Oleh: Bahren Nurdin, MA
Satu hal yang masih terpelihara dengan baik di kampung saya adalah nilai-nilai kekerabatan dan kekeluargaan. Hal ini dapat dirasakan selain hari raya Idul Fitri juga perhelatan kenduri kecil dan besar seperti pesta penikahan. Walau pun memang banyak sedikitinya telah terjadi pergeseran demi pergeseran karena pengaruh perkembangan zaman, namun makna dan nilai yang tertanam masih dapat dirasakan.
Resepsi pernikahan adalah salah satu perhelatan besar yang melibatkan seluruh anggota keluarga dan masyarakat desa. Bahkan juga sampai dengan beberapa desa tetangga. Paling tidak dua atau tiga desa diseputaran dapat merasakan ‘kemeriahan’ yang terselenggara. Seluruh aktivitas resespsi dikerjakan secara bersama-sama dengan peran dan fungsi masing-masing. Peran dan fungsi setiap orang ditentukan secara baik sesuai yang diatur oleh atad istiadat maupun ‘hirarki’ keluarga.
Perhelatan resepsi pernihakan sesungguhnya menjalani tatanan dan aturan main yang panjang dan terkonsep. Tahapan demi tahapan harus dilaksanakan sesuai ketentuan adat yang berlaku (eco dan pakai). Satu hal yang perlu dicatat bahwa setiap tahapan tersebut menunjukkan betapa erat dan kuatnya kekerabatan dan kekeluargaan yang terjalin.
Melalui artikel singkat ini, saya hanya ingin memberi gambaran umum perhelatan pesta pernikahan di kampung kami sejauh yang masih dapat saya ‘rekam’ dalam ingatan. Pertama, ‘ngangkat induk bapak’ (mengangkat orang tua angkat). ‘Ngangkat induk bapak’ dilakukan khususnya jika yang hendak menikah itu pihak laki-lakinya berasal dari luar desa dan tidak memiliki sanak saudara di desa kami. Artinya, orang yang hendak menikah di desa kami adalah orang yang jelas asal muasalnya. Dia harus memiliki ayah dan ibu juga keluarga yang jelas. Maka ketika dia pendatang, hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari orang tua.
‘Ngangkat Iduk Bapak’ adalah prosesi adat untuk menentukan orang tuanya di kampung itu. Hal ini dilakukan sejak lama untuk melindungi para kaum hawa kampung agar tidak menikah dengan orang yang ‘tidak jelas’. Pernikahan tidak bisa dilaksanakan jika tidak ada yang bersedia menjadi orang tua angkat mempelai laki-laki. Masyarakat yang bersedia menjadi orang tua angkat pun penuh kehati-hatian, karena jika terjadi sesuatu terhadap ‘anak angkatnya’, merekalah yang bertanggung jawab.
Lebih dari itu, prosesi ini pula sekaligus memperkenalkan calon mempelai laki-laki (orang asing) tersebut kepasa masyarakat luas. Masyarakat sudah merasa bangga karena mendapat anggota keluarga baru. Dari prosesi ‘mengangkat induk bapak’ sampai hari H resepsi penikahan biasanya terdapat beberapa minggu yang bisa digunakan oleh calon mempelai laki-laki untuk bersosialisasi dengan masyarakat tempatan. Sejak mengangkat orang tua angkat ini pula biasanya calon mempelai laki-lagi juga dibolehkan untuk berdomisili di rumah orang tua anggkatnya, dan terlibat dengan seluruh aktivitas masyarakat desa.
Kedua, ngantar tando. Setelah memastikan calon mempelai laki-laki yang hendak menikahi gadis desa, maka selanjutnya dilakukan prosesi ngantar tando. Atau, acara ini juga bisa digabung atau bersamaan dengan acara ‘ngangkat induk bapak’. ‘Ngantar tando’ ini dilakukan oleh pihak calon mempelai laki-laki dengan mengundang para penghulu dan nenek mamak pihak pihak perempuan. Yang disebut ‘Pengulu’ merupakan unsur pimpinan desa, adat dan pegawai saya’ seperti, Ketua Rukun Tetangga, Kepala Dusun, Ketua Lembaga Adat Desa, Imam Masjid, dan Kepala Desa. Bagai mana prosesi ini mampu mempererat tari kekeluagaan dan kekerabatan? (bersambung…).
#BNODOC20323072017
*Akademisi UIN STS dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post