Dua bulan sudah ia pendam surat ‘lamaran’ itu. Tepatnya bukan surat lamaran seperti layaknya lamaran kerja tapi hanya semacam curriculum vitae alias data diri. Kini surat itu sudah lecek karena berulang kali dibaca. Semua informasi yang tertulis di dalamnya hampir sudah ia hafal, seakan-akan sudah sangat akrab dengan empunya CV tersebut. Di atas surat tersebut terdapat selembar foto seorang ikhwan. Foto tersebut tidak begitu ia hiraukan. Ia lebih memilih menela’ah isi yang tertulis di atas lembaran bertulis tangan tersebut. Namun, walau sudah ratusan kali bahkan mungkin ribuan kali dibaca, ia juga belum mampu memberi keputusan. Ia masih bimbang dengan segala petimbangan. Pertimbangan dunia akhirat.
Gadis itu bernama Siti Maisyarah. Waktu di kampung ia dipanggil Upiak. Tetapi begitu kuliah di Universitas Andalas Padang, panggilan itu berubah menjadi Maya. “Biar menyaingi istri Ahmad Dani sang Presiden Republik cinta.” katanya. Waktu itu mungkin ia kurang waras melihat artis itu karena dininabobokin oleh lantunan musik ‘syetan’ di kupingnya. “Wong ngurusin rumah tangganya saja gak becus, malah mau jadi persiden?” Mengagungkan cinta, tapi malah menelantarkan anak istri. Di mana cintanya ketika melihat anak tak beribu? Anak tak mendapat kasih sayang orang tua. Jadi tepatnya Ahmad Dani itu tidak lebih dari Presiden Republik Omong Kosong. Tapi heran malah diagung-agungkan oleh banyak gadis termasuk Maya yang mengganti panggilannya dari Upiak menjadi Maya. Tapi itu dulu, waktu ia masih ‘buta’ melihat dunia. Namun saat ini, ia pun mengalami perubahan, berstatus sebagai calon Master di Universitas Kebangsaan Malaysia, dengan berbagai aktivitas yang dimiliki. Rajin mengikuti pengajian, keputrian, dll yang memang hampir setiap detik waktunya diisi dengan kegiatan yang mengasah ”cara berfikirnya”.
Dia kembali melihat kalender yang tergantung di dinding kamarnya. Matanya terpaku pada angka yang telah ia lingkari dengan tinta merah dua bulan lalu. Tepat hari ini adalah hari yang di janjikannya untuk memberikan jawaban proposal tersebut. Hari dimana ia harus mempertanggungjawabkan jiwa dan raganya.
“Asslamu’alaikum. Kita bertemu di Shaker saja. Saya dengan Rozi dan Amri. Ditunggu ba’da magrib ya. Sekalian makan malam. Ok. Wassalam” Sms dari Karim ia terima.
Dia taruh kembali hp nya tanpa membalas sms tersebut. Hatinya bimbang harus menjawab apa. Dia tolak, rasanya tidak mungkin. Tidak mau di bilang ingkar janji yang telah ia buat sendiri. Menerima tawaran pertemuan itu, rasanya belum sanggup untuk memberikan keputusan. “Ya Allah, berikanlah hamba-Mu yang lemah ini kekuatan. Tunjukkanlah jalan yang sesungguhnya adalah jalan yang Engkau ridhoi. Ihdinsyirtolmustakiim.” Rintihnya dalam hati.
“Di Shaker?” Dalam hatinya. Dia baca sekali lagi sms tersebut untuk memastikan. Ternyata benar, Shaker adalah tempat yang dipiliih Karim. Bagaimana mungkin Karim memilih tempat itu untuk membicarakan hal yang sangat serius seperti ini. Shaker memang salah satu restoran favorit anak-anak Indonesia yang numpang hidup di Hentian Kajang. Pilihan favorit lainnya adalah D’Siko Mandre. Dua tempat ini menjadi posko untuk berbagi rasa sebangsa. Tapi mengapa kali ini Karim lebih memilih Shaker daripada D’Siko Mandre? Atau Karim telah jatuh cinta pula dengan Roti Canai-nya si India itu dan melupakan tempoyak patin, asam padeh, dendeng batokok, atau rendang ala D’siko Mandre? Tapi bukan itu persoalan yang menggangu pikirannya. Mengapa Karim memilih tempat seperti ini untuk membicarakan urusan dunia akhiratnya? Ini urusan penting, mengapa harus di selesaikan di warung kopi. Terlalu rendahkah Karim menilai gadis seperti dirinya? Ah…biarlah karena tidak mungkin juga di Surau Assyakirin karena surau tersebut selalu dikunci. Di sini surau persis seperti kantor lurah, buka ketika saat-saat tertentu saja. Jangan harap mau shalat dhuha di sana karena setelah shalat Subuh surau tersebut sudah digembok dan dibuka kembali saat Zuhur datang. Ah…Malaysia.
