Oleh: Bahren Nurdin, MA
Rumah sakitnya tu betul yang sedang sakit. Saya umpamakan dengan seorang pasien. Pasien itu berinisial RSUDRMT. Pasien ‘kaya’ yang berinduk pada negara. Performa luarnya sangat gagah dan mempesona. Badannya tinggi besar. Tapi, saat ini ia sedang terbaring lemas tak berdaya. Mukanya pucat, kaki tangannya tak bergerak, matanya sekali-sekali berkedip. Tapi di monitor masih terlihat detak jantung, oksigen, dan nadinya terlihat normal. Alat-alat medis dipasang sana sini. Ia sedang berada di ruang ICU (Intensive Care Unit). Semua orang seakan bertanya ‘apa sebenarnya penyakit yang sedang diidap?’
Bukan tidak diobati. Bukan tidak diurusi. Bukan pula satu dua dokter yang telah turun tangan dengan berbagai diagnosa. Tapi penyakitnya sampai saat ini masih saja belum nampak perbaikan. Saat ini pun sedang ditangai ‘dokter’ baru yang berinisial ZZ. Ketika baru diangkat jadi dokter untuk menangani pasien ‘istimewa’ satu ini, berbagai diagnosa dan tindakan dilakukan, namun hasilnya juga belum nampak membaik. Tapi sedang berproses.
Amputasi
Tidak tanggung-tanggung. Walaupun kesannya trial and error, dokter baru ini berani mengambil tindakan yang luar biasa; amputasi. Lebih istimewa lagi anggota tubuh yang diamputasi mulai dari ‘kepala’ hingga ‘jari-jari’ yang nampak tidak berfungsi. Nyaris semua anggota tubuh yang dianggapnya tidak lagi berkerja dengan baik diamputasi. 59 ‘dikirim’ ambulan pulang. Selebihnya nyusul!
Seharusnya dari dulu ini dilakukan. Amputasi adalah salah satu jalan yang baik dilakukan jika pertimbangannya adalah akan merusak anggota tubuh yang sehat. Yang sakit memang harus dibuang agar tidak merusak. Namun, sebelum diamputasi sebaiknya dilakukan pengkajian dan pertimbangan yang matang. Tidak boleh amputasi dilakukan atas dasar suka dan tidak suka. ‘Dokter’nya harus objektif. Jangan sampai pula, anggota yang sehat dan masih sangat produktif diamputasi hanya karena dokter tidak suka. Tidak boleh juga atas pesanan ‘asisten’ dokter. Dan yang paling penting jangan sampai salah diagnosa.
Amputasi memang sudah dilakukan dan saat ini sedang menunggu reaksi. Apakah betul setelah amputasi ‘pasien’ ini akan sembuh? Kita tunggu saja prosesnya. Tapi yang jelas, dokter yang menangani pasien khusus ini harus terus mamantau dengan saksama. Tidak bisa habis diamputasi dibiarkan begitu saja. ‘Obatnya’ harus terus diberikan secara teratur. Monitornya terus dipantau. Tindakan harus cepat dilakukan. Jika ada yang mencurigakan, langsung ambil tindakan. Dalam beberapa waktu ke depan, sang ‘dokter’ memang harus bekerja eksta keras.
Penanganannya juga harus intensif. Ruang ICU ini harus terus dipantau. Jangan ‘angat-angat tai ayam’. Hanyatnya sebentar saja. Begitu ayamnya pergi, tainya langsung dikerubungi semut karena sudah tidak hangat lagi. Jika perlu diongseng biar panas terus, hehehe. Menangani ‘pasien’ seperti ini tidak bisa musiman atau moody, apa lagi hanya mencari citra. Bayangin saja, pasien yang baru diamputasi besar-besaran, trus ditinggalin begitu saja; mati.
Kanker Hati
Saya menganalogikan rumah sakit ini kena ‘kanker hati’ tingkat parah, stadium langit. Kanker hati (karsinoma hepatoseluler) adalah kanker yang timbul dari hati yang juga dikenal sebagai kanker hati primer atau hepatoma. Bukan itu yang saya maksud. Bukan fisiknya hati yang terkena kanker, tapi sukmanya. Saya secara pribadi sudah berulang kali mendapat pengalaman buruk di rumah sakit ini. Terparah, para medic di rumah sakit ini belum mampu memanusiakan manusia. Belum pernah saya rasakan mereka melakukan tindakan (melayani) dengan hati. Mohon maaf, saya harus katakan mereka tidak ubahnya robot yang tidak berhati nurani. Tidak semua, tapi hampir merata.
Inilah makanya saya sebut ‘kanker hati’. Sepertinya selain amputasi kepala dan beberapa jari-jemari yang sudah dan sedang dilkukan, perlu juga dilakukan trasplantasi; ganti hati. Bagaimana caranya? Para medic di rumah sakit ini perlu diberikan pelatihan-pelatihan mental dan peningkatan kecerdasan spiritual, kecerdasan social, kecerdasan emosional, dan sejenisnya. Hal ini sangat perlu dilakukan. Saya yakin seyakin-yakinnya mereka tidak kekurangan ilmu pengetahuan tentang kesehatan, tapi perlu pembenahan mental melalui ‘hati’. Memberi pelayanan kepada masyarakat perlu dengan hati. Menempatkan para pasien di rumah sakit ini sebagai manusia; memanusiakan manusia.
Akhirnya, ‘pasien’ ini memang sedang sakit parah. Namun kita harus selalu optimis. Mari kita beri dukungan kepada ‘pak dokter’ untuk mengobati pasien ini sampai TUNTAS. Kita berharap sembuh. Jangan sampai pula, ganti dokter lagi, penyakitnya masih tetap saja kumat-kumatan. Semoga.
#BN21012017
Sumber: www.kenali.co
http://kenali.co/berita-76140-rumah-sakit-yang-sedang-sakit.html#ixzz4Xz0YUl8K
Discussion about this post