“Jika rakyat betul-betul ingin mendapatkan kedaulatan dengan seluas-luasnya, maka jangan serahkan prosesnya *hanya* kepada penyelenggara pemilu. Rakyat harus ikut berjuang dan memeperjuangkannya!”
Itulah salah satu premis yang selalu saya bangun dalam berbagai kesempatan dan melalui artikel-artikel yang dipublis di berbagai media. Saya bersama kawan-kawan di Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi (KPPD-RI / KOPIPEDE) dan Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (PUSAKADEMIA) sangat serius melakukan pendidikan politik dalam berbagai kegiatan.
Bagi kami, pertisipasi masyarakat tidak hanya pada hari pencoblosan atau di dalam bilik suara, tapi seharusnya ada pada setiap tahapan dan proses pemilihan itu sendiri. Rakyat harus hadir dan memberikan sumbangsih terbaik mereka.
Ingat, pemilih cerdas akan menghasilkan pemimpin berkualitas.
Agar pemilih itu cerdas maka pendidikan pemilih menjadi sangat urgent dilakukan. Tentu bukan hanya oleh para penyelenggara pemilu tapi seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali.
Apa pendidikan pemilih _(voter education)_ itu? Intinya adalah suatu usaha edukatif yang dilakukan untuk memastikan bahwa para pemilih siap, mau, dan bisa memberikan partisipasinya secara sadar dalam pemilihan.
Bagaimana dengan pilkada mendatang yang diselenggarakan dalam kondisi bangsa ini sedang menghadapi pandemi virus korona (Covid 19)? Justeru pendidikan pemilih menjadi berlipat kali lebih penting. Artinya, ada tugas tambahan yang tidak hanya fokus pada penyampaian materi kepemiluan tapi juga protokol kesehatan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam menanggulangi penyebaran Covid 19.
SIAP
Secara garis besar masyarakat harus dididik untuk siap lahir dan bathin. Masyarakat harus memiliki keyakinan diri bahwa walaupun dalam pandemi virus ini, proses⁶ demokrasi kita tidak boleh terhenti. Pergantian pemimpin secara demokratis dan legitimit harus terus berjalan.
Boleh jadi proses tahapan-tahapan yang dilalui tidak semulus pilkada sebelumnya. Akan ada keterbatasan-keterbatasan yang harus dihadapi. Banyak kendala, rintangan, dan masalah yang butuh solusi. Paling tidak, siap mengikuti aturan pilkada dan siap pula mematuhi protokol kesehatan seperti memakai masker, cuci tangan dan menjaga jarak (tidak berkerumun). Edukasi kesiapan mental ini harus terus dilakukan dengan berbagai cara dan media.
Para penyelenggara pemilu khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) betul-betul harus bekerja keras dengan tugas ‘tambahan’ ini. Sebagai leading sector pelaksana pemilu, KPU harus menempatkan pendidikan pemilih sebagai satu kesatuan dengan persiapan atau tahapan pemilu itu sendiri.
MAU
Masyarakat harus memiliki kemauan yang datang dari diri mereka sendiri untuk ikut serta dalam proses demokrasi bangsa ini. Mau dengan motif hakiki yaitu untuk kepentingan bangsa dan negara. Tidak boleh mau karena unsur-unsur perusak seperti money politik, tekanan politik, atau paksaan politik. Mau dengan sadar dan penuh kesadaran.
Karena dengan kesadaranlah pilihan-pilihan politik itu dapat dilaksanakan secara berintegritas dan bertanggungjawab. Harus ada kesadaran bahwa mereka membutuhkan pemimpin yang berkuaitas agar pembangunan dapat berjalan dengan baik dan kesejahteraan rakyat dapat tercapai pula.
Ingat, Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) hanya akan bisa dikelola dengan baik jika pemimpinnya berkualitas dan berintegritas. Uang ratusan triliun rupiah itu akan hilang begitu saja jika sampai di tangan para pemimpin yang rakus, tamak dan mementingkan diri atau kelompoknya sendiri.
BISA
Jangan sampai ada masyarakat yang terkendala karena terhalang oleh keadaan atau hal-hal yang bersifat administratif. Masyarakat harus dididik bagaimana mereka mengurus diri sendiri sehingga tidak terhalang oleh kendala-kendala teknis administratif. Contoh yang paling sederhana, memastikan nama mereka terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT). Selama ini banyak masyarakat tidak bisa memilih karena tidak terdaftar di DPT.
Hal ini tidak boleh terjadi lagi. Hal ini juga tidak semata kesalahan para penyelenggara. Tapi bagaimana masyarakat meyakinkan diri mereka bahwa mereka bisa menyalurkan suara. Begitu juga dengan akses para pemilih yang berkebutuhan khusus. Lagi-lagi harus ada pendidikan dan bimbingan bagi mereka sehingga tidak terkendala. Jika mereka mengalami disabilitas misalnya, mereka harus diadvokasi untuk menyampaikan kebutuhan mereka kepada penyelenggara sehingga bisa disediakan; dari kertas suara sampai TPS yang accessible bagi mereka.
Dalam konteks pandemi, jangan ada masyarakat tidak bisa memilih hanya karena tidak mematuhi protocol kesehatan yang telah ditetapkan. Wajib pakai masker misalnya, jangan sampai karena tidak memakai masker mereka kehilangan hak suara. Caranya, bukan membolehkan mereka memilih tanpa masker, tapi jauh-jauh hari harus dididik atau diingatkan bahwa masyarakat wajib mamakai masker. Hulunya kita selesaikan, bukan ribut saat pelaksanaan!
Akhirnya, pendidikan pemilih dalam pilkada kali ini menjadi satu kesatuan dengan tahapan-tahapan pilkada itu sendiri. Penting dan urgent. Seluruh stakeholder harus cerdas sehingga proses pemilihan pemimpin kita tetap berjalan baik walau sedang dilanda wabah. Masyarakat harus SIAP, MAU dan BISA dengan edukasi yang dilakukan secara baik dan terus menerus. Semoga.
*Akademisi UIN STS Jambi dan Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan [PUSAKADEMIA].
Discussion about this post