Oleh: Bahren Nurdin, MA
‘Mohon maaf lahir dan bathin’ adalah kalimat yang dapat dipastikan terucap oleh setiap ummat muslim di Indonesia ketika merayakan Idul Fitri. Meminta dan saling memberi maaf baik secara lisan maupun tulisan, baik secara langsung (bertemu fisik) maupun menggunakan media komunikasi. Maka sesungguhnya apa makna ‘maaf’ tersebut?
Tidak ada salahnya kita saling mengingatkan untuk tidak terjebak dengan budaya ‘formalitas’ dan ‘copy-paste’ dalam hal saling memaafkan. Maksud saya, kata maaf yang terucap hanyalah formalitas semata tanpa makna dan ‘rasa’ yang tulus dari dalam jiwa. Maaf sesungguhnya harus keluar dari percikan jiwa yang ikhlas.
Memaafkan dan memberi maaf sesungguhnya suatu perbuatan mulia yang merupakan tuntunan dari Rosulullah. Lihatlah apa yang Beliau sabdakan, “Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah diri) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim). Sifat pemaaf menjadi jalan menuju kemuliaan di hadapan Allah.
Namun sayang sekali, hari ini makna maaf sudah semakin tergerus. Maaf sering kali hanya mejadi ‘pemanis’ di mulut atau ‘bumbu’ pergaulan di dunia maya. Lihat saja, berbagai media sosial digunakan untuk menyampaikan maaf dengan berbagai cara dan media. Bahkan dengan mengguanakan foto-foto atau memei-memei cantik yang dapat dipastikan hanya ‘copy paste’ atau ‘copy resend’. Dampaknya sudah jelas, berbagai kata-kata yang sama dapat diterima dari orang yang berbeda.
Kata-kata maaf yang semacam ini terasa hampa karena seolah yang mengeluarkan kata-kata maaf itu adalah dari mesin ke mesin, bukan dari hati ke hati (manusia). Terasa hambar dan cenderung saling mengabaikan. Cobalah perhatikan saat ini di berbagai media sosial yang anda miliki, berapa banyak kata permintaan maaf yang anda lewatkan begitu saja. Batapa banyak gambar-gambar cantik yang tidak anda maknai. Tidak hanya permintaan maaf yang ‘copy-paste’ tapi jawabannya juga demikian.
Melalui artikel singkat ini, kita harus kembali saling mengigatkan untuk mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan (umanisme) dalam proses mohon maaf sesama muslim. Betul, media sosial sudah banyak meberi kemudahan bagi kita untuk menjalin komunikasi antar sesama. Namun demikian tidak pula boleh mengabaikan sisi-sisi kemunusiaan.
Di hari nan Fitri ini, sudah saatnya kita merubah pola hubungan yang telah ada. Jika pun harus meminta maaf dengan memanfaatkan kemudahan komunikasi saat ini, paling tidak dengan menuliskan sendiri dengan menggukankan kata-kata sendiri jauh lebih baik dan menyentuh. Tidak ada yang salah dengan ‘copy-paste’, tapi yakinlah nilai dan rasanya sungguh sangat berbeda.
Akhirnya, melihat fenomena dunia medsos saat ini, meminta dan memberi maaf sudah mulai menggeruskan nilai-nilai humanisme. Tidak ada yang salah dengan menggunakan berbagai media sosial atau alat komunikasi untuk saling memaafkan, tapi alangkah lebih bijaksana jika kata maaf dan pemberian maaf itu tidak hanya formalitas saja. Jangan pula kita terjebak oleh permohonan maaf ‘copy-pase’.
#BNODOC172220162017
*Akademisi dan Pengamat Sosial jambi
Discussion about this post