Oleh: Bahren Nurdin, MA
Ide pokok pikiran artikel ini adalah menghimbau semua pihak berfokus mencari solusi agar kehendak pemerintah dapat terlaksana dan keingingan masyarakat bisa terakomodir. Di sanalah bertemunya kebijakan dan kebijaksanaan.
Persoalan pembangunan Tugu Keris Siginjai menggantikan Tugu Jam Kota Baru agaknya sudah mengerucut pada satu kesimpulan bahwa masyarakat Kota Jambi sangat setuju dengan pembangunan tugu tersebut namun tidak harus menghancurkan (merombak) tugu yang ada. Bahasa sederhananya, silahkan dibangun bahkan masyarakat siap mendukung sepenuhnya tapi jangan ganggu yang ada. Itu artinya, masyarakat masih ‘sayang’ dengan apa yang mereka miliki saat ini.
Tinggal lagi bagaimana sikap pemerintah melihat dan menanggapi reaksi masyarakat ini. Dunia demokrasi membuka peluang seluas-luasnya untuk berdiskusi dan menyampaikan pendapat. Makhluk bumi yang hidup di negara Kesatuan Republik Indonesia ini dilindungi oleh undang-undangnya untuk menyampaikan gagasan dan pemikiran. Maka dari itu, jalan terbaik adalah mencari jalan keluar dan saling memahami sehingga bertemu solusi.
Untuk mendapatkan solusi, kunci utamanya masing-masing orang harus menempatkan suatu persoalan pada porsinya. Tidak menempatkan ruang diskusi sebagai arena serang-menyerang. Adalah orang-orang yang berpikiran dangkal yang mencoba menempatkan orang yang berbeda pendapat dengan dirinya sebagai ‘lawan’ yang harus ‘dihabisi’. Tidak semua orang yang berbeda pendapat adalah lawan. Bukankah kita selalu diingatkan bahwa teman yang baik adalah orang yang berani menyampaikan kritik dan masukan apa adanya. Belum tentu pula teman yang selalu memuji dan menyanjung adalah orang yang membawa kemajuan pada diri kita.
Seharusnyalah dalam kasus ini juga dilihat demikian. Riak-riak penolakan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap ‘penggantian’ tugu ini tidak boleh dilihat sebagai aksi melawan pemerintah. Kritik dan masukan yang diberikan masyarakat harus dimaknai sebagai bentuk kecintaan dan sayang mereka terhadap kota ini yang juga sama sayangnya dengan pemerintah. Jika masyarakat sudah dilarang memberikan kritik dan saran, atau jika masyarakat bersuara dianggap ‘lawan perang’, sama halnya menghidupkan otoritarianisme di tengah masyarakat demokrasi saat ini. Berbahaya!
Saya dikirimi gambar detail rencana pembangunan Tugu Keris Siginjai tersebut. Bagus dan menarik. Justru, jika sedikit pemerintah berpikir positif terhadap penolakan masyarakat yang terjadi saat ini, masyarakat ingin mengingatkan, sayang sekali jika tugu bagus ini diletakkan di ‘tengah jalan’. Keberadaannya di bundaran tersebut tidak dapat dinikmati secara maksimal oleh masyarakat. Kerena tugu ini bagus, tentu banyak masyarakat yang ingin mengabadikannya dengan ‘selfie-selfie,’ yang terjadi kemudian adalah macet dan membahayakan. Diyakini, masyarakat ‘penikmat’ tugu dengan pengendara yang lalu lalang akan saling mengganggu.
Solusi yang bayak ditawarkan oleh masyarakat adalah membangun tugu ini di tempat lain. Persoalannya, ‘ngotot’nya Pemkot membangun tugu tersebut di bundaran depan Balai Kota karena dianggap strategis dan pusat pemerintahan. Pertanyaannya sederhana, apakah ‘landmark’ suatu negara atau daerah harus berada di depan kantor atau pusat pemerintahan? Mbah Google pasti bisa beri petunjuk. Telusuri saja beberapa kota dan negara lain. Saya rasa tidak semua dan tidak harus. Strategis? Justru pemerintah harus berani membuka ruang lain dari tempat yang tidak dianggap strategis, dengan pembangunan tugu ini, menjadi strategis.
Hal lain yang menjadi pertimbangan tentunya adalah multiplier efek yang diharapkan. Uang negara (atau daerah) yang dihabiskan begitu banyak untuk suatu pembangunan, alangkah lebih baik dan bijak jika mampu mendatangkan berbagai efek positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Pembangunan tugu ini tidak hanya sebagai ‘aksesoris’ kota yang indah tetapi juga mendatangkan keuntungan bagi masyarakatnya. Hal terkecil minsalnya, jikalah tugu ini dibangun di suatau kawasan yang tidak mengganggu lalu lintas, tentu masyarakat sekitar bisa berjualan.
Tugas masyarakat tentunya hanya sekedar mengingatkan pemerintah. Pun, itulah cara menunjukkan sayang dan kecintaan mereka terhadap negeri mereka sendiri. Inilah bentuk ‘sense of belonging’ mendalam yang mereka miliki. Namun demikian tentunya, pemerintah memiliki otoritas sendiri dalam mengambil keputusan. Jika pun pemerintah bersekukuh tetap melanjutkan pembangunan ini, masyarakat paling bisa ‘ngurut dada’. Tapi harus diperhatikan pula, ingatan kolektif masyarakat akan tertoreh sampai lama. Luka sejarah akan terus diingat sepanjang masa.
Saatnya mencari solusi yang menang-menang (win-win solution). Jangan mencari pemenang dengan pembenenaran karena dapat dipastikan akan ada yang merasa terkalahkan. Masing-masing pihak harus kembali menyediakan diri untuk saling berdiskusi.
Akhirnya, memang tidak semua perubahan akan membawa perbaikan, tapi tidak akan ada perbaikan jika tidak ada perubahan. Saya rasa masyarakat Kota Jambi tidak anti perubahan. Dalam persoalan ini, bagaimana semua elemen mempertemukan kebijakan dan kebijaksanaan dalam suatu solusi.
#BNODOC20121072017
*Akademisi UIN STS dan Pengamat Sosial Jambi.
Discussion about this post