Kokok sijago tetangga baru saja membangun aku dari lamunan panjang terindahku, sore ini mendung tapi terkesan romantis dan redup. Novel “Ayat-ayat Cinta” masih tersisa beberapa halaman. Ya. sudah dua sore ini aku menghabiskan waktu diteras ini menelusuri novel cinta Islami yang luar biasa ini. Aku tidak pernah menyangka masih ada anak negeri ini yang mampu menghasilkan karya sastra seindah novel ’Ayat-ayat cinta’.
“Baca deh, kamu pasti suka,” dengan cueknya Ira memasukkan novel tebal itu ke dalam tasku sehabis kuliah dua hari lalu. Padahal Ira hapal benar kalo aku tidak suka membaca roman picisan novel-novel cinta. Aku lebih suka baca komik Sinchan ketimbang baca novel, apalagi novel cinta. “Cengeng.” kataku.
Sehabis mandi sore aku iseng mengambil novel itu dari tasku. Dari sampulnya dapat ditebak kalo novel itu hanya cocok untuk anak Rohis. Ya Ira memang aktivitis perempuan muslimah kampusku. Tak ada niat untuk membuka lembaran isinya, aku langsung saja membaca komentar para pembaca disampul belakang novel itu. Satu persatu komentar itu aku baca. Aku jadi penasaran bagaimana para sastrawan, ilmuwan, dan tokoh-tokoh intelektual berkomentar dengan luar biasa menyanjung isi novel ini. Aku seakan tak percaya.
Ketidakpercayaan itulah mendorong aku menelusuri halaman demi halaman novel itu. Sampailah sore ini tersisa tidak kurang sepuluh halaman lagi. Sudah dua hari ini hidupku benar-benar masuk dan terbuai alunan nada cinta dan kehidupan cerita novel ini.
Aku ingat kejadian kemaren siang, ketika aku pulang dari kampus. Sambil mendengarkan alunan musik dari tape mobilku aku terhanyut dalam lamunan panjang nan indah “Masih adalah cowok seperti Fahri di dunia ini?’ pertanyaan itu menghantui pikiranku. Fahri pemeran utama novel itu. Ya ia adalah sosok yang penuh wibawa, pekerja keras, bertanggung jawab, kuat menjalankan ibadah, memiliki visi yang jauh kedepan. Perjuangan hidupnya di tanah Arab sana membuat aku kagum luar biasa. Ialah mungkin cowok impian yang dinanti jutaan bidadari di surga Firdaus.
Untung jalanan kota ini masih sepi, jika tidak mungkin pertanyaan itu pastilah telah mengirimku ke rumah sakit atau lebih parah lagi ke kuburan.
“Fahri,Fahri…..”gumamku sambil tersenyum setelah menyerahkan uang tilang ke pak polisi yang menilangku karena di luar sadarku ternyata aku telah melabrak lampu merah perempatan jalan. Ya sekedar menyumbang tuk pengemis jalanan berseragam.
Masih adakah sosok Fahri di dunia ini? Andai ia nyata, jangankan ke Mesir, ke kutup mana pun akan kucari. Aku yakin Fahri telah menjadi jiwa yang langka di dunia ini. Bagaimana dengan Anto? Bayu? Deden? Atau Mahdy? Waw…. Jauh bangat bo’. Lima ratus kali liputnya cowok-cowok itu belum tentu bisa mendingi sosok Fahri.
Apa lagi Bayu. Ya, nama itu telah menorehkan catatan sejarah terburuk dalam hidupku. Kalau lah bisa, aku akan menghapus empat hurup itu dari jajaran abjad yang ada agar aku dan siapa pun tak lagi menegucapkan nama itu.
“Cici sayang, aku mencintaimu dengan segenap jiwaku”, begitulah ungkapan cinta Bayu waktu itu. Kami masih remaja ingusan kelas dua SMA. Aku sangat mencintai Bayu, kami menjalani kasih dan memadu asmara seperti ABG-ABG lainnya. Wajah dan senyum Bayu mengiringi denyut nadi dan hembusan nafasku. Dunia seakan kiamat bila kami tak bertemu barang sehari saja.