Abdul Karim Muhammad Nuur, adalah teman dekatnya yang sangat ia percaya dan juga orang yang telah menyampaikan proposal yang kini ada di tangannya. Dia adalah pemuda tamatan mesir yang sedang mengambil program master di UKM. Mereka berteman sejak semester pertama karena mengambil program yang sama dan duduk di kelas yang sama. Karim pemuda cerdas dan baik hati, memiliki ilmu agama yang mupuni. Tapi satu hal yang teramat Maya suka dari Karim yaitu walaupun tamatan mesir yang notabenenya menganut islam orthodoks, dia tidak pernah membatasi diri untuk bergaul dengan siapa pun termasuk dengan kaum hawa seperti dirinya. Tentu pergaulan yang dia lakukan tidak melepaskan diri dari pagar-pagar yang telah dibagun megah dan mewah oleh Baginda Rasul dengan menjunjung tinggi hembusan Roh Ilahi melalui kitab-Nya Al-Quran nur Karim. Andai yang memiliki proposal itu adalah Karim, tentu dia tidak perlu berpikir panjang lagi. Tapi sayang Karim terlalu perfect untuk ukurannya yang hanyalah gadis baru belajar memakai jilbab. Gadis yang baru menapak di jalan-Nya. “Mudah-mudahan Karim mendapatkan bidadari yang dikirim dari surga-Mu ya Allah” Suatu hari ia pernah berdoa setelah mendapat bantuan, pencerahan dan semangat menjalankan agama yang luar biasa dari Karim.
“Ukhti sudah makan belum? Pesan Roti canai atau Pecel Lele?” Karim menawarkan makan kepadanya. Rozi dan Amri seperti biasa yang telah terlebih dahulu memesan makanan mereka sendiri.
“Canai atau Pecel Lele?” Karim mengulangi lagi pertanyaan itu setelah melihat dirinya bengong.
“Eh San, lho mau apa?” Tanya Karim kepada Sandria teman akrab Maya.
“Wah kalo gitu, pertanyaan mu berat Rim” Jawab Sandria
“lah kok berat? Canai atau pecel lele? Atau dua – duanya juga boleh haa…kalau gak malu” seloroh Karim.
“Rim, antum tahu gak, pertanyaan antum tadi itu bagi ana maknanya luas. Esensinya dalam. Pertanyaan itu sama dengan pertanyaan ‘ KFC atau tempoyak patin?’”
“heee….ya bedalah. mana sama KFC dengan tempoyak? KFC ayam, patin itu ikan. Dasar lho San…” Sela Maya.
“Bukan gitu May, maksud saya tempoyak patin itu milik saya orang Jambi, milik kita bangsa Indonesia. Canai itu punyaaa….hheee… aku juga gak tau milik sapa. Canai itu roti India apa Malaysia ya? Atau punya India dipateni oleh Malaysia haa…?”
“Gaya lho…San. Sok nasionalis, mentang-mentang mau ikut upacara 17-an di KBRI..! Ya kalo ada kendaraan pergi sana? Kalo gak? Mau naik bas mini? Haaa….”
“Udah-udah…sekarang saya pesan Pecel Lele saja. Kalian berdua gak mau makan ya sudah. San.., makan tu nasionalisme lho… jangan makan pecel lele atau roti canai..emang kenyang?” Karim akhirnya bangkit menuju konter penjual pecel lele yang asli orang Indonesia alias TKI.
“Ya deh sama aja dengan antum. Eh dendeng batokok ada gak ya…?” Tanya Maya berseloroh.
“Niii..ambil….” Jawab Sandria sambil memukul (menokok) kepala Maya dengan henfonnya.
Setelah mereka makan, tibalah saat yang penting bagi Maya. Mereka mengambil tempat makan agak jauh dari para pengunjung lain. Kursi paling pojok. Di dalam restoran ini bercampur semua bangsa dari Arab sampai Negeria. Dari warna kulit yang paling putih hingga yang hitam legam. Inilah manusia. Jika urusan perut semua tak terbedakan. Namun Maya masih tetap bergelut dengan pikirannya sendiri. Sebenarnya sampai detik ini dia juga belum menemukan jawaban yang tepat untuk diberikan kepada Karim.
“Maya….” Tiba-tiba karim memulai pembicaran. Raut wajahnya menunjukan bahwa kali ini ia serius. Maya pun mulai gugup.
“Gini…saya tau ini sulit bagi anti. Tapi sekali lagi ini adalah demi kebaikan anti dan mudah-mudahan diridhoi oleh Allah. Bagaimana dengan proposal Khairul?” tanya Karim serius
“Mmm…”
“Ok…sekali lagi saya memahami kesulitan anti. Sebenarnya kedatangan saya kesini bukan untuk menanyakan proposal itu. Tapi…” Karim sengaja memutus kalimatnya. Maya pun mendengar itu mulai lega. Ia nampak tersenyum bagai lepas dari pengadilan. Senyumnya mengembang persis seperti baru mendapatkan nilai A dengan Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud. Dia bersyukur berarti dia masih memiliki waktu untuk memikirkan jawabannya. Lagi pula proposal itu belum ia beri tahukan pada keluarganya khususnya mamaknya (paman).
“Tapi….” Sambung Karim
“Tapi….saya menyerahkan ini untuk anti. Mudah-mudahan dia juga bisa menjadi pertimbangan anti. Mungkin memilih lebih enak jika ada pembandingnya” Lanjut Karim sambil menyerahkan sebuah map yang dilipat empat yang ternyata dari tadi disimpannya di dalam bajunya.
“Ini apa lagi Rim? Proposal lagi?”
