Menggunakan definisi kamus, birokrat (bahasa Perancis: bourrée yang berarti meja) adalah anggota dari suatu birokrasi yang menjalankan tugas-tugas administratif dari sebuah organisasi yang seringkali merupakan cerminan atas kebijakan organisasinya, dalam ukuran besar maupun kecil. Namun di Indonesia, biasanya istilah birokrat mengacu pada seseorang yang berada di dalam sebuah lembaga pemerintah. Tugas dan pekerjaannya sering berupa pekerjaan administratif atau sering disebut “pekerjaan meja”. Itulah birokrat. Maka secara sederhana istilah birokrat pendidikan yang saya maksud pada tulisan ini adalah para pejabat yang mengurusi persoalan (kebijakan) pendidikan diberbagai level.
Siapa saja birokrat pendidikan itu? Di level tertinggi tentu saja berada di kementerian pendidikan yaitu menteri pendidikan beserta jajaran pejabat di dalamnya. Di provinsi dan kabupaten / kota terdapat kepala dinas pendidikan dan kebudayaan beserta para pejabat pengambil kebijakan di bawahnya. Di tingkat terbawah ada kepala sekolah. Tulisan ini mencoba mendiskusikan dinamika politik (politisasi) para birokrat khususnya di level kepala dinas dan kepala sekolah.
Di level kementerian tidak perlu didiskusikan kerena memang sudah sama-sama diketahui dan dapat dipastikan bahwa penunjukan seorang menteri merupakan hak prerogatif presiden untuk memilih menterinya berasal dari partai mana. Bagi-bagi kue kekuasaan berdasarkan pertimbangan politik. Namun persoalannya bagaimana jika politisasi semacam ini dipasagkan pada level kepala dinas dan kepala sekolah? Ini sangat perlu dicermati karena pada level ini sudah berada pada level operasional dan professional. Maksudnya, di level kepala dinas dan kepala sekolah, kebijakan yang diambil sudah sangat operasional yang memerlukan pengalaman dan pengetahuan juga keahlian di bidang pendidikan yang tidak bisa didasarkan pada pertimbangan politis semata.
Seorang kepala dinas seharusnya tidak bisa ditunjuk oleh gubernur atau bupati hanya semata kerena pertimbangan politis karena seseorang (birokrat) itu merupakan tim sukses atau pendudukung gubernur atau bupati berkuasa. Seyogyanya jabatan ini harus diisi oleh para birokrat yang memiliki ilmu dan pengalaman di bidang pendidikan. Dia harus mengetahui seluk beluk dunia pendidikan, dari persoalan guru hingga kurikulum dan hal-hal detail lainnya. Sehingga kebijakan yang diambil benar-benar tepat tidak semata pertimbangan proyek belaka.
Begitu juga halnya dengan kepala sekolah. Sepantasnya pengangkatan seorang kepala sekolah tidak boleh disentuh sedikit pun oleh kepentingan politik. Jabatan kepala sekolah harus diduduki seorang birokrat tulen yang memiliki pengetahuan (knowledge), kemampuan (leadership) dan pengalaman (experiences). Tiga hal ini tidak boleh diabaikan. Pengetahuan berarti seorang kepala sekolah harus memiliki tingkat pendidikan yang tinggi (Serjana, Master/magister, atau doktor) dangan keilmuan pendidikan yang mupuni. Kemampuan berarti memiliki nilai-nilai kepemimpinan bagi orang lain khususnya di lingkungan sekolah tersebut. Dia harus bisa menjadi tokoh dan panutan bagi para guru dan staf lainnya. Pengalaman menuntut sorang kepala sekolah memiliki jam terbang di dunia pendidikan.
Maka sangat berbahaya jika jabatan kepala sekolah masuk ke ranah politik praktis. Yang saya maksud dengan politik praktis di sini adalah, pengangkatan seorang kepala sekolah didasarkan oleh pertimbangan politik para penguasa. Seseorang akan mudah diangkat menjadi kepala sekolah jika yang bersangkutan merupakan pendukung atau tim sukses bupati/wali kota yang berkuasa dengan mengabaikan pertimbangan-pertimbangan professionalitas yang ada. Sering kita mendengar kepala sekolah tiba-tiba diberhentikan hanya karena tidak memihak kepada bupati/wali kota terpilih pada saat Pilkada. Atau sebaliknya, ada orang yang tiba-tiba menjadi kepala sekolah dengan pengetahuan, kemampuan dan pengalaman yang minim hanya karena yang bersangkutan merupakan tim sukses penguasa terpilih.
Hal ini sungguh sangat berbahaya bagi perkembangan pendidikan di tanah air. Paling tidak ada beberapa dampak negatif dari politisasi birokrat pendidikan ini. Pertama, terjadinya politik balas budi dan balas dendam oleh para penguasa. Penguasa (bupati atau wali kota) dengan seenaknya mengangkat dan memberhentikan kepala sekolah hanya semata pertimbangan ‘dukung-mendukung’ pada saat Pemilukada. Siapa yang tidak ‘seperahu’ akan dibuang walaupun yang bersangkutan memiliki profesionalitas yang bagus. Dan sebaliknya, bisa saja ada guru yang tiba-tiba menjadi kepala sekolah padahal masih minim jam terbang. Hasilnya, semua guru dan kepala sekolah sibuk memilih-milih, menimbang nimbang dukungan pada pertarungan pemilukada. Tugas pendidikan dilupakan dan para siswa diterlantarkan.
Kedua, terpilihnya para kepala sekolah yang tidak memiliki kompetensi. Sudah dapat dipastikan, jika semata pertimbangan politis yang melandasi pengangkatan seorang kepala sekolah maka hukum-hukum profesionalitas akan terabaikan. Buntutnya adalah banyak saat ini ditemukan kepala sekolah-kepala sekolah yang tidak tahu apa-apa sehingga penyelenggaraan pendidikan di sekolah tersebut menjadi tidak termenej dengan baik alias amburadul.
Ketiga, hilangnya kenyamanan kerja. Kepala sekolah yang sedang menjabat tidak pernah nyaman dan tenang duduk di kursi jabatannya karena bisa saja besok langsung diganti. Akhirnya kepala sekolah sibuk mencari cara (menyenangkan) penguasa agar tidak diberhentikan. Kapan seorang kepala sekolah akan berprestasi jika hanya disibukkan dengan urusan-urusan non teknis di sekolahnya. Sudah dapat dipastikan hampir tidak ada waktu untuk memikirkan kemajuan guru dan anak didiknya.
Akhirnya, tentu masih banyak lagi dampak atau kehancuran yang ditimbulkan oleh politisasi birokrat pendidikan ini. Rasanya sudah saatnya para bupati atau wali kota untuk berpikir ulang dalam mengangkat para birokrat pendidikan khususnya kepala sekolah. Sudah sepantasnya jabatan-jabatan di dalam dunia birokrasi pendidikan untuk tidak dipolitisasi karena akan mengabaikan nilai-nilai profesionalitas. Para kandidat kepala daerah jangan lagi menjadikan jabatan-jabatan kepala dinas pendidikan dan kepala sekolah sebagai ‘hadiah’ atau iming-iming bagi para pendukung di lingkungan pendidikan. Pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman harus menjadi pertimbangan utama jika kita ingin pendidikan di negari ini semakin membaik. Semoga.
Note: tulisan ini telah dimuat di Opini Jambi ekspres
Discussion about this post