Bulan demi bulan berlalu akhirnya kami naik kelas tiga, alunan cinta kami milai di hiasi dengan nada-nada maksiat cinta; pegangan tangan, pelukan, bahkan kami mulai berani belajar ciuman. Aku jadi malu bila ingat bagaimana Fahri dan Aisya menjalin asmara. Jangankan untuk memegang tangan wanita yang bukan muhrimnya, melihat fotonya saja ia tidak berani. “Menghindari dosa” katanya. Maha Besar Allah. Fahri dan Aisya benar-benar telah memberi tontonan dan tuntunan bagaimana seharusnya remaja muslim menjalani hubungan asmara. Tidak ada larangan untuk mencintai lawan jenismu, tapi jalanilah sebagaimana tuntunan agama.
“Ci, maukah kau membuktikan ketulusan cintamu padaku” ? ucap Bayu malam itu. Ya bayu lebih suka memanggilku Cici walau orang tua dan teman-temanku lebih sukua memanggilku Citra. Aku kaget mendengar pertanyaan Bayu. Malam itu Papa dan Mama lagi Dinas Luar Kota. Sedangkan Kakak Sulungku Anti lagi betandang ke tempat temannya.
“Maksud Kamu” ? Tanyaku bloon
“Mau gak.??” kejar Bayu sambil memindahkan chanel TV dari stasiun satu ke stasiun lain.
Itulah awal mala petaka itu. Malam itu kami habiskan waktu berdua. Kami bercanda, bercumbu, dan tertawa. Tidur satu rumah dan satu kamar. Kakakku entah alasan apa harus nginap di tempat temannya.
Sejak malam itu, hidupku seakan tak berarti. Tawa malam itu terasa hampa dan getir. Sesuatu yang sangat berharga telah aku serahkan sia-sia. Hampir sebulan lamanya setiap hari aku menangis. Andai gulingku bisa bicara, pastilah ia akan membujukku. Penyesalanku tiada tara. Tapi dibalik kegalauan itu, aku masih bisa bersyukur aku tidak sampai hamil. Tidak satu orang pun tahu apa yang telah terjadi denganku kecuali Bayu. Tidak juga papa dan mama.
Janji yang pernah terucap ternyata hanyalah tipuan belaka. Sejak keberangkatannya ke Malaysia tuk melanjutkan kuliah, Bayu tidak sekalipun menghubungiku. Tak ada surat, tak ada e-mail, tak ada SMS, titip salam pada angin pun tidak. Bayu hilang ditelan dustanya.
Hidupku pun dari tahun ke tahun semakin hancur dibalik ketidaktahuan keluargaku. Beberapa kali aku ganti pacar dan beberapa kali pula aku menyerahkan tubuh dan jiwaku. Semua yang mereka minta sudah aku beri walau yang aku dapat tak lebih dari sebuah kecewa. Air mata tak lagi cukup menjadi ukuran betapa pedih dan menyesalnya aku ketika aku sadar telah ditiduri beberapa lelaki. Ya Allah Ampunilah Dosaku.
“Citra, kok kamu menangis seperti anak kecil begitu? Novelnya sedih ya ? Sejak kapan kamu suka baca novel?” Pertanayaan Mama bertubi-tubi membayarkan lamunanku. Aku baru sadar air mataku telah mengalir membasahi lembaran novel di pangkuanku.
“Oh….. Mama. Gak kok ma.. penasaran aja ama novel ini soale anak-anak di kampus pada bicara novel ini. Katanya bagus banget….” Kata ku terputus sambil menyeka air mata.
