TELAH kita sepakati bersama melalui Undang-Undang Pemilihan Umum (Pemilu) No. 7 tahun 2017 bahwa Pemilu dilaksanakan dengan menjunjung tinggi asas Luber dan jurdil (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil). Masing-masing asas yang ditetapkan ini memiliki makna penting untuk mencapai kematangan demokrasi di negeri ini. ‘Ending’-nya, untuk memilih para pemimpin bangsa yang berkualitas.
Asas merupakan pijakan penting sebagai rel yang harus ditempuh agar segala sesuatunya berjalan sesuai dengan ketentuan dan dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Asas menjadi landasan dasar bagi siapa saja dalam menjalankan perannya, baik sebagai penyelenggara, peserta, mau pun masyarakat umum. Itu artinya, jika ada yang terlanggar salah satu, atau beberapa asas yang telah disepakati, akan berpotensi menciptakan ‘kegaduhan’.
Mari kita benar-benar cermati, apakah semua asas Pemilu sudah dilaksanakan dengan baik? Melalui artikel singkat ini saya tidak akan bahas satu per satu. Saya hanya ingin mengajak kita semua untuk kembali menela’ah satu asas yang menurut saya masih belum maksimal dilaksanakan yaitu Asas Rahasia.
Apa yang disebut rahasia? Secara lugas Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan Rahasia adalah ‘sesuatu yang sengaja disembunyikan supaya tidak diketahui orang lain’. Kita garisbawahi saja frase ‘sengaja disembunyikan’. Jika sudah diketahui orang lain, maka ia tidak lagi menjadi rahasia. Maka sebenarnya tidak ada istilah ‘rahasia umum’. Jika sudah umum, pasti bukan rahasia lagi.
Maka, pertanyaan saya sederhana, sudahkah pilihan anda menjadi rahasia? Jika tidak, anda berarti telah melanggar asas Pemilu. Melanggar, dihukum!
Hal inilah yang sejak lama telah menyita perhatian saya. Ada hal yang kontra produktif antara perintah undang-undang dengan pelakasanaan di lapangan. Tidak mungkin bisa menegakkan asas Rahasia jika anda terang-terangan memberi dukungan kepada salah satu calon. Apa dampak negatif atas terlanggarnya asas ini?
Pertama, Terbentukknya kelompok pendukung yang siap ‘perang’. Jelas sekali, ketika asas ini dilanggar maka akan terbentuklah kubu-kubu pendukung. Dalam pemilihan presiden tahun 2019 mendatang misalnya, terbentuklah kubu 01 versus kubu 02. Padahal, coba bayangkan jika asas Rahasia kita terapkan, maka tidak akan ada kubu-kubu tersebut. Seluruh masyarakat merahasiakan pilihannya. Semua nampak jadi satu. Bulat sebagai anak bangsa. Perbedaan pilihan hanya nampak di dalam Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Suasana ini pasti keren. Tidak ada atribut dukungan. Dampaknya, para peserta pemilu pun akan disibukkan dengan ‘menjual’ program-program mereka kepada masyarakat. Masyarakat pun, tenang karena tidak harus terpecah belah karena menampakkan pilihan. Peserta Pemilu pun akan terhindar dari politik Balas Budi dan Balas Dendam. Mereka tidak merasa berhutang budi terhadap siapa pun karena tidak tahu siapa yang telah memilih mereka. Dan sebaliknya, tidak harus balas dendam karena mereka tidak tahu siapa yang tidak memilih mereka. Adem!
Kedua, terjadinya serang-serangan. Jelas sekali, ketika terbentuk kelompok-kelompok pendukung secara terbuka, maka akan terjadi perlawanan satu sama lain. Lihat saja apa yang terjadi baik di dunia ‘off-line’ mau pun di jagat ‘online’. Media sosial menjadi alat terhebat untuk saling ‘berkelahi’ antar anak bangsa. Kelompok pendukung saling caci maki seolah kita kehilangan jati diri dan nilai-nilai kemanusiaan. Hilang sudah sikap saling menghargai. Dan seterusnya. Padahal, jika kita saling merahasiakan pilihan masing-masing, ini tidak akan terjadi.
Apa solusi yang dapat ditawarkan? Undang-undang pemilu harus berani kita ‘bongkar’ ulang lagi. Berikan batasan jumlah tim pendukung (tim sukses) yang boleh dan secara sah menunjukkan keberpihakannya kepada salah satu tim. Artinya, undang-undang mengatur jumlah dan kriteria tim sukses yang pada akhirnya juga menciptakan keadilan bagi tim pendukung itu sendiri. Jumlahnya sama, ruang geraknya sama, dll. Selain tim sukses dilarang menunjukkan dukungan mereka. Dukungan hanya boleh ditunjukkan dengan mencoblos kertas suara di TPS.
Melanggar, dihukum. Selama ini, kita memberikan perhatian pada asas pemilu yang lain seperti asas Langsung, jika diwakilkan kita semua marah. Asas jurdil, jika ada kecurangan kita ngamuk. Tapi mengapa, jika orang memberikan dukungan secara terbuka artinya dengan terang-terangan melanggar asas Rahasia, kita tidak ribut? Aneh, kan?
Menurut saya, sudah saatnya ke depan, siapa saja yang melanggar asas Pemilu yang notabenenya adalah melanggar undang-undang, maka harus dihukum. Kita harus pula siapkan perangkat hukumnya. Siapa saja yang menunjukkan dukungannya kepada salah satu calon, dipenjara! Berani?
Akhirnya, saatnya kita menegakkan undang-undang yang telah kita sepakati bersama. Jangan tebang pilih. Jangan ada istilah pepatah orang Jambi, ‘tibo dimato, dipicingkan. Tibo diperut, dikempesin’. Artinya, jika menguntungkan undang-undang dilakasanakan, kalau merugikan ‘nyap-nyap’. Bahkan sepakat bersama-sama melanggarnya. Saatnya dewasa berdemokrasi! (***)
Discussion about this post