Oleh: Bahren Nurdin, MA
Seloko adat Jambi mengatakan;
Hiruk di ulu, dikeulukan
Hiruk di ilir, dikeilirkan
Hiruk di tengah, dikampungkan
Elok kampung karno yang tuo
Rame kampung karno yang mudo
Tuah kampung karno mupakat
Celako kampung sebab musakat
Sebagaimana pernah saya ulas pada artikel-artikel sebelumnya bahwa Seloko Adat Jambi tidak hanya memiliki kekayaan khasanah kebahasaan tetapi juga sarat akan nilai-nilai (pendididan, hukum, lingkungan/alam, keluarga, perkawinan, kepemimpinan, dll) dalam tatanan sosial kemasyarakatan. Setiap kata atau kalimat yang digunakan dapat dipastikan memiliki makna dan tujuan yang jelas untuk menyampaikan pesan-pesan atau aturan yang harus dilakukan oleh anggota masyarakat.
Seloko Adat Jambi harusnya hidup dan menjadi acuan bagi setiap orang yang menyebut dirinya orang Jambi. Acuan ini sangat jelas karena sumber hukum adat Jambi itu adalah Wahyu Allah (Al-Quran) yang termaktub dalam Seloko ‘Adat bersendi syara’, Syara’ bersendi kitabullah’ (adat berlandaskan agama (Islam), agama berlandaskan Al-Quran).
Pada konteks ini, saya ingin menggali Seloko di atas dengan mengambil studi kasus terjadinya ‘hiruk-pikuk’ pergantian enam ratusan pejabat eselon III dan IV di Provinsi Jambi baru-baru ini. Seloko ini sesungguhnya sangat baik untuk didalami bagi semua pihak untuk menempatkan persoalan ini secara porposional dan profesional. Ketahuilah bahwa Seloko Adat Jambi itu juga memiliki nilai-nilai objektivitas yang tinggi. Bebas kepentingan. Satu-satunya kepentingan yang terkandung di dalamnya adalah kemaslahatan setiap orang (ummat).
Seloko di atas memiliki tiga bahasan penting. Pertama, ‘Hiruk di ulu, dikeulukan. Hiruk di ilir, dikeirilkan. Hiruk ditengah, dikampungkan. ’Makna yang terkandung dalam kalimat ini adalah menempatkan persoalan pada tempat dan porsinya. Kata ‘hiruk’ mengacu pada persoalan atau masalah. Jika terjadi masalah ‘di hulu’ ya harus diselesaikan ‘di hulu’. Kata ‘di hulu’ tidak juga secara harfiah mengacu pada tempat atau lokasi (space), tapi adalah menempatkan sesuatu pada tempat dan takarannya. Jika tempatnya ‘di hulu’ ya tempatkanlah ‘di hulu’. Jangan di tempat lain.
Itu Artinya, jika terjadi ‘kasak-kusuk’ pada penempatan para pejabat eleson III dan IV yang lalu, masing-masing orang harus berani menempatkannya pada porsi yang baik. Maksudnya, sama-sama melihat dalil-dalil hukum dan perundang-undangan tentang aturan dan cara pengangkatan pejabat di lingkungan pemerintahan. Jika ternyata di dalamnya terjadi cacat hukum, maka harus diperkarakan secara hukum. Jika cacat administrasi, maka harus dibenahi dan ambil langkah-langkah adminstratif.
Kedua, ‘Elok kampung karno yang tuo. Rame kampung karno yang mudo’. Seloko ini mengajarkan kolaborasi antara kaum muda dan kaum tua. Kata ‘elok’ dalam kalimat ini mengacu pada tegaknya aturan-aturan yang berlaku di tengah masyarakat sehingga seluruh aspek kehidupan berjalan dengan baik tanpa kegaduhan. Dengan ini pula maka akan tercipta ketertiban, keunggulan, kenyamanan, ketangguhan, keadialan dan kesejahteraan.
Bagaimana pun para orang tua telah terlebih dahulu makan ‘asam garam’ kehidupan ini. Saya hanya khawatir, terjadinya kegaduhan dalam pemerintahan saat ini, karena para pemimpin negeri mulai meninggalkan peran orang tua. Memang secara aturan, pengangkatan dan pemberhentian pejabat adalah haknya Gubernur sebagai pimpinan tertinggi pemerintahan (eksekutif) dalam menjalankan roda pemerintahan. Namun demikian, seyogyanyalah adat gubernur mudo meminta pertimbangan dan masukan dari para tetua yang ada di Jambi ini. Jika ini dilakukan, saya yakin sesepuh Jambi seperti Datuk Zoerman Manaf tidak akan sampai ‘ibo ati’ di halaman Facebooknya.
Ketiga, ‘Tuah kampung karno mufakat. Celako kampung sebab musakat’. Perhatikan baik-baik pesan yang ada pada kalimat ini. Sangat dalam. ‘Tuah’ itu artinya keberuntungan, kemajuan, kehebatan, dan lain sebagainya. ‘Tuah’ itu ternyata hanya bisa dicapai dengan mufakat. Inilah nilai-nilai demokrasi yang hakiki. Jauh sebelum kata ‘demokrasi’ diperkenalkan kepada orang Indonesia, orang Jambi telah menanamkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sementara kata ‘celako’ memiliki makna kerugian atau mala petaka. ‘Celako’ terjadi jika hilangnya permusyawaratan dan keputusan diambil oleh orang-orang tertentu dengan niat jahat (musakat).
Pada konteks ini, sesungguhnya dalam pengangkatan dan penempatan pejabat telah dibentuk kelembagaannya yaitu Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat). Pertanyaanya, sudahkah badan ini difungsikan dengan maksimal sesuai dengan aturan-aturan yang ada? Badan inilah sesungguhnya yang akan membentengi terjadinya musakat dan saling sikat.
Akhirnya, ketika negeri Jambi ini hiruk, tidak ada salahnya kembali melihat dengan teliti petatah petitih yang telah ada sejak lama. Disana akan ditemukan ajaran dan kebijaksanaan. Majulah Negeri Jambi!
#BN10617042017
*AkademisidanPengamatSosialJambi
Discussion about this post