Suasana hening menyelimuti rumah itu. Malam mulai merangkak bersama deru mimpi penghuni kampung. Tampak dari luar rumah itu asing dan aneh karena tidak menyerupai rumah-rumah yang lain di sekelilingnya. Satu-satunya rumah tradisional melayu Jambi yang tersisa. Rumah ini semua bahan bangunannya terbuat dari kayu. Kayu bukan sembarang kayu tapi kayu yang berkualitas tinggi seperti kayu bulian, kayu kulim, kayu tembesu. Dulu daerah Jambi masih memiliki hutan yang sangat luas sehingga bahan kayu akan mudah diperoleh. Tapi sekarang hutan itu telah menghilang dirambah dan dijajah. Di Jogan sendal-sendal jepit berjejer sebagi petanda rumah tersebut sedang dihuni oleh banyak orang.
Di Pelancoan Bujang duduk termenung menghadap sungai Batang Hari yang telus mengalir. Alirannya damai sedamai angin malam yang meraba kulitnya. Kain sarung yang melilit tubuhnya seakan tak berdaya menahan lembutnya angin yang mendera. Pelancongan adalah sebutan untuk ruangan pertama rumah tradisional Jambi yang merupakan ruangan terbuka semacam serambi yang digunakan untuk beristirahat atau berangin-angin. Karena fungsinya ini maka ruangan tersebut tak berdinding. Sesekali Bujang melihat bangunan-bangunan beton yang tumbuh di sekeliling rumah itu. Tepat di sebelah kanan rumahnya adalah ruko kepunyaan Ahong yang didiami Pak Cik Mansur. Dulu tanah itu punya Pakcik Mansur tapi sekarang ia jadi penumpang di tanahnya sendiri.
Sementara itu Kulup merebahkan dirinya di tikar pandan di ruang Serambi. Ini adalah Ruangan kedua dari rumah besar ini, lantainya lebih tinggi sedikit daripada pelancoan dan diberi dinding serta jendela. Serambi muka ini juga disebut Serambi Gedang, fungsinya sebagai tempat untuk menerima tamu, tempat anak-anak lelaki belajar mengaji, serta kegiatan lainnya yang sifatnya sama. Disaat ada upacara-upacara kenduri atau sedekah, maka di serambi gedang inilah tempatnya. Walaupun matanya terpejam tapi sebenarnya ia tidak bisa tidur. Pikirannya pun galau penuh kecemasan. Ia tidak lagi memikirkan skripsinya yang sudah mulai terbengkalai. Hanya satu yang ia inginkan adalah Emaknya cepat sembuh dan bisa menyaksikan ia wisuda. Satu-satunya serjana yang lahir di rumah tua ini.
Di serambi dalam seorang ibu tua terbaring payah di atas kasur butut. Kasur kapuk yang ia jahit sendiri beberapa tahun yang lalu. Di atas kasur itu pula selama berpuluh-puluh tahun memadu kasih bersama sang suami tercinta hingga Bujang, Rahma, Pinah, Neti, dan Kulup terlahir. Sang suami telah mendahuluinya dua tahun yang lalu. Kini tinggallah ia terbaring tak berdaya di atas kasur pusaka itu. Di sebelah kanan kasur itu nampak Rahma memeluk si bungsu sambil menetekinnya. Di sebelah kiri Pinah sedang memijit-mijit lengan sang ibu di sela-sela ngantuknya. Ruang ini memang sedikit agak luas dan disebut serambi dalam yang apabila dilihat dari struktur bangunan rumah ini, ia merupakan ruangan ketiga, lantainya lebih tinggi dan biasanya dipergunakan sebagai tempat tidur anak bujang. Tempat ini di bagian depan dipergunakan untuk tempat musyawarah bagi ninik mamak dan Tuo-tuo Tengganai, khusus laki-laki.
”Bujangg….ooo…Jang…..” suara wanita tua itu memanggil anak sulungnya.
”Bang Bujang di luar Mak. Emak nak apo?” tanya Pinah menanggapi panggilan ibunya dalam Bahasa Jambi kental.
“Coba panggil abangmu ke sini, ada yang mau Emak bicarakan” juga dalam bahasa Jambi Melayu totok. Pinah pun tanpa menunggu labih lama pergi menghampiri abangnya yang ternyata sudah tertidur di kursi depan sambil berkerumbung kain sarung.
