Oleh: Bahren Nurdin, MA
Seloko (Adat) Jambi, dalam Bahasa Indonesia juga dikenal dengan sebutan Seloka, adalah ungkapan-ungkapan bahasa adat yang padat dengan nilai-nilai, pesan etika, moral dan norma-norma yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat. Seloko boleh juga berupa petatah petitih, pantun, atau pribahasa. Namun yang perlu diingat, bahwa Seloko tidak hanya sekedar susunan kata yang enak didengar, ritme yang apik, atau sajak-sajak yang tersusun rapi, tapi yang lebih penting adalah pesan yang ada di dalamnya.
“Berat samo dipikul. Ringan samo dijinjing. Ke bukit samo mendaki. Ke lurah samo menurun. Ado samo dimakan, idak samo dicari. Seciap bak ayam, sedencing bak besi, sedekat bak batu, seletus bak bedil, sealun sorak, serentak bak ragam. Kok malang samo merugi, kok belabo samo mendapat. Terendam samo basah, terampai samo kering. Mudik serentak galah, hilir serengkuh dayung”. Seloko ini sangat syarat makna kebersamaan dalam hidup bermasyarakat. Inilah nilai persatuan dan kesatuan yang kokoh sejak lama diajarkan dan hidup ditengah masyarakat Jambi. Luar biasa!
Itulah mengapa Seloko itu keren. Ternyata seloko itu memiliki nilai-nilai edukasi yang kaya. Ungkapan-ungkapan pengajaran yang penuh makna jika kita mampu menggali, mempelajari, dan menerapkan arti yang terkandung dalamnya. Lebih keren lagi, ungkapan-ungkapan itu tetep berlaku sepanjang zaman, ‘tidak lapuk oleh hujan, tidak lekang oleh panas’.
Tapi mengapa Seloko tidak akrab dengan kekinian? Kesan yang timbul ketika berbicara Seloko itu adalah jadul (jaman dulu). Jika ada anak muda berbicara tentang Seloko, itu seolah terlalu ‘dewasa’. Agaknya pada poin ini saya sejak lama ingin sekali ‘meng-anak mudakan’ apa-apa yang ada pada adat dan budaya kita, khususnya Jambi. Banyak sebenarnya sumber kekayaan adat budaya yang hamper punah atau menuju kepunahan dari tahun ketahun. Ditengarai anak-anak muda tidak lagi peduli dan tidak ada yang mau mempelajarinya, sementara yang tua gugur satu per satu. Mereka gugur bersama terkuburnya adat budaya yang mereka miliki.
Terlepas dari pro dan kontra di awal kemunculannya, Ketoprak Humor dapat dijadikan contoh nyata bagaimana seni budaya harus bergerak menyesuaikan zaman. Saya yakin, jika tidak ada Ketoprak Humor, orang sudah tidak lagi mengenal kata ‘Ketoprak’. Ketoprak (Kethoprak) yang tadinya sangat ‘Jawa’, merupakan pementasan drama tradisional yang bertemakan legenda atau sejarah Jawa, menjadi begitu ‘cair’ dan disukai banyak orang (tidak hanya orang Jawa) ketika menjadi Ketoprak Humor.
Pemikiran semacam ini tidak salahnya kita pasangkan pada adat dan budaya di berbagai daerah. Maksud saya, bagaimana khasanah budaya yang kesannya ‘jadul’ dan ‘serius’ diubah sedemikian rupa menyesuaikan zaman sehingga tetap hidup dan berkembang khususnya dikalangan generasi muda. Tentu saja, perubahan itu tidak serta merta menghilangkan unsur-unsur utama dan nilai-nilai budaya yang ada.Dia tetap pada akarnya, tapi daun dan dahannya dibentuk sedemikian rupa.
Maka dari itu, diperlukan pemikiran yang mendalam bagaimana ‘memasarkan’ Seloko di kalangan generasi muda saat ini. Saya kira, Budak Jambi bukan tidak cinta dengan budaya Jambi tapi mereka tidak diperkenalkan. Mereka tidak mengenalnya karena mereka tidak suka karena kesannya ‘milik orang tua’. Jadi kalau begitu, agar mereka mengenal kekayaan budaya mereka sendiri, format dan kemasannya harus menarik dan menyesuaikan kehendak zaman. Itulah ‘adat bumbun menyelaro, adat padang kepanasan’. Setiap zaman ada adatnya!
Akhirnya, ‘api-api terbang malam // inggap di ujung jagung mudo // biar tujuh kali dunio karam // balik ke dusun jugo akhirnyo//. Bagaimana pun perkembangan zaman, secanggih apa pun teknologi yang datang, kemana pun budak Jambi terbang, namun adat budaya juga yang harus dia dipegang. Itulah ‘dusun’ terbaiknya. Anak muda Jambi, kito belajar Seloko yuk. Seloko itu keren, loh.
#BNODOC10213042017
*Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN STS Jambi.
Discussion about this post