“Terus.., emang bagus..ya.? jadi kamu mulai suka baca novel nih…? kalo gitu minggu depan Mama ke Jakarta, pasti mama beliin novel yang bagus-bagus. Oke. Udah masuk sana, udah magrib ni” Mama pun berlalu meninggalkanku. Aku juga bangga ama mama yang selalu mencurahkan segala perhatiannya walau terkadang harus dibatasi oleh segala kesibukannya. Secara materi, kehidupan keluarga kami berkecukupan. Kami dua bersaudara. Papa dan Mama Pejabat Provinsi.
“Fahri… Fahri.” …. Gumamku sambil melangkah ke kamarku dan menaruh novel itu di atas spring bed. Masih tersisa beberapa halaman lagi.
Sebelum aku melangkah meninggalkan kamarku, HP Ku berdering tanda SMS Masuk. Aku ambil, dan aku merebahkan diri di sisi tempat tidur kesayanganku. Aku buka dan ada 2 SMS yang baru saja masuk dari nomor yang sama.
“Citra, Life is Like Playing a Game!!” SMS Pertama aku baca.
“Citra, hidup itu sepenuhnya ada di dalam genggaman tangan kita sendiri selain di dalam kekuasaan Allah. Masa lalumu nan kelabu hanyalah sepenggal kisah kehidupan. Tidak perlu kau tangisi, apa lagi kau sesali. Kuburlah kenangan pahit itu dalam-dalam dan jangan pernah dibongkar lagi. Citra yang manis … hidup itu ibarat bermain dan berlomba, kadang kalah, kadang kala menang. Citra … kalo kamu mau menang, siapkan strategi permainanmu dengan baik. Hidup kita melaju ke depan, bukan ke belakang ! Tataplah masa depanmu.! Ok. Semangat ya….”. Dua SMS itu dari pemuda yang menyebut dirinya Andra. Kami belum pernah bertemu.
Perkenalan kami melalui SMS memang masih misterius. Entah dari mana dia dapat nomor handphoneku. “Dari langit..!” katanya kala kutanya waktu itu. Tapi walau lewat SMS aku mulai kagum padanya. Kata-katanya penuh nasehat tapi aku tidak merasa digurui.
“Bang kapan kita bisa ketemuan..?” Tanyaku seminggu setelah kami saling SMS. Aku memanggilnya Abang walau aku tak tahu pasti umurnya berapa.
“Terkadang pertemuan kata dan jiwa jauh lebih bermakna dari pada pertemuan raga” balasnya. Aku pun kehabisan cara untuk memintanya.
Seperti apa Andra ? entahlah, paling tidak sejak SMS pertama hingga hari ini aku merasa terlahir kembali. Aku diberi energi yang sangat besar oleh Fahri dan Andra.. Fahri tokoh ideal cowok impianku dan Andra cowok misterius anugerah Tuhan pembangkit semangatku.
Pernah aku bertanya pendapatnya tentang makna kesucian untuk malam pertama bagi seorang cowok. Ia balas SMS ku.
“Citra, kesucian yang diharapkan pada malam pertama itu sesungguhnya adalah kesucian roh dan jiwa kedua insan itu. Kesucian roh dan jiwa keduanya untuk menutup masa lalu dan membuka babak kehidupan yang baru. Untuk apa kau serahkan kesucian dan perawanmu dimalam pertama tapi dimalam-malam selanjutnya kau lacurkan roh dan jiwamu kepada orang lain. Kau kotori jiwamu dengan kebencian pada suamimu. Kau lacurkan cinta dan sayangmu hingga tak kau serahkan pada anak-anak mu. Kau lacurkan keiklasan mu hingga tak kauberikan pada pelayanan dan pengabdian pada suami mu. ….. untuk apa” ?
Aku bagai mendapat setetes embun bening ditengah gersangnya jiwaku. Aku semakin sadar bahwa hilanggnya kesucianku beberapa tahun silam bukan alasan bagiku untuk menghancurkan mimpi-mimpi. Aku berjanji akan bangkit dengan segenap jiwaku.
Akankah Andra Jelmaan Fahriku ? (Bhn)
Jambi, 31 Juli 2006
Discussion about this post