Beberapa bulan terakhir beberap daerah di Indonesia terjadi kabut asap yang disebabkan oleh musim kemarau yang panjang. Hujan semakin langka dan ‘mahal’ tidak terkecuali di Provinsi Jambi. Menyangkut hal ini, menarik untuk menyimak pernyataan Gubernur Jambi Hasan Basri Agus (HBA) pada harian pagi Jambi Ekspres beberapa hari lalu (26/9/2012) yang menyatakan bahwa tidak ditemui titik api (hotspot) di Provinsi Jambi. Beliau merasa heran karena titik api tidak ditemukan namun asap tebal tetap menyelimuti Jambi khususnya beberapa hari ini yang telah mengganggu transprotasi udara, sampai-sampai Bandar udara Sulthan Thaha ditutup untuk beberapa saat. Begitu juga gangguan kesehatan yang semakin mengkhawatirkan. Data dari Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) menyebutkan bahwa Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) telah mencapai 97 (JE).
Pada kondisi seperti ini, Gubernur Provinsi Jambi, HBA mengeluarkan penrnyataan yang sedikit mengejutkan bahwa tidak ditemukan hotspot di Provinsi Jambi. Bahkan, menurut beliau asap itu adalah kiriman dari provinsi lain. Pernyataan ini terasa begitu ‘naif’. Manalah mungkin ada asap tanpa api. Pernyataan ini terasa semakin ‘menohok’ bila dikonfrontir dengan beberapa pemberitaan di berbagai media massa baik dalam maupun luar negeri. The Strait Times (27/9/2012) membeberkan data dengan jelas bahwa terdapat peningkatan titik api di Pulau Sumatera dari tahun ke tahun. Data yang dikeluarkan oleh Asian Specialised Meteorological Center itu menunjukkan pada tahun 2011 terdapat 10.320 titik api (hotspot) dan mengalami peningkatan hingga 12.750 pada tahun 2012 ini dan menyebar di seluruh Pulau Sumatera. Hal ini diperkirakan akan terus meningkat hingga musim hujan datang.
Lebih khusus, harian online Kompas.com memberitakan bahwa Citra satelit NOAA yang diolah Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Selasa (18/9), memantau 110 titik api di wilayah Jambi dalam sehari. Jumlah ini meningkat drastis. Petugas pengolah data titik api Dishut Provinsi Jambi, Donny Osmond, mengatakan, satelit memantau 11 titik api pada Minggu dan 1 titik api pada Sabtu. Lebih dari sepekan terakhir, hujan tidak turun sama sekali.
Jika demikian faktanya, mengapa HBA dengan enaknya menyatakan bahwa tidak ada titik api di Jambi dan ‘menuding’ provinsi lain sebagai biang asap di Jambi? Inilah titik persoalan yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini. Sesungguhnya banyak implikasi yang terdapat dari pernyataan tersebut. Salah satunya, menurut saya, pernyataan tersebut sudah masuk ranah politik, tepatnya komunikasi politik. Apa makna pernyataan tersebut bila dilihat dari kaca mata politik pencitraan?
Sudah sama-sama diketahui bahwa penanganan ‘bencana’ seperti kabut asap ini adalah tanggungjawab pemerintah (dengan berkerja sama dan berkordinasi dengan pusat). Dengan mengeluarkan pernyataan bahwa asap ini bukan ‘milik’ Jambi dan merupakan ‘hadiah’ dari provinsi lain, maka serta merta HBA membangun opini untuk masyarakat Jambi bahwa asap ini bukan tanggungjawab pemerintah Provinsi Jambi alias tidak bertuan. Dengan demikian, jika pernafasan masyarakat terganggu, penerbangan tidak berjalan, masayarakat menjadi korban dan lain-lain akan berada di luar tanggungjawab pemerintah. ‘Itu deritamu sendiri’. Pencitraan nama HBA tetap tidak terganggu.
Seyogyanya HBA tidak perlu mengeluarkan pernyataan tersebut. Lebih baik focus mencari solusi pemadaman titik api yang ada sehingga asap tidak ‘membunuh’ kehidupan masyarakat Jambi. Faktanya memang demikian, dari mana pun asal asap tersebut masyarakat tidak peduli. Yang masyarakat inginkan adalah hidup tanpa asap dan dapat menghirup udara segar baik. HBA tidak perlu mencari pencitraan dengan menuduh provinsi lain. Sungguh sangat tidak tidak bijaksana jika harus mencari ‘kambing hitam’, alih-alih mencari solusi nyata.
Jika mau jujur, sebenarnya ‘kambing hitam’ tersebut adalah pemerintah sendiri. Kita bisa mempelajar berapa juta hektar izin pembukaan lahan untuk perkebunan yang dikeluarkan oleh pemerintah setiap tahunnya? Pemerintah tentunya akan ‘berkilah’ bahwa perusahaan-perusahaan tersebut membuka lahan (land clearing) bukan dengan cara membakar hutan. Pembelaan seperti ini tentu sah-sah saja. Namun fakta di lapanganlah yang akan berbicara. Dari sisi ekonomi dan bisnis tentunya metode membuka lahan dengan cara membakar hutan adalah metode yang ekonomis dan efektif. Dalam waktu singkat dapat melakukan pembukaan lahan dalam jumlah besar dibandingkan dengan menggunakan alat-alat berat seperti bulldozer. Apa jaminan perusahaan-perusahaan yang mendapat izin tersebut melakukan usaha sesuai undang-undang dan jujur? Tidak ada. Berapa perusahaan yang ditarik izinnya karena melanggar pembukaan hutan? Tidak ada.
Intinya, HBA baru saja menepuk air di atas dulang, yang mengenai muka sendiri. Pembenaran bahwa asap Jambi bukan produk lokal Jambi dan merupakan kiriman dari provinsi lain adalah metode ‘cuci tangan’ yang sangat politis. Pernyataan itu membuat masyarakat antipasti sehingga kehilangan simpati. Jauh dari itu, masyarakat membutuhkan perhatian dan penyelesaian konkret dari pemimpin negari ini, bukan sibuk mencari pembenaran dan menuding orang lain. Sekedar mengingatkan, HBA harus ingat bahwa saat ini kinerjanya masih sangat dipertaruhkan untuk kelanjutan kepemimpinannya di masa yang akan datang. Jika masalah asap saja tidak mampu diatasi dengan kabinet yang dipercayainya, maka siap-siap menelan pil pahit pada Pemilukada tiga tahun mendatang. Seharunya, tidak perlu mencari pencitraan dan pembenaran tapi tetaplah fokus bekerja membantu mengatasi masalah yang terjadi di tengah masyarakat, maka masyarakat akan menyerahkan kepercaannya sepenuhnya. Tulisan ini hanya suguhan ‘value’ lain dari kabut asap yang semakin pekat di tanah Melayu Jambi ini. Semoga bermanfaat, amin.
Discussion about this post