Beberapa tahun terakhir, kata resolusi semakin sering kita dengar di tengah masyarakat Indonesia khususnya menghadapi akhir tahun dan awal tahun baru. Lantas apa itu resolusi?
Banyak literatur yang dapat dirujuk untuk menjelaskannya. Secara sederhana Wikipedia menjabarkannya sebagai ‘tradisi sekuler yang umumnya berlaku di Dunia Barat, tetapi juga bisa ditemukan di seluruh dunia. Menurut tradisi ini, seseorang akan berjanji untuk melakukan tindakan perbaikan diri yang akan dimulai pada hari tahun baru’.
Singkatnya, resolusi itu adalah muhasabah diri yang diikuti oleh penyusunan rencana pribadi (oraganisasi/perusahaan) akan capaian-capaian yang hendak diraih di masa yang akan datang khususnya dua belas bulan ke depan.
Di dalam ajaran Islam sebenarnya lebih dahsyat lagi, para umat muslim tidak hanya diminta untuk membuat resolusi setahun sekali, tapi setiap saat. Perhatikanlah Ayat Al-Quran Surat Al-Hasyr ayat 18 yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Penggalan kalimat ‘memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok’ adalah kata lain dari resolusi itu sendiri. Akan tetapi, makna ayat Al Quran ini jauh lebih dari hanya sekedar ‘resolusi’ awal tahun yang difahami masyarakat saat ini. Al Quran mengajarkan ummat Islam untuk membuat ‘resolusi’ setiap hari bahkan bisa setiap saat.
Frasa ‘hari esok’ dalam konteks ini juga bukan setahun ke depan tapi ada yang lebih besar yaitu hari akhirat. Artinya ada sesuatu yang lebih besar dari hanya sekedar mempersiapkan diri satu tahun. Itulah yang saya sering sebut dengan istilah ‘narasi’. Melihat dan memaknai sesuatu dengan cara pandang yang lebih besar dari apa yang terlihat.
Untuk memiliki ‘resolusi’ anda harus memiliki ‘narasi’ yang hebat terhadap apa yang hendak dicapai. Jika narasinya kecil maka resolusi yang akan anda capai juga akan kecil, dan sebaliknya. Turunannya adalah pada tataran usaha untuk mencapai resolusi tersebut juga akan kecil.
Jika dibuat sederhana, jika narasinya besar maka resolusinya besar dan usahanya juga besar. Dan sebaliknya, jika narsi yang dibangun ‘cetek’ maka resolusinya juga akan dangkal dan usaha yang dilakukan juga akan ‘ecek-ecek’.
Seperti apa narasi itu? Seperti kisah motivatif yang sering diceritakan tentang para tukang bangunan yang sedang bekerja memasang batu bata berikut ini. Tiga tukang ditanya dengan pertanyaan yang sama, Bapak sedang apa? Tukang A menjawab, ‘ saya sedang menyusun batu bata’. Tukang B, ‘saya sedang membuat tembok’. Dan Tukang C menjelaskan, ‘saya sedang membangun rumah yang megah untuk berlindung penghuninya dari mara bahaya, memberi kenyamanan kepada mereka, dan akan menjadi warisan yang akan digunakan secara turun temurun’.
Narasi yang saya maksud adalah seperti jawaban Tukang C. Dia melihat pekerjaan menyusun batu bata tersebut dengan narasi yang lebih besar. Narasi semacam ini akan sangat berdampak terhadap resolusi yang ia buat, cara ia bekerja dan hasil kerjanya. Dengan narasi sebesar ini dipastikan ia akan memiliki tujuan yang jelas, target yang terukur, setiap saat melakukan evaluasi, sangat serius dalam mengerjakannya dengan standar-standar, dan seterusnya. Akan sangat berbeda jika narasinya hanya menysun batu bata saja.
Akhirnya, melalui artikel singkat ini saya hanya ingin menyampaikan bahwa resolusi saja belum cukup apa lagi hanya setahun sekali, tapi juga harus memiliki narasi yang sebesar dalam mencapai kesuksesan dalam kehidupan ini. Narasi yang besar akan menentukan resolusi yang dibuat dan berdampak kepada usaha yang dilakukan.
*Penulis: Bahren Nurdin (Akademisi UIN STS Jambi)
Discussion about this post