“Yo Mak, ni Bujang Mak” panggil Bujang ketika sudah berada di dekat ibunda tercinta. Mendengar suara abangnya, Rahma pun ikut terbangun. Mereka bertiga sekarang berada di sisi-sisi wanita tua itu. Tapi sang Ibu seakan tidak mampu membuka mata. Yang jelas bukan karena mengantuk tapi karena sakit yang ia derita semakin parah malam itu.
”kalu memang tidak dapat pinjaman uang, jual sajalah rumah ini untuk uang berobat Emak. Lagi pula kalian semua sudah punya rumah sendiri. Kalau Emak sehat, biarlah emak menumpang di rumah kalian. Sisa berobat emak bisa untuk membayar kuliah Kulup” ucapnya terbata-bata sambil mengatur nafas yang tersengal-sengal.
Mendengar permintaan sang ibu, mereka saling melihat satu sama lain. Mereka seakan tidak percaya apa yang barusan diucapkan oleh ibu mereka. Rasa bersalah seakan merasuk ke dalam jiwa masing-masing. Sudah sekian lama mereka dibesarkan tapi saat-saat sang ibu membutuhkan bantuan mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Sebenarnya bukan tidak berusaha tapi memang tidak ada. Bujang hanya nelayan pencari ikan di Sungai Batang hari. Berpenghasilan tidak menentu karena ikan sudah banyak diracun dan disetrum. Tak ada lagi ikan patin yang kena pancing atau pukatnya. Paling-paling hanya bisa mendapatkan ikan baung atau ikan seluang untuk dijual istrinya di pasar Angso Duo sekedar bisa untuk membeli beras dan cabe. Tidak ada duit untuk ditabung apa lagi untuk membantu pengobatan ibunya. Begitu juga dengan Rahma, suaminya hanya pembuat perabot rumah tangga yang akhir-akhir ini sangat sulit mendapatkan kayu sebagai bahan baku. Suaminya pun baru keluar dari penjara dua bulan yang lalu karena dituduh pembalakan liar. Padahal ia hanya membeli dua potong kayu dari ladang temannya sendiri. Tentu saja ia kalah di pengadilan karena tidak ada pengecara yang membelanya. Berbeda dengan perusahaan-perusahaan besar yang menjajah hutan Jambi, tidak ditangkap karena mereka menyuap semua pejabat. Dunia memang tidak adil. Adil hanya untuk mereka yang berduit dan berpangkat.
Apa lagi Pinah dan Neti suami mereka hanya tukang ojek di Pasar Jambi. Pendapatan mereka hanya bisa untuk membayar kredit motor setiap bulan. Sisa bayar kredit itulah yang mereka hemat untuk makan seadanya. Bagi mereka hidup memang tidak mudah. Biaya sekolah anak-anak mereka semakin meninggi berpacu dengan harga ikan asin dan terasi. Ikan asin pun terasa semakin menjadi makanan mahal dan istimewa untuk dinikmati.
”Emaaakk….ini rumah tuo kito. Inilah peninggalan ayah. Di sinilah kami semua dilahirkan” kata Rahma dengan nada sedih menahan air mata.
”mmm….” sahut ibunya singkat. Pinah mulai tak tahan menahan isak tangisnya sambil terus memijit-mijit tangan ibunya.
Mendengar tangis sang kakak, Neti yang dari tadi sibuk di garang berhenti menyuci pinggan. Garang adalah ruangan tanpa atap dan diberi dinding setengah. Garang ini letaknya lebih rendah dari laren (ruang sesudah serambi belakang, terdapat ruangan di mana lantainya lebih rendah, sejajar dengan serambi muka. Laren digunakan sebagai tempat menerima tamu wanita, dan tempat para gadis melakukan berbagai aktivitas seperti menyulam, menenun, mengaji Quran serta tempat mengatur sajian di waktu sedekah atu kenduri) dan lebih tinggi dari pelancoan. Dindingnya terbuat dari bambu yang dibelah-belah kemudian diapit oleh belahan bambu pada pinggirnya. Garang ini berfungsi sebagai tempat meletakkan tempayan, mencuci piring, menyiangi bahan-bahan yang akan dimasak dan lain-lain. Kadang-kadang dipergunakan untuk menjemur pakaian, menjermai padi, menumbuk dan mengisainya; juga tempat menanam tumbuhan dapur atau empar-empar seperti kunyit, jahe,sereh, dan sebagainya.
