Oleh: Bahren Nurdin, MA
Kepemimpinan atau yang lebih kita kenal dengan istilah ‘leadership’ di berbagai level dan tingkatannya, dalam masyarakat Jambi telah digambarkan dalam seloko adat yang berbunyi:
Seorang pemimpin itu seperti
Kayu gedang di tengah padang
Daun rindang tempat berteduh
Dahannya tempat bergantung
Batang gedang tempat bersandar
Akarnyo kukuh tempat besilo
Kok pergi tempat betanyo
Kok balik tempat beberito
Seloko ini padat makna. ‘Kayu gedang di tengah padang’ (pohon besar di tengah padang yang luas) sebuah analogi yang sangat baik untuk menggambarkan seorang pemimpin dalam masyarakat. Dia adalah sosok ‘besar’ yang dapat dijadikan pelindung bagi masyarakatnya. ‘Besar’ dalam makna tidak hanya besar secara fisik (sehat jasmani), tapi juga hati dan jiwanya (rohani). Semua potensi yang ia miliki akan diserahkan sepenuhnya untuk masyarakat yang ia pimpin.
‘Daunnya rindang tempat berteduh’ adalah pesan yang mengisyaratkan bahwa pemimpin itu harus mampu menjadi pelindung, pengayom, dan member ketenangan, keamanan, juga kenyamanan bagi masyarakat. ‘Berteduh’ dapat diartikan berlindung dari segala ancaman yang datang baik panas, hujan, maupun ‘serangan’ dalam bentuk apa pun.
Makna lain dari kalimat ini adalah bahwa seorang pemimpin harus menciptakan kedamaian di tengah masyarakat. Pemimpin tidak boleh menimbulkan kegaduhan atau segala sesuatu yang membuat masyarakatnya khawatir dan cemas.
‘Dahannyo tempat bergantung’ dan ‘batang gedang tempat besandar’ merupakan perumpamaan yang utuh tentang peran dan fungsi seorang pemimpin. Seorang pemimpin memang harus menyediakan dirinya untuk ‘digantungi’ atau dijadikan ‘sandaran’ oleh masyarakatnya. Pemimpinlah orang yang dapat dijadikan pegangan bagi masyarakat.
Maka, pemimpin tidak boleh ‘cengeng’! ‘Cengeng’ dalam artian bahwa seorang pemimpin tidak boleh mengeluh dalam menghadapi segala persoalan yang dimiliki oleh masyarakat. Tidak boleh juga anti kritik. Memang tidak mudah untuk menjadi seorang pemimpin. Persoalan masyarakat itu banyak, sebanyak tingkah dan prilakunya pula. Dia akan memperhatikan kebutuhan masyarakatnya dari yang terkecil hingga yang terbesar. Dari yang serius hingga yang remeh temeh. Selayaknya lah, jika ada anggota masyarakat yang tidak makan karena tidak memiliki beras untuk dimasak, maka itu pun akan menjadi tanggung jawabnya.
‘Kok pergi tempat betanyo’ dan ‘Kok balik tempat beberito’ menjadikan pemimpin sebagai ‘guidance’ yang selalu member arahan-arahan juga nasehat-nasehat kepada masyarakatnya. ‘Pergi tempat betanyo’ digambarkan bahwa jika seseorang hendak melakukan perjalanan, ia bertanya atau meminta petunjuk mana saja jalan yang harus ia lewati, dan apa saja yang harus dilakukan dan dihindari selama di perjalanan. Ini tujuannya agar tidak tersesat atau mengalami kemalangan. Begitu juga halnya dengan ‘balik tempat beberito’ yang menjadikan pemimpin tempat menceritakan segala suka duka yang dihadapi. Pemimpinlah tempat masyarakat berkeluh kesah.
Hal ini sangat perlu dicatat bahwa seroang pemimpin tidak boleh menghindar dari masyarakatnya. Pemimpin itu harus mudah ditemui karena ia memang tempat ‘betanyo’ dan ‘beberito’. Bagaimana masyarakat hendak bertanya dan menyempaikan berita, jika pemimpinnya mengurung diri di dalam ‘istana’. Jika, Ia jauh dari masyarakatnya sendiri (untouchable), maka ini telah meyalahi adat kepemimpinan.
Maka dari itu, karena tugas dan fungsi seroang pemimpin itu tidak ringan, ia haruslah menjadi pribadi yang tangguh dan bijaksana. Ia akan dimuliakan dan dihormati jika mampu memberikan ‘pelayanan’ terbaik bagi masyarakat. Seorang pemimpin dalam masyarakat Jambi itu diberi hak istimewa yaitu; ‘Bercakap dulu sepatah. Berjalan dulu selangkah. Makan ngabisi, nyincang putus’.
Akhirnya, ‘raja alim raja disembah. Raja lalim raja disanggah’ artinya, pemimpin yang mampu mengayomi masyarakatnya dengan baik dan sungguh-sungguh akan diikuti dan dihormati. Sebaliknya, pemimpin yang zholim akan dimusuhi oleh rakyatnya sendiri.
#BNODOC11728042017
*Akademisi dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post