Oleh: Bahren Nurdin, MA
Ketika menoleh ke kiri sembari mengucapkan salam, ‘Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh’, saat itulah tersadar bahwa salam itu adalah salam pamungkas witir terakhir di tahun ini. Ada yang membuncah di dada, air mata menetes jua, isak tangis menyesak, mengingat perpisahan itu begitu nyata di depan mata. Ramadhan yang dulu dirindu dan dinanti kini harus pamit. Beringsut bersama mentari esok, ia akan pergi dan tidak akan pernah kembali. Bak melepas kekasih hati yang kan pergi jauh sekali.
Ramadhan yang kini segera pergi bak sebuah kapal yang telah menaikkan jangkarnya. Semua persiapan sudah dilakukan. Waktu berlabuh selama satu bulan telah habis. Semua fasilitas yang diberikan segera ditutup. Sesiapa yang salama ini benar-benar menikmati fasilitas yang disediakan sudah harus turun tangga, kembali ke dermaga. Segera lambaikan tangan tanda perpisahan.
Sungguh haru dan deru di dada tak kan mungkin tertahankan. Ia yang selama ini ditunggu dan telah pula bersama selama sebulan penuh dengan segala bentuk kebersamaan harus pergi untuk selamanya. Tidak akan pernah kembali. Kepergiannya di magrib sore nanti akan diantar dengan takbir yang menggema. Tamid dan tahlil menusuk sukma. Lambat tapi pasti kapal itu beringsut pergi menuju ‘laut lepas’. Salam pamungkas di akhir witir tadi malam adalah kata perpisahan terindah.
Akankah Ramadhan ini kembali? Tidak akan pernah. Jika pun, tahun depan akan datang lagi bulan yang sama, tapi itu bukan Ramadhan yang berlalu. Inilah konsep waktu. Waktu yang telah terlewati, walau satu detik, ia tidak akan pernah kembali. Waktu yang kita temui setelahnya adalah waktu yang baru. Hari Jumat yang lalu tidak akan kembali. Jumat yang akan datang adalah Jumat yang baru, bukan Jumat yang lalu datang lagi. Waktu tidak pernah datang dua kali.
Inilah juga konsep waktu yang disampaikan Imam Al-Ghazali kepada murid-murinya. Beliau bertanya kepada para murid, “Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?”. Tidak ada diantara murid beliau yang bisa menjawab pertanyaan itu. Kemudian Beliau menjelaskan bahwa yang paling jauh itu adalah “masa lalu”. Masa lalulah yang paling jauh karena tidak satu orang pun diantara kita yang dapat kembali ke masa lalu. Satu detik yang baru saja berlalu pun kita tidak pernah bisa kembali. Ia akan menjauh menjuah dan menjuah.
Sampai-sampai Allah bersumpah demi waktu melalui Al-Quran pada surah Al-Ashr, “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan merugi (celaka), kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasehati dalam kebenaran, dan saling menasehati dalam kesabaran.” (Al ‘Ashr: 1-3). Seluruh manusia pada perinsipnya akan rugi dan celaka jika tidak mendapatkan pengecualian yang telah ditetapkan oleh Allah. Pada ayat ini, secara gamblang kita dapat melihat paling tidak ada tiga golongan pengecualian yaitu, beriman, beramal shalih, dan yang saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.
Bagaimana dengan ramadahan yang segera ‘berlayar’? Apakah keberadaannya selama ini telah kita isi dengan pengecualian tersebut? Apakah semua fasilitas, bonus, kemudahan, dan segala keagungannya yang selama ini ditawarkan sudah dimanfaatkan dengan baik? Atau kita baru tersadar di detik-detik perpisahan ini? Mematung di tepi darmaga menyaksikan ‘kapal’ ramadhan berangkat meninggalkan pantai. Air mata bercucuran mengingat kelalaian selama ini. Tidak seluruh fasilitas yang disediakan dimanfaatkan dengan maksimal. Kini, ingin rasanya kembali bersamanya tapi semua telah terlambat. Time is up! Waktu telah habis. Selama ini kemana aja? Tinggallah penyesalan tak terkira.
Akhirnya, tinggal beberapa jam saja ramadhan benar-benar berlalu, hilang dari pelupuk mata. Gema takbir malam ini akan mengentarkan kepergiannya untuk selamanya dan tak kan pernah kembali. Salam pamungkas di witir tadi malam adalah kata perpisahan yang tak kan terulang. Berderai air mata yang jatuh ke atas sajadah, ada sesak di dada membuncah sembari memanjatkan doa kepada Sang Pencipta, “Ya Rabb, kami ikhlaskan kepergian ramadhan ini, namun izinkan kami bertemu kembali Ramadhan tahun depan, amin”. Selamat Jalan, Ramadhan.
#BNODOC17424062017
*Akademisi dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post