Oleh: Bahren Nurdin, MA
Sabar itu mudah diucapkan tapi tidak gampang untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Enak menasehati orang lain untuk sabar, tapi terkadang berat sekali ketika harus menghadapinya sendiri. Lebih-lebih ketika harus sabar menghadapi orang-orang yang memusuhi. Sabar menghadapi setiap halangan dan rintangan yang menghadang.
Suatu ketika saya ditanya oleh seorang mahasiswa, “apa konsep sabar menurut Bapak?”. Bagi saya konsep sabar itu sederhana yaitu ‘enjoying the pain’ (menikmati rasa sakit). Belum dikatakan sabar seseorang jika ia belum mampu menikmati rasa sakit yang ia alami baik dari orang lain maupun dari keadaan yang ada. Dicaci, dimaki, dimusuhi, dihina, difitnah, dan direndahkan adalah kondisi-kondisi yang sangat menyakitkan. Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang rela dan ikhlas menerima hal ini kecuali dengan satu kata ‘sabar’. Pada konteks ini, sabar berarti menikmati rasa sakit yang diterima dari perlakuan-perlakuan tersebut tanpa mengeluh, marah dan melakukan perlawanan secara negatif.
Itulah mengapa sabar itu tidak mudah. Secara manusiawi, orang tidak akan tahan menerima perlakuan-perlakuan tersebut. Naluri manusia akan melakukan pemberontakan untuk melawan rasa sakit yang ia terima. Tapi bagi orang-orang yang memiliki kesabaran yang tinggi akan menikmati sakit itu dengan sangat positif dan mengambil hikmah untuk dirinya sendiri.
Sering kita mendengar bahwa ‘sabar itu ilmu tingkat tinggi, belajarnya setiap saat, latihannya juga sepanjang massa, dan ujiannya sering mendadak’. Maka Tuhan pun berfirman bahwa “Sesungguhnya Allah bersama dengan orang yang sabar” (QS Albaqarah:153). Jadi sabar itu ilmunya Allah. Allah tidak pernah membenci siapa pun walaupun jelas-jelas begitu banyak manusia di muka bumi ini yang mendurhakai-Nya.
Dalam konteks kekinian, saya ingin memasangkan ‘sabar’ dalam bermedia sosial. Akhir-akhir ini saya mengamati banyak sekali pertikaian-pertikaian yang terjadi di media sosial. Banyak orang yang tidak sungkan-sungkan lagi saling mencaci maki dan melontarkan kata-kata yang tidak pantas di media sosial terutama Facebook. Seakan menjadi biasa untuk memfitnah, mencaci, menghujat dan menyakiti orang lain di media sosial. Seolah-olah, jika di media sosial ‘gak papa’.
Saya pun beberapa kali menerima hal-hal tersebut. Rasanya saya tidak ingin menyakiti siapa pun dalam hidup ini. Artikel-artikel yang saya tulis masih dalam kerangka ‘bertawassi’ (saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran). Pesan-pesan yang ingin disampaikan dalam koridor untuk kemaslahatan bersama. Namun tidak jarang saya kemudian menerima ‘serangan’ balik dari orang-orang yang tidak menyukai itu. Saya pun kemudian dihujat, dicaci dimaki bahkan diancam. Bagaimana cara menghadapinya?
Pertama, diam. Dalam konteks bermedsos, ketika menghadapi orang-orang yang menguji kesabaran anda maka yang harus dilakukan adalah jauhkan tangan dari keyboard. Jangan ketik apa pun; diam. Sekali saja anda menulis sesuatu untuk menanggapinya maka tidak akan pernah selesai. Dengan tidak menanggapi diskusi-diskusi yang memojokkan anda, maka ia akan berhenti dengan sendirinya. Yakinlah!
Kedua, senyumin aja. Konsep ‘enjoying the pain’ menawarkan suatu keadaan yang ‘menyenangkan’ dalam menghadapi kepahitan. Jika sudah menyenangkan dapat dipastikan akan tersenyum. Jadi jika ada yang mencoba menempatkan anda dalam kondisi yang sangat negatif harus dilawan dengan positif. Senyum adalah salah satu ekspresi jiwa yang sangat positif juga bisa menularkan ‘aura’nya kepada orang lain. Kondisi yang positif akan akan memadamkan ‘api’ menyala-nyala yang sedang mereka kobarkan, termasuk dalam hal tulisan.
Akhirnya, menjadi sabar itu memang sangat ‘menantang’. Karena tidak mudahlah maka tidak banyak yang bisa melewatinya. Satu hal yang harus diingat, akan menempatkan kita pada derajat yang tinggi di sisi Allah. Hari ini kita hidup di dunia media sosial, sudah salayaknya kita menanamkan kesabaran dalam berkomunikasi sehari-hari. #BNODOC13112052017
*Akademisi dan Pengamat sosial
Discussion about this post