Oleh: Bahren Nurdin, MA
‘Terpilih tapi tidak mampu’, mampu tapi tidak terpilih’. Ini bukan kalimat saya, tapi apa yang ditulis Dahlan Iskan pada artikelnya ‘Upaya Mencari Pemimpin Mampu di Era Demokrasi’. Dahlan menyampaikan kegelisahan Jenderal TNI Prof. Dr. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan demokrasi kita saat ini. Apa yang digelisahkan, ternyata “Dalam sistem demokrasi seperti ini, orang yang mampu belum tentu terpilih dan orang yang terpilih belum tentu mampu”(Jambi Ekspres, 05/05/2017).
Pemikiran semacam ini agaknya menggelitik kita semua. Lebih-lebih ketika dihadapkan dengan fakta kepemimpinan negeri ini di berbagai level. Rasanya tidak salah jika dikatakan ini merupakan salah satu kelemahan sistem demokrasi yang mendewakan ‘suara terbanyak’. Siapa pun yang mendapat suara terbanyak, dialah pemenangnya. Padahal, ‘terbanyak’ tidak selalu berbanding lurus dengan ‘terbaik’. Maka itulah kemudian pengujian pemenang dalam pemilihan pemimpin di negeri ini dengan satu kata ‘populeritas’ atau yang sering disebut ‘elektabilitas’.
Celakanya, karena yang diagungkan hanya populeritas, kita cenderung mengabaikan kemampuan. Padahal, populer belum tentu mampu! Apa yang terjadi kemudian adalah “yang mampu tidak terpilih, yang terplih tidak mampu”. Coba amati dengan mata kepala dan mata hati setiap pemimpin negeri ini, khususnya yang dipilih langsung oleh rakyat, dari gubernur, bupati/wali kota, kades, sampai ketua RT. Dapat dipastikan hal inilah yang terjadi. Orang-orang yang dianggap mampu sering sekali tersingkirkan. Dan yang maju memimpin adalah orang-orang populer dengan minim prestasi.
Populeritas bisa direkayasa (pencitraan), sementara kemampuan belum tentu. Populeritas bisa dibentuk dalam kurun waktu yang relatif singkat. Lebih-lebih, zaman media sosial saat ini. Cukup dengan memoles diri dengan menjadi pura-pura baik, pura-pura alim, pura-pura pekerja keras, pura-pura peduli rakyat kecil, pura-pura peduli korban bencana, pura-pura pecinta masjid, dan pura-pura lainnya. Maka jadilah pemimpin pura-pura.
Untuk menjadi pemimpin pura-pura ini sangat mudah karena sudah dibantu oleh kemutakhiran tekhnologi. Cukup memikul keranda mayat bersama masyarakat, kemudian difoto dan disebarkan melalui media sosial dengan sedikit caption ‘pemimpin merakyat’, maka citra pun terbentuk. Berapa meter pun ia melakukannya? Tidak penting, yang penting bisa numpang berfoto.
Inilah zaman pemimpin pencitraan. Zaman penuh pura-pura. Salah demokrasi? Saya rasa tidak. Dahlan Iskan juga menegaskan “demokrasi jangan dibunuh”. Lantas bagaimana ‘membunuh’ para pemimpin yang pura-pura ini? ‘Membunuh’ artinya menghentikan terpilihnya pemimpin-pemimpin yang penuh dengan kepalsuan sehingga betul-betul mendapatkan pemimpin ‘yang terpilih dan yang mampu’. Tapi, disayangkan juga, sebagian besar orang-orang mampu di negeri ini tidak ingin populer.
Jika anda saya tanya, ‘mau pemimpin yang populer tapi tidak mampu, atau pemimpin yang tidak populer tapi memiliki kemampuan untuk memakmurkan masyarakatnya?’
Itu artinya, pilihan itu ada berada pada tangan anda. Anda yang menentukan. Jadi jika hari ini ada pemimpin yang ‘populer tapi tidak bisa berbuat apa-apa kepada daerahnya’, itu juga dosa anda yang berada di daerah tersebut. Ups…tidak perlu merasa-rasa karena saya tidak menyebutkan nama dan daerahnya. Lihat sendiri, rasakan sendiri.
Rakyat negeri ini memang sudah saatnya diajak melek politik. Kalimat ‘suara anda menentukan nasib bangsa ini’ tidak boleh hanya dijadikan slogan semata. Kalimat ini sudah harus menjadi sesuatu yang penting. Ingat, kemampuan tidak terbentuk dengan pencitraan, kecuali kemampuan melakukan pencitraan itu sendiri. Kemampuan untuk menjadi pemimpin itu seperti membuat pedang. Pedang yang baik dapat dipastikan melalui proses yang panjang dengan melewati berbagai ‘penderitaan’. Pedang yang tajam harus melalui proses penempaan dengan cara dibakar, digerinda dan dipukul ribuan kali.
Yakinlah, tidak ada besi yang akan mejadi pedang yang hebat jika ia hanya pura-pura dibakar, pura-pura digerinda, atau pura-pura dipukul. Jika pun jadi, itu pasti ‘pura-pura pedang’.
Akhirnya, yups, kita sepakat bahwa demokrasi negeri ini sedang berproses. Tapi proses ini harus pula dilakukan dengan cara-cara yang hebat dan bermartabat. Memilih pemimpin semata mengedepankan populeritas akan menciderai nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Think!
#BNODOC12506052017
*Akademisi dan Ketua Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi [KOPIPEDE] Provinsi Jambi
Discussion about this post