“Ya…ini dari Usman. Dia meminta bantuan ana menyampaikannya kepada anti. Tapi yakinlah dia tidak tahu bahwa Khairul telah mengirim proposal juga ke anti. Dan Khairul pun gak tau tentang ini” Karim menjelaskan.
Maya melihat map tersebut. Rasanya ia ingin menangis. “Ya…Allah, ini cobaan atau hukuman bagi hamba-Mu ini?” rintihnya dalam hati.
“Maya…bersyukurlah atas ini semua. Dan yakinlah mereka adalah teman-teman saya yang baik untuk mu. Saya tahu persis mereka. Mereka adalah orang-orang yang bertanggung jawab dan tidak akan mengecewakanmu. Mudah-mudahan bisa kau jadikan imam. Oke…?”
“Terima kasih Rim..” Jawab Maya lirih. Ingin rasanya memubuat Karim tahu apa yang ia rasakan. Betapa sebenarnya memilih itu tidak mudah.
“Eh…udahan. Yuk pulang nanti keburu lapar lagi…” Sandria yang tiba-tiba datang sepulang dari mengisi pulsa henfonnya bersama Rozi dan Amri.
“Ya ni, kami juga mau ke surau, Isya. Salamu’alaikum’” Pamit Karim bersama temannya dan melangkah keluar meniggalkan restoran India tersebut.
“Wa’alaikumsalam” Jawab Maya dan Sandria serentak tanpa bangkit dari tempat duduk.
“Ini apa lagi May?” Tunjuk Sandria ke map berlipat yang masih tergeletak di hadapan Maya.
“Ah…gak papa..” Cepat-cepat Maya menyambar map itu dan memegangnya erat.
“Yuk kita pulang, kita juga belum isya.” Ajak Maya dan kemudian mereka meninggalkan tempat duduk menuju lantai 4 flat sederhana itu.
Setelah sepintas membaca proposal Usman, tepatnya Usman bin Abdul Aziz, ia langsung berwudhu dan menunaikan shalat isya di kamarnya sendiri. Ia ingin sampaikan semua ini kepada kekasih hatinya yang selalu di jadikan sebagai penopang rasa yang selama ini dia miliki..
“Ya…Rabb… Apa sesungguhnya yang Engkau rahasiakan di balik ini semua…Hamba-Mu ini terlalu lemah Ya Rabb untuk mengetahuinya. Hamba belum mampu menembus batas-batas ilmu-Mu. Tunjukkan lah ya Rabb… mana sesugguhnya yang terbaik untuk hamba…” Maya mulai meneteskan air mata di atas sajadahnya. Ia benar-benar kalud dalam hati. Bagaimana tidak, belum lagi sempat ia memberi jawaban atas proposal Khairul, sudah datang lagi proposal Usman. Dan esok entah siapa lagi.
“inikah cobaan yang Engau berikan pada hamba-Mu yang baru memulai menapak di jalan-Mu ini? Jika iya, berilah hamba kekuatan ya Rabb. Hamba hanya membutuhkan suami yang mampu mengimami diri hamba menuju ke jalan-Mu. Hamba hanya ingin suami yang mampu menjadi ayah yang baik bagi zuriat-zuriatku nanti. Hamba ingin suami yang juga Engkau cintai ya Rabb…Suami yang menjaga harkat dan harga diriku di hadapan-Mu…” Tetesan air mata pasrah Maya semakin tak terbendung. Maya larut dalam kepasrahaanya. Tak tahu mengapa urusan ini begitu membuatnya gundah gulana.
“Ya Rabb…Engkau telah karuniakan hamba-Mu ini kecantikan. Hidup berkecukupan melalui orang tua hamba. Telah pula Engkau karuniakan ilmu-Mu untuk kupelajari. Walau kecerdasanku belum kan mampu dan tidak akan penah mampu menandingi ilmu-Mu. Kini Engku karuniakan hatiku untuk menempuh jalan-Mu. Yaa..Rabb, hamba tak ingin segala karunia-Mu ini menjadi laknat-Mu di akhirat nanti. Yaa..Rabb…” Ia sujud untuk kesekian kalinya. Semoga Allah mengabulkan doanya, amin.
Tiga minggu kemudian, setelah sahalat isya Karim mendapat telfon dari Maya. “Rim…saya memilih Kahirul. Jangan kau tanya mengapa. Tapi ada satu syarat… Nikahi saya sehabis lebaran. Dia siap gak?” Maya telah memutuskan pilihannya. Dia serahkan segalanya kepada Allah. Dia pun tidak menemukan alasan yang logis untuk dijelaskan secara matematis kepada orang lain, termasuk ke pada keluarganya mengapa ia memilih Khairul. Mungkin itulah pilihan hatinya. Tapi paling tidak ia telah memenuhi salah satu permintaan ibunya “Nan paralu di urang awak. Sajauah-jauahnyo bangau tabang, pulang ka kubangan juo”¨ Pesan ibunya suatu ketika di kampung nan jauh di mato.
“Ok, nanti saya sampaikan kepada Khairul. Saya rasa dia juga sudah sangat siap untuk semua itu. Saya dengar, dia juga sudah menyiapkan biaya pernikahan. Ok.” Jawab Karim serius.
“Baik Rim, Terima kasih atas bantuannya. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam” Sambut Karim sekali gus menutup hanfonnya.