Neti setengah berlari menghampiri ibunya. Begitu juga dengan Kulup yang terjaga karena langkah kaki Neti di lantai papan tersebut. Sekarang berkumpullah mereka semua. Dari si sulung Bujang sampai si bungsu Kulup.
”Ti, tunggu Mak, kita ke serambi berunding” ajak Bujang kepada adik-adiknya. Dan mereka pun semua bangkit menuju serambi depan kecuali Neti yang diminta abangnya tetap menjaga sang ibu.
”Mungkin Emak benar, kita harus menjual rumah ini. Sebenarnya abang sudah menemui Koko Ahong tadi siang. Dia sudah setuju membangun ruko di tanah kita ini. Dia bangun dua pintu empat lantai. Satu pintu empat lantai untuk kita dan satu pintu empat lantai lainnya untuk dia. Dan dia bisa pinjamin kita uang untuk berobat Emak. Dan sisanya… ” terang Bujang
”Tidak…saya tidak setuju Bang. Dari dulu saya sudah katakan, saya tidak setuju” sentak Kulup tinggi memotong kalimat abangnya.
”saya tidak setuju menjual rumah ini dengan alasan apa pun. Rumah ini peninggalan ayah satu-satunya. Rumah ini tempat kita dilahirkan. Rumah ini kebanggan kita sebagai orang Jambi. Kita harus mempertahankan rumah ini. Tanah dan rumah ini jangan sampai dijajah si mata sipit itu. Tidak..”
”Cukup…!” bentak Bujang memotong adiknya sang aktivis kampus itu.
”trus…dari mana kita dapat uang untuk mengobati Emak?” tanyanya meninggi.
”tapi tidak dengan menjual rumah ini. Abang harus lihat, semua rumah di kampung ini sudah disulap menjadi ladang kapitalis. Budaya kita sudah terjajah bang. Lihat ruko-ruko itu, mana ada seperti rumah kita ini. Tidak ada jogan, pelancoan, serambi, garang, dapur. Tidak ada bang, semua seperti kandang kambing. Ruko itu sama persis kandang kambing, makan, berak, tidur, ngumpul dengan keluarga, menanam kembang, semua dalam satu ruangan. Itu kandang kambing. Budaya kita bukan seperti itu bang. Rumah kita punya aturan oleh orang tua kita dulu termasuk ayah. Ada tempat makan, ada tampat masak, ada empat tidur, ada tempat berunding. Semua ada tempatnya…”
”Cukup Lup…, selama ini abang sudah turuti idealismemu. Abang hormati kau sebagai orang terpelajar di rumah ini. Walau abang selau dibilang bodoh oleh orang kampung kita karena mengikuti idialismemu. Lihat semua orang kampung ini sudah punya ruko, cuma kita yang tidak punya. Tapi abang ikut kemauanmu. Tapi sekarang emak…emak sakit Lup…Emak butuh duit untuk berobat… tidak bisa emak kita obat dengan nasionalisme. Kita butuh duit…” kata-kata Bujang sedikit tersedu menahan rasa.
