Oleh: Bahren Nurdin, MA
Beberapa waktu lalu, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Kota Jambi melakukan inspeksi mendadak (sidak) terhadap pengerjaan beberapa ruas jalan di Kota Jambi yang sedang dilakukan pelebaran dan perbaikan drainase. Salah seorang anggota Dewan berang, “Kita akan panggil pihak PU. Ini harus diperbaiki. Kualitasnya buruk, bergelombang, tadi kita sama-sama lihat” (kenanali.co).
Kalau anggota dewan punya hak marah-marah, apa masyarakat tidak marah? Masyarakat cuma bisa urut dada. Paling banter ‘nyumpah-nyumpah dalam hati. Hiks.
Apa yang disampaikan oleh anggota Dewan tersebut, itulah faktanya. Masyarakat juga dipastikan dapat menyaksikan dan merasakan apa yang terjadi di lapangan. Secara garis besar, paling tidak ada dua hal yang menjadi perhatian masyarakat. Pertama, proses pengerjaan yang tidak sesuai ‘aturan main’. Kedua, kualitas yang ‘asal’.
Masyarakat pasti sangat maklum bahwa ketika ada perbaikan fasilitas-fasilitas umum seperti jalan dan drainase akan terdapat ketidaknyamanan. Jalan terganggu dan lalu lintas terkendala. Sangat maklum. Namun demikian, apakah dengan kemakluman itu kemudian membuat para penyelenggara proyek dengan ‘semena-mena’ dan menghilangkan hak-hak masyarakat pengguna jalan? Itu masalahnya.
Ada begitu banyak peraturan atau bahkan undang-undang yang telah mengatur dengan detail bagaimana tata cara pengerjaan proyek yang bersentuhan langsung dengan masyarakat umum. Kita ambil saja Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 Tentang Jalan (mohon koreksi jika sudah ada perubahan terhadap Peraturan ini). Menyangkut pelaksanaan konstruksi, pada pasal 93 ayat 1 katakan, “Penyelenggara jalan wajib menjaga kelancaran dan keselamatan lalu lintas selama pelaksanaan konstruksi jalan”.
Mari kita lihat fakta di lapangan. Baik pembangunan jalan maupun drainase yang sedang berlangsung di beberapa ruas di dalam Kota Jambi sudah terang-terangan melanggar peraturan ini. Kelancaran dan keselamatan telah diabaikan.
Sekali lagi, masyarakat tidak keberatan jalan mereka terganggu demi perbaikan, tapi bukan berarti keselamatan dan kelancaran aktivitas masyarakat boleh dirampas begitu saja. Hal yang paling kasat mata adalah tidak ditatanya penempatan material seperti semen, pasir, kerikil, besi, dan lain-lain. Material-material ini diletakkan tanpa aturan yang jelas sehingga sangat mengganggu.
Begitu juga halnya dengan keselamatan pengguna jalan yang belum menjadi preoritas para penyelenggara proyek yang sedang melakukan kontsruksi. Entah berapa banyak masyarakat umum yang menjadi korban. Yang paling sering terjadi, jatuh dari motor karena material pasir atau kerikil yang berserakan di tegah jalan seputaran konstruksi.
Belum lagi berbicara kelestarian lingkungan hidup, sebagaimana amanat peraturan ini pada pasal 86, ayat 4, Perencanaan teknis jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sekurang-kurangnya memenuhi ketentuan teknis mengenai: (i) kelestarian lingkungan hidup. Pohon ditumbang begitu saja, debu menyelimuti rumah penduduk sekitar, limbah semen dibuang semaunya, dan seterusnya. Pencemaran lingkungan!
Berbicara kualitas? Tidak perlu dibahas panjang lebar pada artikel kecil ini. Tidak pun dibahas, masyarakat juga sudah tahu bahwa pengerjaan proyek di negeri ini selalu berorientasi ‘dompet’. Tidak akan ada proyek yang betul-betul berorientasi jangka panjang dengan mengedepankan kualitas dan kepentingan masyarakat banyak. Yang penting jadi (asal jadi) dan keuntungan masuk dompet. Selesai!
Persoalan apa yang dibangun itu kemudian hancur dalam setahun atau bahkan sebulan, bukan jadi soal. Bolehlah mereka berkoar “kami bekerja sesuai aturan dan standard yang ada”. Kalau bicara aturan tentu ada aturan main yang jelas bagaimana perencanaan hingga pengawasan diatur sedemikian rupa. Tapi tentu saja, fakta di lapangan tidak bisa dibohongi.
Akhirnya, masyarakat senang dan mengapresiasi pembangunan yang dilakukan pemerintah. Tapi, masyarakat juga kecewa melihat proses pengerjaan dan kualitas yang diberikan. Baru dibangun sudah hancur. Ini bukan hanya persoalan anggaran dan aturan, tapi mindset. Mindset ‘asal jadi’ ini memang sudah seharusnya dibasmi! #BNODOC257152017
*Akademisi UIN STS dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post