====Enam bulan kemudian====
Dari sekian banyak deretan email yang masuk ke inbox-nya, ia menemukan nama Maya di sana.
“Assalmu’laikum Karim, apa kabar kalian semua? Terima kasih atas bantuannya. Semua berjalan dengan baik, alham dulillah. Mudah-mudahan Khairul mampu menjadi imamku dunia akhirat. Mohon do’a dari kalian semua ya… Sebenarnya saya mau bercerita banyak tentang perkawinan kami di Indonesia, tapi nampaknya akhir-akhir ini kalian pada sibuk semua. Ganti no hp semua ya? Di kampus juga jarang keliatan. Ya see saya sekarang jarang di kampus, lebih banyak mengurusi suami hee… sekarang kami sudah mengontrak rumah di Sungai Tangkas. Kalu ada kesempatan mainlah kerumah kami. Wassalam”
Itulah isi email dari Maya. Ia tidak ingin membalas email itu. Maya tak pernah tahu bahwa sesungguh telah terjadi kesalah pahaman antara teman-temannya dengan Khairul yang kini menjadi suaminya. Entah apa pasalnya, Karim juga tidak tahu persis. Suatu hari Khairul penah memanggil dirinya untuk bicara di kantin kampus.
“Rim, mengapa antum ngasih proposal Usman ke Maya?” Tanya Khairul agak ketus dibungkus persahabatan.
“Rul…pada saat itu semua orang berhak mengirim proposal ke Maya. Dan tidak ada salahnya Usman juga mengirim propsalnya ke Maya, kan?
“Tapi ana kan lebih dulu. Antum yang mengantarnya. Mengapa antum masih menyerahin proposal Usman?”
“Rul…sekarang Maya sudah sah menjadi istri antum, mengapa masih antum ributkan masalah itu? saya dengar antum juga tidak seakrab dulu lagi dengan Rozi, Amri, termasuk Usman. Gak baik ntum..”
“Ah…sudahlah Rim, kalian memang telah sekongkol dari dulu untuk menjatuhkan ana. Untung Maya masih memilih ana, kalau tidak? Pasti kalian merasa menang, kan?”
“Astaghfirullah al-‘Azim, Rul…baiklah. Saya rasa tidak lah perlu kita perdebatkan ini. Oke, saya rasa Maya memilih antum dengan alasannya sendiri. Mudah-mudahan pilihannya tepat akhi.., Sekarang begini saja. Kalau demikian adanya, kami juga tidak akan menghubungi Maya lagi seperti dulu. Yakinlah saudaraku, kami tak ada niat apa pun. Khair akhi, ana akan sampaikan ini ke kawan-kawan. Tapi saya minta janganlah ada permusuhan di antara kita…”
“Ok Rim…itu yang ana minta. Sekarang ana juga tidak perlu bantuan kalian lagi. Mungkin ana akan belajar hidup mandiri. Mudah-mudahan sebentar lagi ana akan jadi ayah…”
“Amin…” Sela karim
“mohon doa saja….” lanjut Khairul.
“Amiiin…”Sambung Karim sebelum mereka berpisah.
Karim tidak habis pikir mengapa sahabat karibnya itu berbuat sedemikian? Bukan kah Khairul yang ia kenal dulu tidak seperti itu? secepat itukah manusia berubah? Secepat itukah manusia melupakan kebaikan orang lain? Bukan kah dari dulu sebelum proposalnya diterima Maya, dia hampir setiap saat menanyakannya? Setiap saat sms meminta bantuannya? “Ah sudahlah… Tuhan Maha Mengetahui segala yang di langit dan di bumi, bahkan yang tersembunyi di balik qalbu sekali pun. Kalaupun Khairul lupa, Tuhan pasti tidak akan khilaf”.
“Ya Allah lindungilah hati hamba ini. Jauhkan dari noda dan prasangka”
Andai Khairul tau, sebenarnya dia juga mempersiapkan propiosal untuk Maya. Tapi tak jadi ia kirim. Ia delete dari dokumennya hanya karena ia tahu temannya itu telah terlebih dahulu menitipkan proposal untuk Maya melalui dirinya. Ia ikhlas tak berbekas demi sahabat sendiri. Tapi kini…
“Maya, sekali lagi, semoga kau bahagia. Mudah-mudahan Khairul benar-benar pilihan hatimu dan ia mampu menjadi imammu dunia akhirat, amin” Gumam Karim sambil menutup laptopnya. (bersambung….) (bhn)
Malaysia, 12 Agustus 2008 (12:43)
Sambungannya:
Setuhun kemudian (setelah sama-sama di Indonesia) Karim menerima email dari Maya yang isinya sangat mengejutkan. Maya minta bertemu degan dirinya. Khairul meninggal dunia karena kecelakaan sepeda motor di Padang. Ada rahasia dan rasa yang selama ini Maya pendam. Kahirul bukan pilihan hatinya. Menikahi Khairul semata ingin mengikuti permintaan ibunya untuk memilih orang Padang. Sekarang dia tidak peduli. Pilihan hatinya adalah Karim… akankah Karim merima Maya? Seorang Janda?
