Oleh: Bahren Nurdin, MA
Saya bukan penulis. Tapi saya adalah orang yang sangat tertarik dengan dunia tulis menulis. Saya sejak lama telah termotivasi oleh kata-kata Pramoedya Ananta Toer yang mengatakan “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Nah, jika tidak menulis, orang pintar setinggi langit saja bisa hilang dari sejarah, apa lagi saya yang tidak pintar.
Maka saya memiliki mindset sendiri tentang dunia tulis menulis. Jalan pikiran (mindset) yang saya bangun agak sedikit berbeda dari apa yang dimiliki oleh (sebagian) kawan-kawan akademisi. Di dunia akademik, saya memang mendapat ‘tantangan’ besar bahkan boleh disebut penolakan dari kawan-kawan akademisi. Mindset yang mereka bangun adalah ‘penulis hebat itu adalah mereka yang artikelnya diterbitkan di jurnal internasional’. Jika tidak, itu pasti tulisan atau artikel ecek-ecek, tidak berkelas, kacangan, dan ‘sampah’.
Bagi saya, sebuah artikel (atau bahkan buku) tidak dilihat dari di mana diterbitkanya atau apa penerbitnya, tapi seberapa bermanfaat bagi orang lain (pembaca). Terkesan prakmatis. Ya, buat saya sepotong artikel ‘ecek-ecek’ yang mampu menggerakkan orang untuk berbuat lebih baik, itu lebih tinggi nilainya dibanding sebuah artikel ilmiah di jurnal internasional yang tidak pernah dikutip dan menjadi hiasan di perpustakaan. Atau, hanya sekedar dijadikan syarat administratif untuk naik pangkat.
Dengan mindset ini kemudian saya menulis saja walau hanya melahirkan artikel ‘kecil’ berdurasi 400 sampai dengan 700 kata. ‘Besar’ dan ‘kecil’ sesungguhnya sangat relatif. Saya hanya berharap artikel-artikel kecil yang saya tulis akan mendatangkan manfaat yang besar. Jika pun tidak bermanfaat buat orang lain, minimal untuk diri saya sendiri sebagai wadah untuk menyalurkan ide dan pendapat terhadap sebuah realita kehidupan. Tulisan-tulisan kecil saya selalu memotret realitas sosial yang dikemas dalam sebuah opini.
Ada juga yang bertanya, bagaimana cara menulis artikel opini? Saya tidak berani mengajari karena saya sendiri sedang belajar – ilmu masih dangkal, pengalaman pun belum punya. Namun, sekedar berbagi cerita saja, ada beberapa catatan yang mungkin dapat saya kongsikan.
Pertama, konsep dasar belajar dan memulai menulis itu adalah dengan menulis. Maka saya rumuskan “cara terbaik belajar menulis itu adalah menulis”. Tidak ada teori atau cara yang lebih baik dari itu. Mau ikut pelatihan menulis beberapa kali, atau mendapatkan materi dari penulis kelas dunia sekali pun, jika tidak memulai menulis, maka tidak akan pernah melahirkan kata sebagai tulisan. Menulislah!
Kedua, tantangan melawan diri sendiri. Tantangan terberat dalam menulis itu sesungguhnya melawan diri sendiri. Ya, kan? Saya pastikan jawaban anda, ‘ya’. Memang itulah faktanya yang sering saya dapatkan dari kawan-kawan yang ingin mencoba menulis. Maka saya rumuskan, “tantangan terberat menulis itu adalah saya harus menulis ketika sedang tidak ‘berselera’ untuk menulis dan tidak ada ide untuk ditulis. Tapi saya harus menulis”.
Jika begitu, kata kuncinya adalah memaksa diri sendiri. Seberapa tega terhadap diri sendiri untuk dipaksa berada di depan laptop merangkai kata-kata. Paksa, jika perlu hukum diri sendiri!
Ketiga, rumusan teknis. Artikel singkat yang biasa saya tulis umumnya memiliki struktur yang sederhana. Pengantar tulisan saya rumuskan dengan menggambarkan apa (what), siapa (who), kapan (when) atau di mana (where). Kadang tidak semua unsur ini saya jadikan pengantar. Artinya, unsur-unsur ini sebenarnya dapat dijadikan ‘guideline’ untuk mendeskripsikan topik yang hendak disampaikan. Artikel yang sedang anda baca saat ini minsalnya, hanya saya antarkan dengan apa (what), yaitu dunia tulis menulis. Saya sedikit menyelipkan siapa (who) dengan mengutif Pramoedya Ananta Toer sebagai penguatan ‘apa’ yang saya bahas’.
Bagian selanjutnya adalah ‘ mengapa’ (why). Bagian ini sebenarnya adalah inti dari sebuah opini. Memberikan jawaban atas pertanyaan ‘mengapa’ sesungguhnya diperlukan analisis dan pendapat secara personal dan objektif. Personal artinya pendapat penulis pribadi dan objektif berbarti harus ‘netral’ dan tidak tendensius.
Pertanyaan ‘mengapa’ ini kemudian diikuti oleh jawaban dari pertanyaan ‘bagiamana’. Jawaban ini merupakan tawaran-tawaran solusi yang diberikan kepada pembaca atau pihak-pihak yang diperbincangkan. Isinya, sebaiknya ‘begini’ atau seharusnya ‘begitu’.
Akhirnya, semua orang bisa menulis; harus menulis! Nyatanya, setiap hari menulis di media sosial dengan update status. Bukankah apa yang ditulis di status itu adalah opini? Artinya, ide menulis sudah ada. Tinggal lagi mengorganisasikannya menjadi sebuah artikel. Selamat menulis. #BNODOC21605082017
*Akademisi UIN STS dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post