Oleh: Bahren Nurdin, MA
Baiklah kita mengulang sedikit bunyi pasal 31 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Paling tidak me-refresh kembali ingatan kita akan tanggungjawab negara atas pendidikan rakyatnya di negeri ini. Pasal 31 ini memiliki 5 ayat, namun cukup kita bahas dua ayat saja yang menyangkut tema kali ini.
Perhatikan baik-baik ayat per ayat berikut ini. 1). Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. 2). Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Tafsir apa yang harus kita gunakan untuk memahami ayat-ayat di atas? Saya rasa kita tidak perlu menggunakan teori tafsir apa pun karena memang isinya sudah sangat terang lagi benderang. Kata-kata yang digunakan pun sangat lugas dan tegas. Maka dari itu, saya tidak ingin artikel ini kesannya sebagai tafsir belaka, tapi paling tidak ingin menyampaikan pesan dan opini untuk kita semua.
Pesan pada ayat pertama yang menyatakan bahwa siapa pun yang hidup di bumi pertiwi ini memiliki hak untuk mendapat pendidikan. Hak diartikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (kbbbi.web.id) sebagai milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dan sebagainya), kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat, wewenang menurut hukum. Jelas sudah bahwa pendidikan itu wajib dimiliki oleh setiap warga negara tanpa terkecuali.
Karena pendidikan itu merupakan hak maka boleh dituntut pada penyedia layanan yang sudah dibebankan oleh undang-undang yaitu negara. Jika ada warga negara yang tidak mendapatkan pendidikan karena kelalaian yang memberikan hak tersebut, maka itu artinya ada pihak yang telah merampas dan mengambilnya. Merampas hak orang lain itu berarti telah melanggar hukum.
Perhatikan pula pada pasal keduanya yang menyatakan bahwa ‘pemerintah (negara) wajib membiayainya’. Apa arti wajib? Harus dilakukan; tidak boleh tidak dilaksanakan (ditinggalkan). Tegas dan lugas. Tidak perlu titel dan jabatan tinggi untuk memahami perintah undang-undang ini. Artinya, masyarakat tidak boleh mengeluarkan biaya sepeser pun untuk mendapatkan ilmu pengetahuan (pendidikan dasar) di negeri ini. Semua ditanggung oleh negara; dari pendapatan dan belanja negara.
Faktanya? Sekolah yang disediakan oleh negara (sekolah negeri) tidak seimbang dengan jumlah anak-anak didik yang membutuhkannya. Jumlah kelahiran anak di Indonesia dari tahun ke tahun bertambah, sementara pembangunan sekolah oleh negara sangat lambat. Singkatnya, ‘kelahiran’ sekolah oleh negara kalah cepat dibanding angka pertumbuhan penduduk. Belum tentu kelahiran seribu anak diikuti kelahiran satu sekolah negeri.
Akibatnya, tanggung jawab negara tersebut diambil alih oleh masyarakat dengan menyediakan sekolah-sekolah swasta. Terlihat bagus karena masyarakat ikut serta membantu negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun yang menjadi masalah kemudian adalah berlakunya hukum ekonomi dan bisnis. Tujuan mulia ikut serta ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ sering kali kemudian berubah arah menjadi ladang bisnis yang sarat hukum kapitalisme dengan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Tidak semua, tapi rata-tata. Jadilah dunia pendidikan saat ini sebagai komuditas (jasa) yang diperjual-belikan sedemikian rupa. Pada akhirnya, orang tua menjerit hingga ke langit.
Terjunnya para pemodal (kaum kapital) dengan mendirikan sekolah-sekolah swasta dapat dipastikan merupakan gambaran nyata kegagalan pemerintah (negara) menyediakan pendidikan untuk rakyatnya. Kelalaian ini tidak hanya sampai di situ tapi juga sampai pada penetapan standar pendidikan yang dikelola oleh swasta tersebut. Lihat saja, berapa banyak sekolah swasta dengan seenaknya menetapkan biaya pendidikan. Fasilitas dan standar kelayakan penyelenggaraan satuan pendidikan sering luput dari pantauan. Negara abai!
Akhirnya, mengapa sekolah swasta menjamur? Karena pemerintah (negara) tidak mempu menyediakan sekolah negeri yang cukup untuk anak-anak bangsa ini. Negara telah lalai dan melanggar undang-undang. Titik!
#BNODOC18814072017
*Akademisi UIN STS Jambi dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post