¨ “yang penting orang Padang. Sejauh-jauh bangau terbang kembalinya ke kubangan juga”
Dua bulan sudah ia pendam surat ‘lamaran’ itu. Tepatnya bukan surat lamaran seperti layaknya lamaran kerja tapi hanya semacam curriculum vitae alias data diri. Kini surat itu sudah lecek karena berulang kali dibaca. Semua informasi yang tertulis di dalamnya hampir sudah ia hafal, seakan-akan sudah sangat akrab dengan empunya CV tersebut. Di atas surat tersebut terdapat selembar foto seorang ikhwan. Foto tersebut tidak begitu ia hiraukan. Ia lebih memilih menela’ah isi yang tertulis di atas lembaran bertulis tangan tersebut. Namun, walau sudah ratusan kali bahkan mungkin ribuan kali dibaca, ia juga belum mampu memberi keputusan. Ia masih bimbang dengan segala petimbangan. Pertimbangan dunia akhirat.
Gadis itu bernama Siti Maisyarah. Waktu di kampung ia dipanggil Upiak. Tetapi begitu kuliah di Universitas Andalas Padang, panggilan itu berubah menjadi Maya. “Biar menyaingi istri Ahmad Dani sang Presiden Republik cinta.” katanya. Waktu itu mungkin ia kurang waras melihat artis itu karena dininabobokin oleh lantunan musik ‘syetan’ di kupingnya. “Wong ngurusin rumah tangganya saja gak becus, malah mau jadi persiden?” Mengagungkan cinta, tapi malah menelantarkan anak istri. Di mana cintanya ketika melihat anak tak beribu? Anak tak mendapat kasih sayang orang tua. Jadi tepatnya Ahmad Dani itu tidak lebih dari Presiden Republik Omong Kosong. Tapi heran malah diagung-agungkan oleh banyak gadis termasuk Maya yang mengganti panggilannya dari Upiak menjadi Maya. Tapi itu dulu, waktu ia masih ‘buta’ melihat dunia. Namun saat ini, ia pun mengalami perubahan, berstatus sebagai calon Master di Universitas Kebangsaan Malaysia, dengan berbagai aktivitas yang dimiliki. Rajin mengikuti pengajian, keputrian, dll yang memang hampir setiap detik waktunya diisi dengan kegiatan yang mengasah ”cara berfikirnya”.
Dia kembali melihat kalender yang tergantung di dinding kamarnya. Matanya terpaku pada angka yang telah ia lingkari dengan tinta merah dua bulan lalu. Tepat hari ini adalah hari yang di janjikannya untuk memberikan jawaban proposal tersebut. Hari dimana ia harus mempertanggungjawabkan jiwa dan raganya.
“Asslamu’alaikum. Kita bertemu di Shaker saja. Saya dengan Rozi dan Amri. Ditunggu ba’da magrib ya. Sekalian makan malam. Ok. Wassalam” Sms dari Karim ia terima.
Dia taruh kembali hp nya tanpa membalas sms tersebut. Hatinya bimbang harus menjawab apa. Dia tolak, rasanya tidak mungkin. Tidak mau di bilang ingkar janji yang telah ia buat sendiri. Menerima tawaran pertemuan itu, rasanya belum sanggup untuk memberikan keputusan. “Ya Allah, berikanlah hamba-Mu yang lemah ini kekuatan. Tunjukkanlah jalan yang sesungguhnya adalah jalan yang Engkau ridhoi. Ihdinsyirtolmustakiim.” Rintihnya dalam hati.
“Di Shaker?” Dalam hatinya. Dia baca sekali lagi sms tersebut untuk memastikan. Ternyata benar, Shaker adalah tempat yang dipiliih Karim. Bagaimana mungkin Karim memilih tempat itu untuk membicarakan hal yang sangat serius seperti ini. Shaker memang salah satu restoran favorit anak-anak Indonesia yang numpang hidup di Hentian Kajang. Pilihan favorit lainnya adalah D’Siko Mandre. Dua tempat ini menjadi posko untuk berbagi rasa sebangsa. Tapi mengapa kali ini Karim lebih memilih Shaker daripada D’Siko Mandre? Atau Karim telah jatuh cinta pula dengan Roti Canai-nya si India itu dan melupakan tempoyak patin, asam padeh, dendeng batokok, atau rendang ala D’siko Mandre? Tapi bukan itu persoalan yang menggangu pikirannya. Mengapa Karim memilih tempat seperti ini untuk membicarakan urusan dunia akhiratnya? Ini urusan penting, mengapa harus di selesaikan di warung kopi. Terlalu rendahkah Karim menilai gadis seperti dirinya? Ah…biarlah karena tidak mungkin juga di Surau Assyakirin karena surau tersebut selalu dikunci. Di sini surau persis seperti kantor lurah, buka ketika saat-saat tertentu saja. Jangan harap mau shalat dhuha di sana karena setelah shalat Subuh surau tersebut sudah digembok dan dibuka kembali saat Zuhur datang. Ah…Malaysia.
