Oleh: Bahren Nurdin, MA
[Kesatu, resepsi pernikahan adalah salah satu perhelatan besar yang melibatkan seluruh anggota keluarga dan masyarakat desa. Perhelatan ini sesungguhnya menjalani tatanan dan aturan main yang panjang dan terkonsep. Tahapan demi tahapan harus dilaksanakan sesuai ketentuan adat yang berlaku (eco dan pakai). Satu hal yang perlu dicatat bahwa setiap tahapan tersebut menunjukkan betapa erat dan kuatnya kekerabatan dan kekeluargaan yang terjalin].
Acara ‘ngantar tando’ misalnya, juga merupakan salah satu tahapan penting dalam proses pernikahan yang telah diatur oleh adat yang dipakai. ‘Ngantar tando’ sama halnya dengan tunangan atau melamar. Bedanya, di adat desa kami, melamar tidak langsung diputuskan diterima karena masih ada kemungkinan untuk ditolak. Salah satu hal penting di acara ini juga dibacakan silsilah kedua mempelai. Jangan sampai mereka menikah dalam satu keluarga atau hal-hal yang dilarang oleh agama. Itulah pentingnya mengetahui asal usul calon mempelai. Acara ini biasanya setelah beberapa minggu disusul dengan acara ‘nyobut tando’.
Ketiga, ‘malik an sedokah’. Ini adalah salah satu tahapan yang sangat menarik untuk dipahami dari eco pakai adat perkawinan di kampung saya. ‘Malik an sedokah’ adalah sebuah acara dimana nenek mamak rumah (tuan rumah; dalam hal ini adalah mamak, paman dari mempelai perempuan) menyerahkan perhelatan pelaksanaan resepsi pernikahan itu dari A sampai Z kepada penghulu dan masyarakat. Artinya, tuan rumah tidak memiliki hak untuk mengatur pelaksanaan. Resepsi pernikahan itu kemudian diambil alih oleh penghulu dan masyarakat luas dengan cara pembentukan panitia.
Panitia kemudian mengatur pembagian tugas, dari hal yang paling kecil hingga yang paling besar. Kenangan saya melayang ke beberapa tahun silam sewaktu saya masih kecil. Jika ada pesta pernihakan maka air yang digunakan untuk masak dan mencuci piring diambil langsung dari Batang Hari. Listrik belum masuk, mesin pompa air belum kami kenal. Alat yang digunakan untuk menaikan air sungai ke darat disebut ‘buang-buang’. Alat tradisional yang dibuat semacam kabel ‘flying fox’ ke dalam sungai dan digandolin semacam ember besar. Para pemuda kemudian bersama-sama menarik tali yang berisi air tersebut ke darat. Kerja yang sesungguhnya berat tapi dengan kebersamaan jadi sangat ringan dan menyenangkan.
Hebatnya lagi, tugas panitia yang dibentuk tidak hanya mengatasi persoalan pembagian kerja tapi sampai pada pengaturan biaya dan perlengkapan yang diperlukan. Tuan rumah hanya menyediakan sejumlah uang dan bahan-bahan yang diperlukan, selebihnya diserahkan sepenuhnya kepada panitia. Panitialah yang harus membuat semua itu cukup dan terlaksana dengan baik. Pengelolaan semacam ini, jauh dari kata korupsi. Kepercayaan yang diberikan tuan rumah dapat dipastikan berjalan dengan baik. Semua dimusyawarahkan dengan penuh kekeluargaan. Jika ternyata ada yang tidak cukup, tidak jarang para panitialah yang mencari jalan keluarnya tanpa harus mengadu pada tuan rumah.
Keempat, hari pernikahan dan hari ‘H’ resepsi. Pelaksanaan pernikahan tentunya dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari’at Islam sebagaimana landasan dasarnya ‘Adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah’. Adat yang kami terapkan adalah yang mengakar pada perintah agama yang mengacu pada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah.
Namun, pada hari ‘H’ pelaksanaan resepsi pernikahan saat ini menurut pengamatan saya, telah terjadi beberapa pergeseran terhadap beberapa teknis pelaksanaan. Ada beberapa elemen yang kemudian telah dihilangkan atau kadang dipakai kadang ditiadakan. Contoh kecil, dulu dalam prosesi belarak beliring (arakan pengantin) ‘wajib’ oleh seni bela diri Pencak Silat. Kini sering diabaikan. Dulu tidak mengenal makan prasmanan untuk tamu undangan, sekarang tamu disuguhkan hidangan dengan mengambil sendiri. Dulu tamu yang datang langsung dihidangkan di lantai (lesehan) dengan nasi dan lauk pauk yang terhidang di dalam piring. Dan ada beberapa lagi yang mengalami pergeseran, namun tidak mengurangi nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan.
Akhirnya, perhelatan pesta pernikahan di kampung saya tidak hanya sebuah seremoni belaka tapi merupakan media untuk mengikat erat tali silaturrahim baik antar anggota keluarga maupun seluruh masyarakat desa. Pesta tersebut tidak lagi milik tuan rumah tapi semua masyarakat. Jadi gagal dan suksesnya acara tersebut ada ditangan bersama; tidak ada yang saling menyalahkan. Itulah kekuatan kebersamaan. Semoga terus terbina. amin.
#BN20424072017
*Akademisi UIN STS dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post