Saya merasa sangat beruntung ketika mendapat kehormatan menjadi pemateri pengantar rapat kerja para direksi PTPN 6 Jambi beberapa waktu lalu. Hampir seluruh directour dan administrateur menjadi bagian kegitan ini sehingga saya bisa bersilaturrahim dengan orang-orang ‘beken’ di perusahaan ‘plat merah’ ini. Yang lebih istimewa lagi saya mendapat hadiah langsung dari Sang Direktur Utama, Bapak. Dr. Mohammad Abdul Ghani sebuah buku tulisan beliau sendiri yang berjudul “Jejak Planter di Tanah Deli; Dinamika Perkebunan Sumatera Timur 1863-1996”.
Sebagai generasi ‘peralihan’, membaca buku ini saya merasa berada di dua zaman yang berbeda; ‘zaman old’ dan ‘zaman now’. Butiran-butiran sejarah yang dikemas apik oleh Pak Ghani membawa saya pada perjalanan sejarah yang kaya akan nilai-nilai hidup di zamannya khususnya budaya planter (kebun). Hal ini semakin terasa karena saya, sebelum memutuskan untuk menjadi akademisi, pernah juga menjadi staf rendahan di salah satu perusahaan perkebunan sawit swasta. Budaya-budaya ‘orang kebun’ yang diterangkan di dalam buku ini sebagian masih bisa saya ‘sentuh’ walau sebagian sudah ‘rapuh’.
Budaya planter memang memiliki keunikan sendiri. Dalam catatan pengantar rapat kerja tersebut, Sang Direktur juga menegaskan bahwa ‘kultur planter adalah suatu tradisi, aturan, keyakinan, simbol-simbol yang dimiliki dan diyakini bersama sebagai pedoman prilaku masyarakat perkebunan’. Para planter sangat berpegang teguh pada nilai-nilai profesionalitas, disiplin, gigih, tanggung jawab, bekerja tuntas, pantang menyerah, setia kawan, dan menjaga kehormatan’.
Apa yang menjadi persoalan saat ini adalah terjadinya penggerusan terhadap niali-nilai tersebut. Waktu terus berjalan dan zaman pun sudah berubah. Tradisi-tradisi kebun yang begitu kental dan solid menjadi cair dan ‘mluber’. Perkembangan dan kemajuan teknologi tidak dapat dinafikan menjadi salah satu unsur penyebab terjadinya ‘erosi’ nilai-nilai.
Artinya, saat ini para planter sudah banyak yang tidak lagi berpegang pada aturan main budayanya sendiri. Hirarki kepemimpinan, misalnya, zaman dahulu tidak mungkin seorang krani dapat bicara langsung dengan direktur. Hari ini, banyak direktur yang ‘nongkrong’ di grup media sosial para bawahan. Saling komentar bahkan adu argumen. Tirai pemisah hirarki dibuka sedemikian lebar.
Dampak negatifnya, karena sudah terlalu ‘cair’, banyak diantara para top manajemen kehilangan wibawa di hadapan bawahannya. Semua tabi’at dan kelakuan para pimpinan terpapar melalui media sosial. Sementara dulu, nyaris tertutup rapi. Para manajer atau direktur memiliki ‘dunia sendiri’ yang tidak diketahui para bawahan mereka.
Inilah yang saya sebut dengan ‘persimpangan zaman’. Terjadi ‘kegalauan’ yang luar biasa. Satu sisi ada keingian yang kuat untuk mempertahankan tradisi planter yang ada, di sisi lain ada kemajuan teknologi yang mau tidak mau harus diterima. Harus pula diakui bahwa siapa pun tentu tidak bisa menghadang perkembangan zaman yang terjadi. Kemajuan teknologi adalah sebuah keniscayaan. Tidak bisa ditolak!
Maka tawaran solutifnya adalah mendesign ulang budaya planter yang ada. Artinya, budaya-budaya baik yang ada selama ini jangan sampai hilang, tapi caranya sudah harus menggunakan media ‘zaman now’. Dulu untuk membuat para bawahan takut atau untuk mendisiplinkan mereka, para pimpinan seperti mandor, asisten, bahkan menejer boleh mengeluarkan kata-kata kotor, sumpah serapah, atau menggunakan nama-nama binatang. Cara ini sudah tidak bisa diterapkan tapi nilai disiplinnya tidak boleh hilang. Jadi, caranya harus diubah tapi nilainya tetap dipertahankan.
Sekali lagi, kultur-kultur positif seperti profesionalitas, disiplin, gigih, tanggung jawab, bekerja tuntas, pantang menyerah, setia kawan, dan menjaga kehormatan tidak boleh hilang namun caranya yang harus disesuaikan. Jangan lagi pakai cara-cara lama. Metode dan mekanismenya harus diperbaharui (re-design).
Atau, bahkan dengan kemajuan teknologi nilai-nilai tersebut harus lebih baik lagi. Untuk disiplin, misalnya, dulu para asisten bisa membohongi manajer lewat radio (HT) bahwa dia sedang di lapangan padahal sedang di warung kopi. Tapi hari ini, dengan video call (vc) kebohongan ini tidak bisa dilakukan lagi. Artinya, teknologi bisa dimanfaatkan untuk mendisiplinkan para staf.
Akhirnya, waktu terus berlalu, zaman pun berubah. Semua bisa berganti. Namun satu hal yang tidak boleh hilang adalah nilai-nilai. Kemajuan teknologi boleh jadi ‘merobek’ tirai hirarki dalam dunia planter, tapi nilai saling menghormati antara atasan dan bawahan tidak boleh dihilangkan. Yang boleh diganti (re-design) caranya, bukan nilainya!
Discussion about this post