Abdul Karim Muhammad Nuur, adalah teman dekatnya yang sangat ia percaya dan juga orang yang telah menyampaikan proposal yang kini ada di tangannya. Dia adalah pemuda tamatan mesir yang sedang mengambil program master di UKM. Mereka berteman sejak semester pertama karena mengambil program yang sama dan duduk di kelas yang sama. Karim pemuda cerdas dan baik hati, memiliki ilmu agama yang mupuni. Tapi satu hal yang teramat Maya suka dari Karim yaitu walaupun tamatan mesir yang notabenenya menganut islam orthodoks, dia tidak pernah membatasi diri untuk bergaul dengan siapa pun termasuk dengan kaum hawa seperti dirinya. Tentu pergaulan yang dia lakukan tidak melepaskan diri dari pagar-pagar yang telah dibagun megah dan mewah oleh Baginda Rasul dengan menjunjung tinggi hembusan Roh Ilahi melalui kitab-Nya Al-Quran nur Karim. Andai yang memiliki proposal itu adalah Karim, tentu dia tidak perlu berpikir panjang lagi. Tapi sayang Karim terlalu perfect untuk ukurannya yang hanyalah gadis baru belajar memakai jilbab. Gadis yang baru menapak di jalan-Nya. “Mudah-mudahan Karim mendapatkan bidadari yang dikirim dari surga-Mu ya Allah” Suatu hari ia pernah berdoa setelah mendapat bantuan, pencerahan dan semangat menjalankan agama yang luar biasa dari Karim.
“Ukhti sudah makan belum? Pesan Roti canai atau Pecel Lele?” Karim menawarkan makan kepadanya. Rozi dan Amri seperti biasa yang telah terlebih dahulu memesan makanan mereka sendiri.
“Canai atau Pecel Lele?” Karim mengulangi lagi pertanyaan itu setelah melihat dirinya bengong.
“Eh San, lho mau apa?” Tanya Karim kepada Sandria teman akrab Maya.
“Wah kalo gitu, pertanyaan mu berat Rim” Jawab Sandria
“lah kok berat? Canai atau pecel lele? Atau dua – duanya juga boleh haa…kalau gak malu” seloroh Karim.
“Rim, antum tahu gak, pertanyaan antum tadi itu bagi ana maknanya luas. Esensinya dalam. Pertanyaan itu sama dengan pertanyaan ‘ KFC atau tempoyak patin?’”
“heee….ya bedalah. mana sama KFC dengan tempoyak? KFC ayam, patin itu ikan. Dasar lho San…” Sela Maya.
“Bukan gitu May, maksud saya tempoyak patin itu milik saya orang Jambi, milik kita bangsa Indonesia. Canai itu punyaaa….hheee… aku juga gak tau milik sapa. Canai itu roti India apa Malaysia ya? Atau punya India dipateni oleh Malaysia haa…?”
“Gaya lho…San. Sok nasionalis, mentang-mentang mau ikut upacara 17-an di KBRI..! Ya kalo ada kendaraan pergi sana? Kalo gak? Mau naik bas mini? Haaa….”
“Udah-udah…sekarang saya pesan Pecel Lele saja. Kalian berdua gak mau makan ya sudah. San.., makan tu nasionalisme lho… jangan makan pecel lele atau roti canai..emang kenyang?” Karim akhirnya bangkit menuju konter penjual pecel lele yang asli orang Indonesia alias TKI.
“Ya deh sama aja dengan antum. Eh dendeng batokok ada gak ya…?” Tanya Maya berseloroh.
“Niii..ambil….” Jawab Sandria sambil memukul (menokok) kepala Maya dengan henfonnya.
Setelah mereka makan, tibalah saat yang penting bagi Maya. Mereka mengambil tempat makan agak jauh dari para pengunjung lain. Kursi paling pojok. Di dalam restoran ini bercampur semua bangsa dari Arab sampai Negeria. Dari warna kulit yang paling putih hingga yang hitam legam. Inilah manusia. Jika urusan perut semua tak terbedakan. Namun Maya masih tetap bergelut dengan pikirannya sendiri. Sebenarnya sampai detik ini dia juga belum menemukan jawaban yang tepat untuk diberikan kepada Karim.
“Maya….” Tiba-tiba karim memulai pembicaran. Raut wajahnya menunjukan bahwa kali ini ia serius. Maya pun mulai gugup.
“Gini…saya tau ini sulit bagi anti. Tapi sekali lagi ini adalah demi kebaikan anti dan mudah-mudahan diridhoi oleh Allah. Bagaimana dengan proposal Khairul?” tanya Karim serius
“Mmm…”
“Ok…sekali lagi saya memahami kesulitan anti. Sebenarnya kedatangan saya kesini bukan untuk menanyakan proposal itu. Tapi…” Karim sengaja memutus kalimatnya. Maya pun mendengar itu mulai lega. Ia nampak tersenyum bagai lepas dari pengadilan. Senyumnya mengembang persis seperti baru mendapatkan nilai A dengan Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud. Dia bersyukur berarti dia masih memiliki waktu untuk memikirkan jawabannya. Lagi pula proposal itu belum ia beri tahukan pada keluarganya khususnya mamaknya (paman).
“Tapi….” Sambung Karim
“Tapi….saya menyerahkan ini untuk anti. Mudah-mudahan dia juga bisa menjadi pertimbangan anti. Mungkin memilih lebih enak jika ada pembandingnya” Lanjut Karim sambil menyerahkan sebuah map yang dilipat empat yang ternyata dari tadi disimpannya di dalam bajunya.
“Ini apa lagi Rim? Proposal lagi?”