Tidak ada suara kemudian. Jam dinding yang telah menunjukkan pukul 2 dini hari semakin terasa syahdu. Dua perempuan yang menyaksikan perundingan itu hanya bisa diam. Memang dalam adat Jambi dalam perundingan perempuan lebih suka memposisikan diri mereka sebagai pendengar dan kadang sebagai penetralisir jika terjadi ketegangan. Mereka sangat percaya pada kaum lelaki untuk menyelesaikan semua persoalan. Bujang menundukkan kepalanya dengan segala drama dalam benak. Pilihan sulit bermain di kepalanya. Mungkin abangnya benar. Tapi…
Dia tidak akan pernah rela rumah kelahirannya dijadikan lambang kapitalis dunia, ruko. Ia bahkan telah bercita-cita menjadikan rumahnya sebagai museum rumah tradisional Jambi. Jika suatu saat nanti ada ada orang yang bertanya tentang Jambi, mana Jambi yang sebenarnya, dia akan undang ke rumahnya. Inilah rumah orang Jambi. Rumah orang Jambi itu bukan ruko yang seperti kandang kambing itu. Rumah orang Jambi itu berbudaya. Ia benar-benar bangga dengan itu. Dengan idialisme itu pula ia muak melihat pemerintah yang menggembar-gemborkan “Jambi seribu ruko”. Baginya itu hanya ide kapitalisme untuk menghancurkan budaya bangsanya. Suatu saat nanti orang Jambi akan kehilangan jati dirinya sendiri. Mereka gamang melihat diri sendiri. Mereka mengaku orang Jambi tapi tak sedikitpun mereka mengetahui tentang Jambi itu sendiri. Mereka kemudian hidup di dunia kapitalis nan bengis dan anarkis, ekonomis tak humanis.
”yang jelas, besok Emak harus kita bawa kerumah sakit” Bujang kembali memecah kesunyian.
”Lup…abang…” suara Bujang terhenti tiba-tiba mendengar langkah tergesa-gesa datang dari serambi dalam. Semua mata melihat kepada suara kaki tersebut.
”Bang…Emak…Emak Bang…” teriak Neti sambil lari kembali ke dekat emaknya. Mereka pun berhamburan mengikuti langkan Neti dan mengambil posisi masing-masing di sisi kiri dan kanan ibunya. Nafas sang ibu nampak semakin payah.
”Emaaak…Emaaak….” panggil Kulup lembut sambil mengusap-usap kening ibunya.
”Emaaakkk…ngucap Emak ya… asyhadu an lailahalillallah, waasyhadu anna muhammad rasulullah.” sambung Rahma menuntun ibunya sambil mengusap air mata yang mulai menetes. Melihat ibunya yang semakin payah, suara Pinah dan Neti pecah. Tangis pun melerak sunyi malam nan kelam itu. Tidak lama berselang, senyumpun mengembang di bibir wanita itu. Namun ternyata senyum itu adalah senyum perpisahan dengan semua yang ia miliki termasuk anak-anaknya. Yang terlahir sampai pada saatnya pasti akan terkubur.
”Emaakkk…..” teriak anak-anak perempuannya sambil memeluk tubuh lemas ibunya. Bujang pun sekuat tenaga membuat dirinya tegar mengusap wajah ibunya sambil berucap ”innalillah wainna ilaihiraji’un”.
Kulup yang dari tadi hanya menutup mata dengan kedua telapak tangannya tiba-tiba bangkit dan berlari menuju telapak kaki ibunya. Sujud ia di kedua telapak kaki itu sambil memeluknya kuat-kuat. Tak ada suara tangis seperti ketiga kakak perempuannya, tapi pilu menyayat hatinya.
”Emakkkk…maafkan Kulup…., Kulup…” tak sanggup ia meneruskan kata-kata itu. Mendengar kata yang keluar dari mulut adiknya, Neti pun bangkit dan memeluk Kulup yang masih sujud di kedua kaki ibunya.
”Sudah… sudah…. tidak adak yang perlu ditangisi. Semua adalah keputusan Allah. Semua ambil wudhu dan mari baca yasin untuk emak” Kata Bujang sambil berdiri menuju dapur untuk berwudhu. Kulup pun berdiri tapi tidak menuju dapur mengikuti abangnya, namun ke serambi depan untuk melepaskan tangisnya. Semua rasa menyesak di dada. Rasa bersalah menyeruak bersama air mata.
”Emakk…rumah ini sudah dibayar mahal. Kulup janji tidak akan membiarkan rumah ini dijajah oleh siapa pun. Emak dan Ayah sudah lahirkan dan besarkan kami di sini. Rumah ini akan aku jadikan rumah terakhir sebagai bukti terakhir bahwa Ayah dan Emak adalah orang Jambi yang berbudi.” tak lama kemudaian ia kembali ke sisi emaknya bersama kakak-kakanya untuk melepas orang yang mereka cintai pergi untuk selamanya diiringi ayat-ayat Illahi.#bhn#
Malaysia, 3 Maret 2009
Discussion about this post