Seperti biasa saya suka makan di Kajang tepatnya Restoran Kajang Jaya, rumah makan masakan minang. Kajang adalah sebuah pusat kota kecil yang berdekatan dengan tempat tinggal saya dan sebagian besar pelajar Indonesia khusunya yang kuliah di Univeristas Kebangsaan. Di dalam restoran ini (restoran adalah sebutan ramah makan di Malaysia. Jadi sekecil apa pun rumah makan, disebut restoran) dapat saya pastikan 80% adalah orang Indonesia. Dari wajah-wajah mereka dapat dikenali mereka adalah pahlawan-pahlawan devisa yang sendang rindu tanah air dengan menikmati masakan minang. Dan 20% lagi adalah orang Malaysia ras India, China, dan Melayu. Kita harus sepakat bahwa rumah makan mampu meniadakan setimen kesukuan dan kepentingan politik paling tidak pada kasus ini.
Ketika saya sedang asyik menikmati potongan-potongan rendang dan sambal terong masakan minang itu, saya didatangi oleh seorang anak kecil berumur sekitar 10 tahunan. Anak kecil itu memakai pakaian melayu yang sedikit kumal dan berkopiah haji. Persis seperti anak peasntren. Di dalam genggamannya nampak beberapa lembar uang kertas bernilai satu ringgit dan beberapa koin. Dapat dikira jumlah uang yang ia pegang tidak lebih dari RM 10 (sekitar Rp. 30.000). Sebelum datang ke meja saya, dia sempat mendatangi beberapa meja tamu lain di rumah makan itu untuk meminta-minta. Ada yang memberi dan ada yang hanya mengangkat tangan sebagai isyarat “saya tidak mau memberimu”. Dia anak Malaysia yang sedang mengemis, alias meminta-minta.
Bagi saya pemandangan seperti ini tentu tidak lagi mengagetkan karena tentu saja kita sudah sangat terbiasa dengan pemandangan seperti ini di tanah air. Di Jambi saja contohnya, cukup anda berdiri di deretan konter hp di daerah Hotel Abadi, anda akan ‘diserbu’ oleh anak-anak seperti ini sambil membawa kotak amal. Ada yang mengatakan untuk infaq mesjid, anak yatim, panti asuhan dan lain-lain (suatu saat nanti saya akan adakan penelitian untuk mengetahui motive di balik semua itu, insya Allah). Namun ini di Malaysia yang katanya tingkat perekonomiannnya lebih baik paling tidak dibanding dengan Indonesia. Sebagai orang yang bergulat dengan ilmu-ilmu sosaial dan kemanusiaan, saya tertarik untuk menggali lebih jauh mengenai fenomena ini.
Ketika ia datang ke meja saya, saya undang dia duduk makan bersama. Ternyata dia tidak bersedia entah dengan alasan apa. Tapi ketika saya pesankan teh tarik (teh campur susu minuman khas Malaysia), dia menganggukkan kepala. Setelah saya bujuk dia akhirnya bersedia untuk berbagi cerita dengan saya. Dari perbincangan hampir satu jam ini saya banyak menggali kehidupannya. Namanya Muhammad Agus Salim. Berasal dari negeri Selangor. Ia telah lama ditinggal mati ayahnya. Sekarang ibunya sedang sakit. Dia mengemis untuk makan dan mengobati ibunya yang sedang sakit. Dia mengemis hanya hari sabtu dan minggu karena hari lain dia gunakan untuk sekolah. Saat saya tanya apa dia tidak pernah mendapat bantuan dari pihak kerajaan dia hanya geleng-geleng kepala. Dan banyak lagi cerita lugu Agus Salim yang cukup menyentil nilai-nilai humanistik kita.
Itu sepenggal kisah tentang Agus Salim. Dua minggu yang lalu saya menjelajah Malaysia dengan mendatangi daerah Chow Kit. Di sini ternyata banyak TKI dan TKW yang bermukim. Tapi bukan masalah itu yang ingin saya sampaikan di sini (suatu saat nanati saya akan ceritakan bagaimana kisah-kisah pejuang divisa ini di Chow Kit, dari persoalan pelacuran sampai pada makan-makan enak ala Indonesia). Masih tentang pengemis di Malaysia. Di daerha ini saya juga menemukan beberapa pengemis di pinggir jalan. Pertama saya menemukanya dua orang pengemis yang sedang berbaring di lantai jembatan layang. Dengan pakaian kumal dan menadahkan mangkok kepada setiap pejalan kaki yang ingin menyebrang menggunakan jembatan layang tersbut.
Selain di Chow Kit saya juga menemukan pengemis di daerah Petaling Street, Kuala Lumpur. Petalingg Street adalah tempat belanja barang-barang murah. Jika mau diambil gambaran persis sepeti Malioboro di Jogjakarata. Di sini dijual beraneka aksesoris dan pakaian juga makanan. Di sini pun saya menemukan paling tidak dua orang pengemis tua. Dari wajahnya dapat ditebak mereka bersukubangsaan china dan india.
Dari penemuan-penemuan ini saya hanya ingin menyampaikan kepada sidang pembaca bahwa di Malaysia pun ada pengemis. Jika keberadaan pengemis (termasuk juga tunawisma) di jadikan sebagai tolak ukur kemakmuran suatu bangsa, maka Malaysia pun belum makmur. Hipotesa ini tentu saja masih lemah dan belum dapat diertanggungjawabkan secara akdemik (perlu peneliitian lebih lanjut). Anggap saja tulisan ini semacam travel writing namun paling tidak saya telah berbagi sedikit informasi. “Di Malaysia juga ada pengemis lho…”, begitu kira-kira.
Discussion about this post