“Ya…ini dari Usman. Dia meminta bantuan ana menyampaikannya kepada anti. Tapi yakinlah dia tidak tahu bahwa Khairul telah mengirim proposal juga ke anti. Dan Khairul pun gak tau tentang ini” Karim menjelaskan.
Maya melihat map tersebut. Rasanya ia ingin menangis. “Ya…Allah, ini cobaan atau hukuman bagi hamba-Mu ini?” rintihnya dalam hati.
“Maya…bersyukurlah atas ini semua. Dan yakinlah mereka adalah teman-teman saya yang baik untuk mu. Saya tahu persis mereka. Mereka adalah orang-orang yang bertanggung jawab dan tidak akan mengecewakanmu. Mudah-mudahan bisa kau jadikan imam. Oke…?”
“Terima kasih Rim..” Jawab Maya lirih. Ingin rasanya memubuat Karim tahu apa yang ia rasakan. Betapa sebenarnya memilih itu tidak mudah.
“Eh…udahan. Yuk pulang nanti keburu lapar lagi…” Sandria yang tiba-tiba datang sepulang dari mengisi pulsa henfonnya bersama Rozi dan Amri.
“Ya ni, kami juga mau ke surau, Isya. Salamu’alaikum’” Pamit Karim bersama temannya dan melangkah keluar meniggalkan restoran India tersebut.
“Wa’alaikumsalam” Jawab Maya dan Sandria serentak tanpa bangkit dari tempat duduk.
“Ini apa lagi May?” Tunjuk Sandria ke map berlipat yang masih tergeletak di hadapan Maya.
“Ah…gak papa..” Cepat-cepat Maya menyambar map itu dan memegangnya erat.
“Yuk kita pulang, kita juga belum isya.” Ajak Maya dan kemudian mereka meninggalkan tempat duduk menuju lantai 4 flat sederhana itu.
Setelah sepintas membaca proposal Usman, tepatnya Usman bin Abdul Aziz, ia langsung berwudhu dan menunaikan shalat isya di kamarnya sendiri. Ia ingin sampaikan semua ini kepada kekasih hatinya yang selalu di jadikan sebagai penopang rasa yang selama ini dia miliki..
“Ya…Rabb… Apa sesungguhnya yang Engkau rahasiakan di balik ini semua…Hamba-Mu ini terlalu lemah Ya Rabb untuk mengetahuinya. Hamba belum mampu menembus batas-batas ilmu-Mu. Tunjukkan lah ya Rabb… mana sesugguhnya yang terbaik untuk hamba…” Maya mulai meneteskan air mata di atas sajadahnya. Ia benar-benar kalud dalam hati. Bagaimana tidak, belum lagi sempat ia memberi jawaban atas proposal Khairul, sudah datang lagi proposal Usman. Dan esok entah siapa lagi.
“inikah cobaan yang Engau berikan pada hamba-Mu yang baru memulai menapak di jalan-Mu ini? Jika iya, berilah hamba kekuatan ya Rabb. Hamba hanya membutuhkan suami yang mampu mengimami diri hamba menuju ke jalan-Mu. Hamba hanya ingin suami yang mampu menjadi ayah yang baik bagi zuriat-zuriatku nanti. Hamba ingin suami yang juga Engkau cintai ya Rabb…Suami yang menjaga harkat dan harga diriku di hadapan-Mu…” Tetesan air mata pasrah Maya semakin tak terbendung. Maya larut dalam kepasrahaanya. Tak tahu mengapa urusan ini begitu membuatnya gundah gulana.
“Ya Rabb…Engkau telah karuniakan hamba-Mu ini kecantikan. Hidup berkecukupan melalui orang tua hamba. Telah pula Engkau karuniakan ilmu-Mu untuk kupelajari. Walau kecerdasanku belum kan mampu dan tidak akan penah mampu menandingi ilmu-Mu. Kini Engku karuniakan hatiku untuk menempuh jalan-Mu. Yaa..Rabb, hamba tak ingin segala karunia-Mu ini menjadi laknat-Mu di akhirat nanti. Yaa..Rabb…” Ia sujud untuk kesekian kalinya. Semoga Allah mengabulkan doanya, amin.
Tiga minggu kemudian, setelah sahalat isya Karim mendapat telfon dari Maya. “Rim…saya memilih Kahirul. Jangan kau tanya mengapa. Tapi ada satu syarat… Nikahi saya sehabis lebaran. Dia siap gak?” Maya telah memutuskan pilihannya. Dia serahkan segalanya kepada Allah. Dia pun tidak menemukan alasan yang logis untuk dijelaskan secara matematis kepada orang lain, termasuk ke pada keluarganya mengapa ia memilih Khairul. Mungkin itulah pilihan hatinya. Tapi paling tidak ia telah memenuhi salah satu permintaan ibunya “Nan paralu di urang awak. Sajauah-jauahnyo bangau tabang, pulang ka kubangan juo”¨ Pesan ibunya suatu ketika di kampung nan jauh di mato.
“Ok, nanti saya sampaikan kepada Khairul. Saya rasa dia juga sudah sangat siap untuk semua itu. Saya dengar, dia juga sudah menyiapkan biaya pernikahan. Ok.” Jawab Karim serius.
“Baik Rim, Terima kasih atas bantuannya. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam” Sambut Karim sekali gus menutup hanfonnya.
====Enam bulan kemudian====
Dari sekian banyak deretan email yang masuk ke inbox-nya, ia menemukan nama Maya di sana.
“Assalmu’laikum Karim, apa kabar kalian semua? Terima kasih atas bantuannya. Semua berjalan dengan baik, alham dulillah. Mudah-mudahan Khairul mampu menjadi imamku dunia akhirat. Mohon do’a dari kalian semua ya… Sebenarnya saya mau bercerita banyak tentang perkawinan kami di Indonesia, tapi nampaknya akhir-akhir ini kalian pada sibuk semua. Ganti no hp semua ya? Di kampus juga jarang keliatan. Ya see saya sekarang jarang di kampus, lebih banyak mengurusi suami hee… sekarang kami sudah mengontrak rumah di Sungai Tangkas. Kalu ada kesempatan mainlah kerumah kami. Wassalam”
Itulah isi email dari Maya. Ia tidak ingin membalas email itu. Maya tak pernah tahu bahwa sesungguh telah terjadi kesalah pahaman antara teman-temannya dengan Khairul yang kini menjadi suaminya. Entah apa pasalnya, Karim juga tidak tahu persis. Suatu hari Khairul penah memanggil dirinya untuk bicara di kantin kampus.
“Rim, mengapa antum ngasih proposal Usman ke Maya?” Tanya Khairul agak ketus dibungkus persahabatan.
“Rul…pada saat itu semua orang berhak mengirim proposal ke Maya. Dan tidak ada salahnya Usman juga mengirim propsalnya ke Maya, kan?
“Tapi ana kan lebih dulu. Antum yang mengantarnya. Mengapa antum masih menyerahin proposal Usman?”
“Rul…sekarang Maya sudah sah menjadi istri antum, mengapa masih antum ributkan masalah itu? saya dengar antum juga tidak seakrab dulu lagi dengan Rozi, Amri, termasuk Usman. Gak baik ntum..”
“Ah…sudahlah Rim, kalian memang telah sekongkol dari dulu untuk menjatuhkan ana. Untung Maya masih memilih ana, kalau tidak? Pasti kalian merasa menang, kan?”
“Astaghfirullah al-‘Azim, Rul…baiklah. Saya rasa tidak lah perlu kita perdebatkan ini. Oke, saya rasa Maya memilih antum dengan alasannya sendiri. Mudah-mudahan pilihannya tepat akhi.., Sekarang begini saja. Kalau demikian adanya, kami juga tidak akan menghubungi Maya lagi seperti dulu. Yakinlah saudaraku, kami tak ada niat apa pun. Khair akhi, ana akan sampaikan ini ke kawan-kawan. Tapi saya minta janganlah ada permusuhan di antara kita…”
“Ok Rim…itu yang ana minta. Sekarang ana juga tidak perlu bantuan kalian lagi. Mungkin ana akan belajar hidup mandiri. Mudah-mudahan sebentar lagi ana akan jadi ayah…”
“Amin…” Sela karim
“mohon doa saja….” lanjut Khairul.
“Amiiin…”Sambung Karim sebelum mereka berpisah.
Karim tidak habis pikir mengapa sahabat karibnya itu berbuat sedemikian? Bukan kah Khairul yang ia kenal dulu tidak seperti itu? secepat itukah manusia berubah? Secepat itukah manusia melupakan kebaikan orang lain? Bukan kah dari dulu sebelum proposalnya diterima Maya, dia hampir setiap saat menanyakannya? Setiap saat sms meminta bantuannya? “Ah sudahlah… Tuhan Maha Mengetahui segala yang di langit dan di bumi, bahkan yang tersembunyi di balik qalbu sekali pun. Kalaupun Khairul lupa, Tuhan pasti tidak akan khilaf”.
“Ya Allah lindungilah hati hamba ini. Jauhkan dari noda dan prasangka”
Andai Khairul tau, sebenarnya dia juga mempersiapkan propiosal untuk Maya. Tapi tak jadi ia kirim. Ia delete dari dokumennya hanya karena ia tahu temannya itu telah terlebih dahulu menitipkan proposal untuk Maya melalui dirinya. Ia ikhlas tak berbekas demi sahabat sendiri. Tapi kini…
“Maya, sekali lagi, semoga kau bahagia. Mudah-mudahan Khairul benar-benar pilihan hatimu dan ia mampu menjadi imammu dunia akhirat, amin” Gumam Karim sambil menutup laptopnya. (bersambung….) (bhn)
Malaysia, 12 Agustus 2008 (12:43)
Sambungannya:
Setuhun kemudian (setelah sama-sama di Indonesia) Karim menerima email dari Maya yang isinya sangat mengejutkan. Maya minta bertemu degan dirinya. Khairul meninggal dunia karena kecelakaan sepeda motor di Padang. Ada rahasia dan rasa yang selama ini Maya pendam. Kahirul bukan pilihan hatinya. Menikahi Khairul semata ingin mengikuti permintaan ibunya untuk memilih orang Padang. Sekarang dia tidak peduli. Pilihan hatinya adalah Karim… akankah Karim merima Maya? Seorang Janda?
¨ “yang penting orang Padang. Sejauh-jauh bangau terbang kembalinya ke kubangan juga”
Discussion about this post